Ngobrol Bareng Ardian Powers, Sutradara Australia Ingin Kolaborasi dengan Sineas Indonesia

23 hours ago 4

Sutradara, penulis naskah, serta editor asal Australia, Adrian Powers, untuk pertama kalinya berkunjung ke Jogja. Kunjungannya dalam rangkaian Festival Sinema Australia Indonesia (FSAI) ke-10 tahun 2025. Adrian berbagi materi dengan topik "Masterclass Produksi Film Kualitas Hollywood dengan Dana Terbatas" di Jogja Film Academy, Senin (2/6/2025). Sebelum sesi masterclass, para peserta nonton bareng film karya Adrian berjudul A Royal in Paradise.

Film karya Adrian malang-melintang di festival-festival bergengsi seperti Austin, Cannes, dan Venice. Adrian telah menyunting tiga belas film layar lebar. Dia juga ikut menulis empat episode serial Netflix 'Dive Club' (2021), yang dinominasikan untuk Penghargaan Logie dan AACTA.

Film pendeknya 'Brolga' (2019) tayang di berbagai festival, baik di dalam negeri maupun internasional. Film pendek itu meraih banyak penghargaan 'Film Terbaik' dan 'Sutradara Terbaik', serta masuk dalam Arsip Film dan Suara Nasional Australia.

Belakangan, Adrian menulis dan menyutradarai film komedi romantis populer 'A Royal in Paradise' yang dirilis di bioskop Australia. Dia juga menulis dan menyutradarai film populer internasional Netflix 'Love is in the Air' (dibintangi Delta Goodrem), yang tayang perdana di peringkat #1 secara global saat hari pembukaannya. Film tersebut meraih 12 juta penayangan selama pekan pertama. Karya itu menjadi film Australia yang paling banyak ditonton di Netflix pada tahun 2023.

BACA JUGA: Istana Ungkap Alasan Cabut 4 IUP Perusahaan Tambang di Raja Ampat

Adrian merupakan lulusan dari International Film School Sydney. Dia juga kreator yang menciptakan konten untuk beberapa brand besar di dunia, termasuk Apple, QANTAS, Universal Music, Yves Saint Laurent, The Guardian, Lonely Planet, dan Google.

Dalam kunjungannya di Jogja, Adrian dan tim dari Kedutaan Besar Australia untuk Indonesia, berkunjung ke Griya Harian Jogja. Dia bercerita banyak hal, dari potensi kolaborasi dengan sineas di Indonesia, cerita masa kecil yang membuatnya menyukai film, caranya menangkap ide, serta rekomendasi film favoritnya. Selama sekitar 45 menit, kami berbincang dengannya. Berikut wawancara lengkap Harian Jogja dengan Adrian, yang kami translasi dari Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia.

Pewawancara: Apakah ini pertama kali kamu ke Jogja?

Adrian: Ya, ini pertama kalinya aku ke Jogja. Aku pernah ke Bali, 23 tahun lalu, dan ini pertama kalinya aku kembali ke Indonesia.

Sebelum ke sini, kamu mengisi masterclass tentang pembuatan film berkualitas dengan anggaran terbatas, bagaimana respon peserta?

Adrian: Luar biasa, [sebelum masterclass, kami nonton bareng film karyaku,] aku bisa melihat reaksi dari penonton secara langsung. Itu respon paling luar biasa yang pernah saya dapatkan selama ini. Saya bisa dengar mereka tertawa, kaget, atau lainnya. Itu sebuah penghargaan, karena tujuannya memberikan mereka emosi dari film, dan aku bisa merasakan energinya.

Itu menjadi alasanku melakukan pekerjaanku, sangat menyenangkan untuk datang dan merasakan budayanya, dan pengalaman di beragam kota. Dan aku mendapatkan banyak rekomendasi film Indonesia [dari para peserta].
Aku akan kembali [ke Australia] dan ceritakan pada teman, apa yang aku lihat di sini dan akan merekomendasikannya.

Bagaimana pertanyaan dari penonton, adakah pertanyaan yang unik?

Adrian: Pertanyaannya bagus dan pintar, sudah sangat dipersiapkan, misalnya dia berdiri dan mengatakan aku punya tiga pertanyaan, dan pertanyaannya sangat bagus, dan semua sangat menyatu dengan film.

Aku berkunjung ke banyak negara, [kadang kala di sesi tanya jawab], suasananya sepi dan tidak ada yang bertanya. Di sini justru banyak pertanyaan yang tidak terjawab, karena waktunya sudah habis, aku mengatakan pada penonton, "Maaf kami harus pergi".

Saya melihat di Indonesia penonton film bertumbuh, sementara di Australia justru menurun. Di sini banyak film dengan banyak genre.

Mungkin karena Jogja memiliki ekosistem film yang kuat juga ya.

Adrian: Iya, [kota Jogja dan filmnya] sangat artistik, sangat kaya akan budaya, dengan beragam jenis seni, serta ada juga sekolah film yang bagus. Di sesi masterclass, mereka menanyakan hal yang seakan menjadi persiapan mereka di karier selanjutnya [di dunia film]. Senang untuk berkunjung ke kota yang artistik ini.

BACA JUGA: Pantai Goa Cemara Siapkan Penambahan Fasilitas Wisata Seluas 20 Hektare

Apakah kamu tertarik untuk membuat film di Jogja?

Adrian: Aku akan suka itu, untuk menyutradarai film di sini, tapi juga akan bagus misal kolaborasi, misalnya saya nulis kemudian sutradaranya orang indonesia, kadang bareng kadang enggak. Aku akan senang untuk datang dan bekerja bersama dengan sineas Indonesia, bukan hanya sebagai mentor, tapi bekerja bersama, itu akan luas biasa. Aku juga bekerja di televisi, itu juga akan bagus. Di televisi atau serial, bisa ada banyak sutradara, jadi bisa saling berbagi perspektif.

Sudah adakah ide atau tempat di Jogja yang potensial untuk kamu jadikan film?

Adrian: Yang akan aku lakukan adalah kembali ke Jogja, karena saat ini dalam rangkaian program FSAI, berkeliling kota di Indonesia untuk memberikan masterclass. Makanannya juga luar biasa, [saya makan Gudeg Sagan] di hari pertama. Itu makanan terbaik yang pernah saya coba.

Jadi, yang akan aku lakukan adalah kembali, mungkin untuk liburan, dengan periode yang lama, dan eksplore lebih tentang Jogja, agar bisa mendapat perspektif yang lebih bagus, dan ke depan harapannya bisa berkolaborasi dengan sineas Indonesia.

Terdengar menarik. Semoga ada kesempatan untuk berkolaborasi. Kamu tadi sebelum ke sini, mengisi masterclass tentang memproduksi film berkualitas dengan anggaran terbatas, seberapa penting dan relevan topik itu hari ini?

Film semakin mahal dari waktu ke waktu. Kamu butuh untuk menemukan jalan, pertanyaan pertama bagaimana untuk memulai dan mengeluarkan suaramu saat banyak orang membuat film? Sehingga sineas perlu bisa membuat film yang bagus, tapi kita belum punya dana, kemudian bagaimana? Sebenernya bisa dengan uang sedikit, tapi bisa membuktikan kalau kamu punya potensi dan skill untuk melakukan lebih.

Aku beruntung setiap kali membuat film ada pendanaan lebih. Pada para peserta, saya juga mengatakan bahwa tidak ada waktu lain yang lebih tepat untuk membuat film. Dengan kamera ponsel kita sudah bisa membuat film, yang penting ada ide. Dulu perlu kamera mahal, banyak crew, dan sebagainya.

Sekarang ada media online [yang bisa membantu menemukan rekan kolaborasi] dan sebagainya, jadi penting untuk punya skill dan mengakali pendanaan, tahu apa yang akan kamu lakukan dan maksimalkan. Saat bisa mengatasi masalah budget, itu sesuatu yang sangat berguna ke depannya. Kamu butuh rencana, itu kenapa saya berbagi topik itu.

Kami pengen kenal kamu lebih baik, kami penasaran, sejak kapan kamu suka film dan kenapa memutuskan terjun di industri ini?

Adrian: Aku sudah suka film sejak masih kecil, aku terobsesi dengan film. Aku nonton film setiap hari, kadang aku nonton satu film yang sama sebanyak dua kali dalam sehari, karena sangat tertarik dengan film. Orang tuaku juga sangat mendukung, orang tuaku juga suka film. Selama waktu terus berjalan, dan saat usiaku 20-an, aku bekerja di toko video game. Ada orang yang mengatakan kamu harus belajar di sekolah film, mereka bilang kalau aku selalu bicara tentang film setiap saat.

Akhirnya aku masuk sekolah film di Sydney, dan itu luar biasa, karena saat sekolah kami membuat film bersama. Masterclass salah satu sesi yang penting untuk mempertemukan orang, saling membantu dan berkolaborasi. Di sekolah aku membuat beberapa film, dan film itu tayang di Venice Film Festival, Itali, salah satu festival terbesar di dunia.

Ada beberapa produser di sana, dan memintaku untuk memproduksi film, feature film. Itu hanya enam bulan setelah Venice Film Festival. Aku orang pertama di kelasku yang membuat film seperti itu, aku sangat beruntung. Aku ambil kesempatan itu, film itu berjudul Forbidden Ground (2013), bercerita tentang Perang Dunia I di Prancis.

Itu film yang membuatku belajar banyak, ada adegan tembakan, ledakan, CGI, green screen, pertempuran besar dengan dua pasukan, tapi tetap dibuat dengan uang yang terbatas, kita harus melakukannya dengan hati-hati. Semua berjalan lancar dan sukses, termasuk dalam penayangan filmnya. Sekarang film itu bisa ditonton di Amazon.

Setelah itu, aku ketemu Steve Jaggi, yang memproduseri banyak filmku. Kita punya visi yang sama, salah satu film kerja sama kami berjudul A Royal in Paradise, film selanjutnya Love Is in the Air, yang tayang di FSAI tahun kemarin. Sekuel A Royal in Paradise akan tayang segera tahun ini.

Kamu beruntung orang tua mendukung passion-mu, dan kamu bisa kuliah film. Tapi tidak semua orang punya kesempatan untuk belajar film di sekolah. Menurutmu, adakah perbedaan sienas yang lulusan sekolah film dan bukan? Dan bagaimana cara seseorang yang bukan lulusan sekolah film bisa terjun di industri ini?

Adrian: Pertanyaan menarik. Itu adalah sesuatu, termasuk dalam lingkaran filmmaker, selalu menjadi perdebatan. Apakah esensial untuk sekolah film, atau cukup langsung membuat film? Jawabannya adalah ya, kamu tidak perlu menyandang gelar sarjana dari sekolah film, karena pada suatu hari, kamu akan mulai dari bawah. Pekerjaan pertama [seorang sineas] adalah menulis secara konsisten, atau untuk menyutradarai dan memproduksi film. Kamu menulis naskah untuk kemudian secara perlahan membuktikan dirimu, dan mencoba banyak kesempatan, itu merupakan cara yang tradisional.

Aku menikmati sekolah film karena bisa bertemu dan berproses bersama dengan orang-orang yang menyukai film, dan saling membantu satu sama lain. Jika kamu punya passion, tidak ada yang bisa menghentikanmu. Dan saat kamu suka film, semua hal mungkin terjadi, karena aku melakukan sesuatu dalam hal belajar dan membuat film, berawal dari menonton film.
Menonton banyak film, bisa membuat kita tahu polanya, menonton dokumenter cara membuat film, membaca skrip, secara konsisten, aku selalu menyarankan orang untuk melakukan itu. Christopher Nolan mungkin salah satu filmmaker terbaik di Amerika, Eropa, atau bahkan dunia, bahkan dia tidak pergi ke sekolah.

Dia bekerja di weekdays, dan membuat film bersama temannya di akhir pekan. Tapi itu menjadikan orang tahu [kualitasnya], dan memberikan dia uang untuk membuat film. Jadi aku suka sekolah film, tapi aku rasa itu tidak selalu esensial, yang esensial adalah menonton dan menyukai film.

Baik. Bisakah kamu bercerita, bagaimana caramu mendapatkan ide? Momen seperti apa yang kamu tangkap hingga yup, ini bisa aku jadikan film. Misal sedang jalan-jalan di kota, dan memperhatikan sesuatu atau sebagainya?

Adrian: Pertama, saat aku mencoba mencari ide, aku tidak tahu ide datang dari mana, tapi ya, saat aku berjalan-jalan di kotaku atau kota asing, kadang aku melihat sesuatu yang bagus untuk dibuat film. Aku punya banyak sekali catatan, ide-ide kecil, setiap ada ide selalu aku tulis, karena kalau tidak aku akan lupa.

Tapi ketika kamu menulisnya, meski hanya ide kecil, tapi kamu membangunnya, saat kamu menulis skrip, kamu akan ingat, owh aku ada ide ini kemarin, dan itu bisa masuk ke sini dengan sempurna. Jadi aku tidak tahu dari mana mencari ide, tapi senjata rahasiaku dalam menulis adalah selalu membuat catatan.

Kara, salah satu co-writer-ku, dia tidak pernah pergi ke sekolah film, dia tidak pernah ikut pelatihan fim, yang dia tahu hanya suka film lebih dari apapun yang lain. Kami menonton film bersama dan dia punya pandangan yang menarik dan pintar. Aku berkata padanya bahwa kita perlu membuat film bersama. Setelah sepekan bekerja bersama, kemampuannya meningkat tajam, karena kami suka menonton film.

Kalau menurutmu, apa makna festival film?

Adrian: Aku sangat suka festival, aku merasa ada perbedaan antara festival dan menang penghargaan. Semua orang ingin mendapatkan penghargaan, aku melakukannya bukan untuk mendapatkan penghargaan, aku melakukannya untuk berterima kasih pada orang-orang, aku membuat film untuk berbagi kesedihan, kegembiraan, kengerian, intinya untuk berbagi perasaan dengan orang lain melalui film, dan melihat reaksinya.

Festival merupakan ruang terbaik untuk itu, karena orang datang dan sangat tertarik dengan film. Mereka datang dari beragam negara dan ingin merasakan beragam budaya, dan beragam tipe film, dengan beragam bahasa. Aku menyukainya, sangat menyukainya.

Dan filmku menjadi bagian dari festival, termasuk FSAI ini, sangat berarti dan suatu bentuk penghargaan, karena bisa menjangkau banyak penonton dari beragam negara. Bagiku itu sudah cukup, jika kita mendapatkan penghargaan di festival, itu hanya bonus. Tapi berbagi film dengan penonton itu sudah cukup.

Terima kasih ceritanya, bisakah kamu beri kami rekomedasi tiga film yang penting menurutmu?

Adrian: Film favoritku dari Stanley Kubrick berjudul "2001: A Space Odyssey" (1968), itu film favoritku sepanjang masa. Tidak untuk semua orang, sangat lambat, tapi saat kita lihat ending-nya, like, bushhh, sangat luar biasa, jadi aku sangat menyukainya.
Aku juga suka film berjudul Drive (2011) karya Nicolas Winding Refn. Bercerita tentang pengendara di malam hari yang mencoba menyelamatkan diri dari kriminal. Film favorit lainnya adalah Lawrence of Arabia (1962) [karya David Lean], film klasik, cerita nyata tentang Perang Dunia I, dan itu film yang luar biasa.

Semuanya film dari Barat, karena itu tempatku tumbuh. Tapi dengan film, kita bisa melihat kesamaan serta perbedaan budaya satu sama lain. Film salah satu cara terbaik untuk melihat kesamaan dari beragamnya budaya.

Dari obrolan ini, sepertinya kamu tipe orang yang suka film bertema perang ya?

Adrian: Itu benar, aku rasa film perang sangat kuat, biasanya film perang akan memperlihatkan bahwa hal terburuk yang dilakukan ke orang lain [adalah peperangan]. Dan film perang itu penting, karena kebanyakan darinya bercerita atau menanyakan, "Kenapa kita perlu perang?".

Dan penting untuk menemukan apa yang menyatukan kita, daripada perang. Aku tidak pernah menonton film perang dan menyatakan wah itu (perang) bagus. Semua film tentang perang memperlihatkan keburukan dan kehancuran, dan memberantakkan hidup kita.

Jadi saat ada orang yang bertanya apa film favoritku, tidak ada yang spesifik, aku menonton semua film, tidak hanya suka genre tertentu saja. Aku suka film yang memberikan perjalanan dan perkembangan pada karakternya. Dan film yang bagus adalah ketika kita menonton film itu, dan merasakan reaksi emosional. Kemudian saat aku sampai di rumah, dan hendak tidur, film itu membuatku juga berpikir tentangnya. Jadi film yang bisa membuatku merasakan emosinya dan berpikir [dalam sekali waktu], itu adalah film terbaik.

Read Entire Article
Ekonomi | Politic | Hukum | Kriminal | Literatur | SepakBola | Bulu Tangkis | Fashion | Hiburan |