Aturan pembagian hak "gono-gini" suami istri sesuai hukum

4 hours ago 1

Jakarta (ANTARA) - Pembagian hak atas harta bersama atau sering disebut harta gono-gini, menjadi salah satu hal yang harus diselesaikan dan diatur setelah perceraian suami istri.

Aturan mengenai pembagian harta ini diatur secara jelas dalam hukum perkawinan yang berlaku, untuk memastikan keadilan bagi kedua belah pihak setelah berakhirnya ikatan pernikahan.

Walaupun istilah harta gono-gini populer di kalangan masyarakat, secara hukum istilah tersebut tidak tercantum dalam undang-undang, melainkan dengan sebutan harta bersama.

Apa itu harta gono-gini?

Harta gono-gini merupakan harta yang diperoleh selama masa perkawinan, kemudian menjadi hak bersama suami dan istri tanpa memandang siapa yang menghasilkan atau membeli harta tersebut.

Hal ini didasarkan pada Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, kecuali ada perjanjian pisah harta yang disepakati sebelum menikah.

Sebelum melakukan pembagian harta gono-gini, perlu diketahui jenis harta perkawinan. Sebab, tidak semua harta yang dimiliki selama pernikahan termasuk dalam harta gono-gini.

Menurut undang-undang, ada dua jenis harta perkawinan:

  • harta bersama karena diperoleh selama perkawinan.
  • harta bawaan masing-masing karena diperoleh sebelum menikah sehingga menjadi harta pribadi.

Sedangkan menurut aturan agama Islam, ada tiga jenis harta perkawinan:

  • harta bawaan yang diusahakan sendiri-sendiri dan dimiliki sebelum menikah.
  • harta masing-masing yang bukan diusahakan mereka setelah pernikahan, seperti wasiat atau warisan.
  • harta pencaharian yang diperoleh dan dimiliki mereka atau salah satunya saat berada dalam hubungan perkawinan.

Sehingga dapat disimpulkan, harta bersama (harta gono-gini) termasuk harta yang didapatkan saat masih menjalin hubungan pernikahan, sementara harta masing-masing termasuk harta pemberian untuk pribadi atau dimiliki sebelum menikah.

Pembagian harta gono-gini setelah perceraian

Setelah perceraian diputuskan oleh pengadilan, pembagian harta gono-gini dilakukan berdasarkan prinsip keadilan dan keseimbangan.

Berdasarkan aturan pasal 37 UU Perkawinan dan diperkuat oleh yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 1448K/Sip/1974, pembagian dilakukan secara rata dengan perbandingan 50:50 untuk pihak suami dan istri.

Namun, pembagian ini tidak selalu harus sama rata secara mutlak. Sebab, pengadilan dapat mempertimbangkan faktor lain, seperti kontribusi masing-masing pihak dalam memperoleh harta, penyebab utama perceraian, kondisi ekonomi setelah perceraian, dan kebutuhan anak-anak yang menjadi tanggungan.

Dalam hal ini, pasal 97 KHI mengatur pembagian harta bersama secara umum, lalu perlu dianalisis kembali berdasarkan fakta di persidangan.

Kemudian, pasal 80 ayat (4) KHI menyebutkan bahwa suami wajib menanggung nafkah, biaya rumah tangga, dan kebutuhan anak. Apabila kewajiban ini diabaikan, pembagian harta bisa disesuaikan agar lebih adil sesuai keadaan hubungan mantan suami istri dan anak.

Sementara, bagi istri yang tidak bekerja selama pernikahan atau istri yang menggugat cerai, tetap berhak atas harta gono-gini.

Status istri sebagai ibu rumah tangga yang tidak bekerja tidak menghilangkan haknya atas harta bersama.

Begitu pula, jika istri yang menggugat cerai, ia tetap berhak atas pembagian harta bersama, selama tidak ada perjanjian pisah harta yang mengaturnya (surat perjanjian pranikah).

Namun, dalam Islam terdapat hak nafkah yang perlu dipenuhi oleh mantan suami setelah bercerai, yakni sebagai berikut:

  • Nafkah madhiyah: nafkah yang seharusnya diberikan oleh suami kepada istri selama masih dalam ikatan pernikahan, tetapi belum terpenuhi hingga waktu tertentu dan tidak selalu dihubungkan dengan perkara cerai talak.
  • Nafkah iddah: nafkah bentuk tanggung jawab mantan suami kepada mantan istri selama masa iddah, yaitu masa tunggu setelah terjadinya perceraian.
  • Nafkah mutah: nafkah pemberian dari mantan suami kepada mantan istri sebagai bentuk meringankan rasa sedih akibat perceraian.
  • Nafkah anak: kewajiban ayah pada anak untuk memenuhi kebutuhan anaknya, sampai anak berumur dewasa dan mampu memenuhi kebutuhan dirinya sendiri.

Itulah penjelasan tentang pembagian harta gono-gini suami istri setelah perceraian. Proses pembagian dapat dilakukan melalui pengadilan apabila terjadi perselisihan, dengan pertimbangan berbagai faktor agar hasilnya adil dan sesuai dengan kondisi masing-masing pihak.

Baca juga: Apa saja hak istri setelah cerai? Ini penjelasannya dalam Islam

Baca juga: Apa yang dimaksud "harta gono gini" dalam perceraian?

Baca juga: Gading dan Gisel tak pusingkan harta "gono-gini"

Pewarta: Putri Atika Chairulia
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Ekonomi | Politic | Hukum | Kriminal | Literatur | SepakBola | Bulu Tangkis | Fashion | Hiburan |