Jakarta (ANTARA) - Indonesia merupakan negara yang kaya akan keragaman budaya dan etnis, termasuk keberadaan etnis Tionghoa yang telah lama berbaur dengan masyarakat pribumi.
Etnis Tionghoa dikenal sebagai kelompok yang memiliki tradisi leluhur kuat, salah satunya adalah perayaan Imlek. Namun, pertanyaan yang sering muncul adalah apakah umat Muslim Tionghoa diperbolehkan untuk merayakan Imlek?
Dalam konteks Islam, perayaan budaya seperti Imlek tidak serta-merta dilarang selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Al-Qur’an memberikan pedoman universal terkait kebudayaan, termasuk menghormati keberagaman dan menjalin persaudaraan.
Sebagaimana dalam surat al-Baqarah (2:208), umat Islam diperintahkan untuk masuk ke dalam Islam secara kaffah, tetapi juga diajarkan untuk menghindari sikap ekstrem dalam kehidupan beragama.
Baca juga: Ragam pernak-pernik Imlek yang diminati di kawasan Pecinan Glodok
Makna Imlek dalam perspektif budaya
Secara historis, perayaan Imlek tidak memiliki kaitan langsung dengan agama tertentu. Tradisi ini awalnya merupakan bentuk rasa syukur petani di Tiongkok atas berakhirnya musim dingin dan dimulainya musim semi. Ucapan “Gong Xi Fa Cai” yang sering diartikan sebagai “Selamat Tahun Baru”, sejatinya bermakna doa agar seseorang diberi rezeki melimpah.
Seiring perjalanan waktu, perayaan Imlek diadaptasi menjadi bagian dari identitas budaya etnis Tionghoa di berbagai negara, termasuk Indonesia. Bahkan, beberapa simbol dalam perayaan Imlek, seperti liong dan barongsai, menjadi sarana pembauran budaya antara etnis Tionghoa dan pribumi.
Baca juga: "Imlek Vaganza 5.0" di Sam Poo Kong targetkan 20 ribu pengunjung
Perspektif Al-Qur’an terhadap perayaan budaya
Dalam Islam, tidak semua tradisi budaya dilarang. Tradisi yang bertujuan untuk mensyukuri nikmat Allah dapat dilestarikan, selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Hal ini dijelaskan dalam surat al-Ahzab (33:33) yang menekankan pentingnya menjauhi sikap berlebihan dan menjaga adab.
وَقَرْنَ فِيْ بُيُوْتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْاُوْلٰى وَاَقِمْنَ الصَّلٰوةَ وَاٰتِيْنَ الزَّكٰوةَ وَاَطِعْنَ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗۗ اِنَّمَا يُرِيْدُ اللّٰهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ اَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيْرًاۚ
Artinya: "Tetaplah (tinggal) di rumah-rumahmu dan janganlah berhias (dan bertingkah laku) seperti orang-orang jahiliah dahulu. Tegakkanlah salat, tunaikanlah zakat, serta taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah hanya hendak menghilangkan dosa darimu, wahai ahlulbait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya."
Baca juga: Dinparbud Bangka - Klenteng Kwan Tie Miaw gelar Festival Ceria
Perayaan Imlek oleh Muslim Tionghoa dapat dilakukan jika dipahami sebagai wujud rasa syukur kepada Allah atas karunia-Nya. Namun, jika perayaan tersebut melibatkan unsur-unsur penyembahan selain Allah, maka hukumnya menjadi haram.
Studi kasus Muslim Tionghoa di Indonesia
Penelitian oleh Hasyim Hasanah menunjukkan bahwa di Lasem, Rembang, komunitas Muslim Tionghoa yang dikenal dengan istilah “Ampyang” telah merekontekstualisasi perayaan Imlek sebagai wujud akulturasi budaya. Dalam komunitas ini, Imlek dirayakan dengan penuh semangat kebersamaan, toleransi, dan solidaritas sosial, tanpa meninggalkan nilai-nilai Islam.
Baca juga: Old Shanghai siapkan sarana ibadah hingga atraksi barongsai saat Imlek
Penelitian lain oleh Fajarul Falah dan Suharjianto di Solo juga mengungkapkan bahwa seni liong dan barongsai yang awalnya merupakan tradisi Tionghoa, telah menjadi sarana pembauran antara etnis Tionghoa dan Jawa. Hal ini membuktikan bahwa budaya dapat menjadi jembatan persaudaraan antar-etnis.
Imlek dalam perspektif Islam
Islam memandang kebudayaan sebagai hasil kreativitas manusia yang dapat diterima selama tidak melanggar syariat. Dalam konteks Imlek, umat Muslim Tionghoa tidak harus kehilangan identitas budaya mereka.
Selama perayaan dilakukan dengan niat mensyukuri nikmat Allah dan tanpa unsur penyembahan selain Allah, maka hukum merayakan Imlek dapat diperbolehkan.
Baca juga: Polresta Barelang gelar patroli cipta kondisi amankan libur panjang
Hal ini sesuai dengan semangat Al-Qur’an yang mengajarkan toleransi (QS. Al-Kafirun, 109:6) dan tidak berlebihan dalam segala hal (QS. Al-A'raf, 7:31). Oleh karena itu, perayaan Imlek oleh umat Muslim Tionghoa dapat menjadi wujud harmoni antara budaya dan agama.
Kesimpulan
Berdasarkan kajian di atas, umat Muslim Tionghoa diperbolehkan untuk merayakan Imlek selama perayaan tersebut tidak mengandung unsur syirik dan tetap sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Perayaan ini bahkan dapat menjadi sarana untuk mempererat persaudaraan dan memperkaya keragaman budaya Indonesia. Dengan demikian, Imlek bukan sekadar tradisi etnis, tetapi juga simbol harmoni sosial yang mencerminkan semangat kebhinekaan.
Baca juga: Perayaan Imlek dan Cap Go Meh jadi daya tarik pariwisata Pontianak
Baca juga: Pecinan Glodok meriah dengan pernak-pernik perayaan jelang Imlek
Pewarta: Raihan Fadilah
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2025