Ribuan warga memadati area Kamandungan saat Kirab Pusaka Malam 1 Suro di Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Rabu (19/7/2023). Penyebab konflik Keraton Solo muncul seusai PB XII wafat dan tidak menunjuk permaisuri dan putra mahkota. (Solopos - Joseph Howi Widodo)
Harianjogja.com, SOLO — Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Pura Mangkunegaran Solo selalu mengadakan kirab pusaka untuk memperingati pergantian tahun baru, malam 1 Suro.
Kirab malam 1 Suro diadakan pada Kamis (26/6/2025) di Pura Mangkunegaran setelah waktu Isya. Sedangkan kirab di Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat bakal dimulai pada tengah malam.
BACA JUGA: Malam 1 Suro 2025 di Jumat Kliwon, Sakral Penuh Ritual
Sebagian kalangan masyarakat masih mengaitkan tradisi itu dengan hal-hal berbau mistis, ajang ngalap berkah, dan sebagainya. Namun, sebenarnya peringatan malam 1 Sura ini tidak berbeda dibandingkan dengan peringatan malam pergantian tahun lainnya.
Budayawan yang juga Kerabat Keraton Solo, KRMT Pustokoningrat Restu Budi Setiawan, mengatakan sebetulnya peringatan pergantian tahun diperingati di semua masyarakat, termasuk pecahan Mataram Islam.
Namun berbeda dengan perayaan tahun baru ala Barat, tradisi Jawa menyambut pergantian tahun dengan suasana keprihatinan, perenungan, dan doa. Dia menjelaskan esensi utama dari peringatan Malam 1 Sura adalah untuk "mapak" atau menjumpai tahun yang baru dengan perenungan dan keprihatinan.
"Bagi orang Jawa, menyambut tahun baru itu dengan prihatin. Tujuannya hanya satu, merenung agar diberikan limpahan rahmat dari Tuhan," ujarnya.
Di Keraton Surakarta, ritual puncak menyambut tahun baru Jawa ini dikenal dengan sebutan Murwa Warsa. Istilah ini berasal dari kata murwa atau purwa yang berarti permulaan dan warsa yang berarti tahun.
Inti dari Kirab Pusaka adalah prosesi mengarak pusaka-pusaka keraton mengelilingi benteng dalam keheningan atau yang dikenal sebagai Tapa Bisu Mubeng Benteng.
Momen Refleksi
"Kirab pusaka itu bukan sebagai suatu kegiatan kebudayaan rutin, tapi ini adalah sebuah ritus tradisi di mana masyarakat Jawa harus merenungi kehidupan masa lalu dan menapaki masa depan dengan baik. Intinya adalah doa," jelasnya.
Prosesi ini, menurut Restu, menjadi momen untuk merefleksikan apa yang telah terjadi selama setahun ke belakang. Hal-hal yang baik diharapkan dapat dilestarikan, sementara untuk kesalahan dan hal buruk, dipanjatkan permohonan ampun dan petunjuk agar di tahun depan lebih baik.
Pemilihan pusaka sebagai objek utama dalam kirab bukanlah tanpa alasan. Restu menjelaskan pemilihan itu tidak semata-mata terkait unsur magis, melainkan karena nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya. Menurutnya, pusaka milik Keraton setidaknya memiliki tiga nilai utama.
Pertama, nilai historis. Dia mencontohkan pusaka seperti tombak Kiai Ageng Pleret dan lainnya merupakan warisan para leluhur Mataram. Dengan mengaraknya, terdapat harapan agar generasi penerus dapat mewarisi sifat-sifat kepahlawanan dan patriotisme dari para pendahulu.
“Itu di masa lalu digunakan oleh para leluhur, di mana mereka itu punya sifat kepahlawanan yang diharapkan bisa dicontoh atau diwarisi sifat keutamaan para leluhur itu,” katanya.
Kedua, nilai religius. Pusaka menjadi simbol permohonan doa kepada Tuhan. Hal itu terwujud misalnya melalui bentuk (dapur) dan motif (pamor) pada sebilah keris atau tombak merupakan wujud harapan. "Misalnya pamor 'wos wutah' yang berarti beras tumpah, itu adalah harapan agar selalu dilimpahi hidup yang berkecukupan," tuturnya.
Restu menjelaskan hal ini menunjukkan bagaimana orang Jawa memanjatkan doa tidak hanya secara verbal, tetapi juga melalui simbol. Ketiga, nilai kebudayaan. Ritual ini merupakan warisan turun-temurun yang menjadi tuntunan hidup dan sarana untuk menginternalisasi nilai-nilai kebajikan Jawa kepada generasi muda.
“Di Surakarta ini, Keraton itu merupakan kebudayaan tertinggi, di mana setiap perilaku kebudayaan memiliki nilai sebagai tuntunan hidup, itu hal penting untuk dilestarikan,” katanya.
Sementara itu, jumlah pusaka yang diarak tidak pernah pasti. Restu menjelaskan jumlahnya ditentukan langsung oleh Sinuwun atau Raja. Namun yang pasti jumlahnya selalu dalam bilangan ganjil, seperti satu, tiga, lima, tujuh, dan seterusnya.
"Dalam tradisi Jawa, bilangan ganjil itu adalah bilangan yang dikeramatkan. Karena dianggap, yang ganjil itu adalah daya dan upaya manusia, di mana Tuhan yang akan menggenapi daripada hasil yang diupayakan manusia itu," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : Solopos.com