Harianjogja.com, JOGJA—Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) DIY mengapresiasi atas program Bantuan Subsidi Upah (BSU) dari pemerintah yang diberikan kepada pekerja dengan gaji di bawah Rp3,5 juta dengn nominal Rp600.000. BSU tersebut disalurkan dua kali pada Juni dan Juli 2025 masing-masing Rp300.000 dan akan dinikmati oleh 17,3 juta pekerja.
Wakil Ketua Apindo DIY Bidang Ketenagakerjaan, Timotius Apriyanto menilai dampak dari BSU tidak cukup signifikan untuk mendongkrak daya beli. Menurutnya jangka waktunya terlalu pendek, selain itu klasifikasinya juga terlalu rendah. Padahal banyak pekerja di Jabodetabek yang memiliki pendapatan Rp3,5 hingga 5 juta dan masuk golongan terdampak.
Ia menambahkan angka Rp300.000 menurutnya tidak cukup signifikan, dia khawatir hanya akan habis untuk konsumsi. "Saya tentu mengapresiasi atas kebijakan pemerintah itu bagian dari insentif kebijakan untuk menaikkan daya beli masyarakat," ucapnya, Rabu (11/6/2025).
BACA JUGA: 11 Kalurahan di Bantul Rawan Tsunami Megathrust, 5 di Zona Merah
Timotius berpendapat mestinya besarannya sama dengan saat pandemi Covid-19 yakni menyasar pekerja dengan pendapatan Rp5 juta ke bawah dan besarannya Rp600.000. Lama berlakunya juga setidaknya enam bulan atau sampai akhir tahun 2025, bukan jangka pendek dua bulan saja.
Akan tetapi ia menyadari hal ini terbentur dengan kemampuan fiskal pemerintah. Dia menyarankan mestinya ada refocusing anggaran misalnya makan bergizi gratis di realokasikan untuk pekerja. Perlu dikaji kembali mana yang bisa memberikan dampak lebih signifikan antara makan bergizi gratis dengan subsidi upah yang kaitannya dengan penyelamatan ekonomi nasional.
"Jangan terus harga mati, ini harus dinamis, harus fleksibel melihat perkembangan dan dinamika sosial ekonomi kita. Kalau cuma dua bulan gak mendongkrak apa-apa," katanya.
Lebih lanjut ia mengatakan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang efisiensi mestinya juga tidak menggeneralisasi kegiatan pemerintah dan rencana kegiatan pemerintah yang berkaitan dengan kemasyarakatan, misalnya industri pariwisata.
Timotius juga mengapresiasi relaksasi yang ada saat ini. Di mana Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition (MICE) coba dihidupkan kembali, karena belanja pemerintah ini menjadi penggerak perekonomian.
"Makanya pemerintah itu harus membentuk tim penyelamatan ekonomi atau ketangguhan ekonomi. Mengkaji secara komprehensif dampak ketidakpastian global pada perekonomian Indonesia," lanjutnya.
Ketua Pusat Studi Ekonomi dan Bisnis Fakultas Bisnis Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW), Purnawan Hardiyanto mengatakan kebijakan BSU yang dilaksanakan oleh Kemenaker tujuannya untuk menjaga daya beli masyarakat berpenghasilan rendah. Sebab perekonomian global dan nasional sedang lesu.
Menurutnya jenis bantuan ini mirip dengan Bantuan Langsung Tunai (BLT) era dua presiden sebelumnya Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Joko Widodo melalui Kemensos. Disalurkan kepada masyarakat lapisan bawah yang terdampak langsung akibat lesunya perekonomian.
Ia menjelaskan subsidi dari pemerintah diberikan supaya daya beli sektor rumah tangga tidak turun. Sehingga pengeluaran sektor rumah tangga dapat dijaga demi mempertahankan tingkat pertumbuhan ekonomi.
"Jumlah Rp300.000 sebulan masih kurang saya kira. Tapi kemampuan pemerintah sedang terbatas. Makanya saya mengatakan ini dampaknya tidak akan terlalu signifikan bagi perekonomian," ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News