Sejarah Imlek di Indonesia, dari dilarang hingga menjadi hari libur

1 month ago 53

Jakarta (ANTARA) - Tahun baru China atau Hari Raya Imlek (Xinjia) yang akan jatuh pada Rabu, 29 Januari 2025 merupakan hari penting bagi para keturunan Tiongkok di seluruh belahan dunia, tak terkecuali di Indonesia.

Perayaan Imlek merupakan penyambutan awal musim semi yang berlangsung selama 15 hari dan diakhiri dengan perayaan Cap Go Meh sebagai penutupnya.

Dahulu, perayaan Imlek hanya dijadikan sebagai penyambutan tahun baru pada penanggalan lunar. Namun, semenjak kemunculan para filsuf diadakan lah persembahan yang bersifat ritual, seperti yang dilakukan oleh penganut Tridharma, Taoisme dan Buddha yang melakukan sembayang sembari menyajikan makanan untuk Tuhan yang disebut Thien (Tian).

Akan tetapi, jika menilik kembali sejarah Imlek di Indonesia, perayaan ini sempat mengalami rintangan bagi para penganutnya.

Pasang surut perayaan Imlek terjadi dari masa ke masa. Mulai dari pelarangan, dilakukan secara sembunyi-sembunyi, hingga ditetapkan sebagai hari libur nasional turut mewarnai perkembangan sejarah perayaan ini.

Baca juga: China catat 300 juta penumpang kereta selama arus mudik Imlek

Kebebasan yang terkekang

Mewahnya perayaan Imlek saat ini tentunya tidak terjadi pada zaman Orde Baru yang dipimpin oleh presiden Soeharto, sebab rezim tersebut melarang perayaan ini dilakukan di ruang terbuka.

Pada saat itu ketika ada yang berupaya untuk menggelar kesenian berbau budaya China di depan publik maka akan dianggap subversif atau tuduhan melakukan kejahatan.

Jangankan untuk melakukan perayaan di tempat terbuka, di lingkungan sendiri pun warga keturunan Tionghoa sering dipersulit untuk mengadakan upacara adat.

Hal tersebut terjadi karena adanya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 Tahun 1967 tentang kepercayaan dan adat istiadat China.

Dalam peraturannya, tertera Imlek harus dilakukan secara internal dalam lingkup keluarga atau perseorangan. Serta perayaan-perayaan pesta agama, adat istiadat China agar tidak dilakukan secara mencolok di depan umum. Dimana, hal tersebut tentunya mengekang kebebasan para keturunan Tionghoa.

Penyebab terbentuknya aturan ini merupakan hasil dari rivalitas antara Angkatan Darat dan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang pada saat itu memiliki hubungan erat dengan Republik Rakyat China (RRI).

Maka dari itu, selama berlakunya Inpres tersebut para etnis Tionghoa dilarang untuk melakukan perayaan hari besar dan menunjukkan eksistensinya. Bahkan, barongsai, liang liong, huruf-huruf serta lagu Mandarin tidak boleh diperkenalkan ke publik.

Baca juga: Wali Kota: Cap Go Meh bentuk toleransi umat beragama di Gorontalo

Kebebasan yang akhirnya tercapai

Saat pascareformasi, ketika jabatan presiden dipegang oleh Habibie, beliau mengganti Inpres Nomor 14 Tahun 1967 menjadi Inpres Nomor 26 Tahun 1998. Hal ini bertujuan untuk membatalkan aturan diskriminatif terhadap komunitas Tionghoa serta penghentian istilah pribumi dan non-pribumi dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Kemudian, pada tanggal 17 Januari 2000 presiden Gus Dur dengan keberaniannya mengeluarkan Inpres Nomor 6 Tahun 2000 yang isinya pencabutan atas Inpres Nomor 14 Tahun 1967 buatan zaman orde baru itu. Lantaran, beliau tidak setuju dan menganggap peraturan tersebut diskriminatif.

Setelah diterbitkan Inpres terbaru untuk menggantikan Inpres sebelumnya, Gus Dur mengatakan bahwa etnis Tionghoa yang tinggal di Indonesia dapat dengan bebas menggunakan nama asli mereka. Bahkan baik perayaan ataupun ritual keagamaan tidak perlu lagi dilakukan secara tersembunyi.

Hingga pada 9 April 2001 Presiden Megawati menindaklanjuti kebijakan tersebut dengan membuat Keppres Nomor 19 Tahun 2001 yang meresmikan perayaan Imlek sebagai hari libur nasional.

Oleh sebab itu, kini perayaan Imlek dapat dilaksanakan secara terbuka dengan menunjukkan berbagai macam ciri khasnya.

Baca juga: Saat Imlek, lonjakan perjalanan di China mencapai 8,4 miliar penumpang

Baca juga: TMII gelar festival "Taman Imlek Indonesia Bersate"

Pewarta: Raihan Fadilah
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2024

Read Entire Article
Ekonomi | Politic | Hukum | Kriminal | Literatur | SepakBola | Bulu Tangkis | Fashion | Hiburan |