Harianjogja.com, JAKARTA—Curah hujan tinggi selama musim kemarau 2025 dapat membawa dampak ganda bagi sektor pertanian. Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati, menyampaikan keberadaan hujan selama musim kemarau dapat menjadi berkah bagi para petani padi, karena pasokan air irigasi relatif tetap tersedia.
Namun di sisi lain, peningkatan curah hujan di musim kemarau juga menimbulkan risiko bagi pertanian hortikultura yang umumnya lebih sensitif terhadap kondisi kelembaban tinggi.
Tanaman hortikultura seperti cabai, bawang, dan tomat sangat rentan terhadap serangan hama dan penyakit akibat kelembaban berlebih.
“Kami mendorong petani hortikultura untuk mengantisipasi kondisi ini dengan menyiapkan sistem drainase yang baik dan perlindungan tanaman yang memadai,” ujar Dwikorita dalam siaran pers yang dikutip Senin (23/6/2025).
Selain itu, Dwikorita juga menegaskan pentingnya kesiapsiagaan berbagai pihak, termasuk pemerintah daerah dan masyarakat, untuk merespons dinamika iklim yang makin tidak menentu. “Kita tidak bisa lagi berpaku pada pola iklim lama. Perubahan iklim global menyebabkan anomali-anomali yang harus kita waspadai dan adaptasi harus dilakukan secara cepat dan tepat,” ujarnya. BMKG memastikan musim kemarau 2025 mundur dan bakal lebih pendek dibandingkan dengan durasi rata-rata. Kemunduran awal musim kemarau tahun ini terutama disebabkan oleh kondisi curah hujan yang lebih tinggi dari biasanya (Atas Normal) selama April–Mei 2025. Padahal periode ini merupakan masa peralihan dari musim hujan ke musim kemarau.
BACA JUGA: Satpol PP Jogja Menangkap Puluhan Gelandangan dan Pengemis
Pemantauan BMKG juga memperlihatkan baru baru sekitar 19% zona musim di Indonesia yang telah memasuki musim kemarau hingga awal Juni 2025. Hal ini menjadi indikasi bahwa sebagian besar wilayah di Indonesia masih berada dalam kategori musim hujan, meskipun kalender klimatologis menunjukkan bahwa kemarau seharusnya telah dimulai di banyak daerah pada periode ini.
Dwikorita mengatakan kondisi ini telah diprediksi oleh BMKG melalui prakiraan iklim bulanan yang dirilis pada Maret 2025. Dalam prediksi tersebut, BMKG mengantisipasi adanya peningkatan curah hujan di wilayah Indonesia bagian selatan, seperti Sumatra bagian selatan, Pulau Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur.
Peningkatan curah hujan ini menyebabkan wilayah-wilayah tersebut belum dapat bertransisi sepenuhnya ke musim kemarau sebagaimana biasanya.
“Prediksi musim dan bulanan yang kami rilis sejak Maret lalu menunjukkan adanya anomali curah hujan yang di atas normal di wilayah-wilayah tersebut, dan ini menjadi dasar utama dalam memprediksi mundurnya musim kemarau tahun ini,” kata Dwikorita.
Analisis BMKG terhadap data curah hujan di seluruh Indonesia pada Dasarian I (sepuluh hari pertama) Juni 2025 memperlihatkan bahwa sifat hujan di berbagai wilayah mulai menunjukkan tanda-tanda pergeseran menuju kondisi kemarau.
Sebanyak 72% wilayah berada dalam kategori Normal, 23% dalam kategori Bawah Normal (lebih kering dari biasanya), dan hanya sekitar 5% wilayah yang masih mengalami curah hujan Atas Normal.
Hal ini menunjukkan bahwa tren pengurangan curah hujan mulai dirasakan di sebagian besar wilayah Indonesia, meskipun secara spasial belum merata.
Dwikorita menjelaskan bahwa wilayah Sumatra dan Kalimantan justru telah mengalami beberapa dasarian berturut-turut dengan curah hujan yang lebih rendah dari normal. “Ini indikasi awal musim kemarau lebih cepat terlihat di wilayah tersebut dibanding wilayah selatan Indonesia,” kata Dwikorita.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : Antara