Dari kiri ke kanan. Nur Fitri Ramadani, Silvia Mutia Afzah, dan Nur Arrad Tenri Gangka. Harian Jogja - Sirojul Khafid
Harianjogja.com, JOGJA—Ada orang-orang yang memilih untuk tidak menikah hingga lansia. Adakah rasa menyesal hingga kesepian?
Sebut saja namanya Hindia, 69 tahun, bukan nama sebenarnya. Perempuan itu lahir dan besar di Purwokerto. Ekonomi orang tuanya berkecukupan. Semasa kecil, segala kegiatan Hindia dalam pengawasan orang tua. Bermain hingga sekolah perlu ada pengawal serta sopir yang antar-jemput.
Pola pengasuhan itu membuat Hindia jarang berinteraksi dengan dunia luar.
Di masa SMA, dia pindah ke Jogja. Di momen ini, Hindia berinteraksi dengan laki-laki secara intens. Sayangnya, dia justru sering mendapatkan perundungan baik verbal maupun fisik. Misalnya, dia sering diejek sebagai anak yang “pendek”. Pernah juga seragamnya dicoret-coret.
"[Awalnya jarang interaksi sama laki-laki], pas udah ada kesempatan interaksi sama laki-laki, ternyata pengalaman pertamanya buruk, jadinya dia takut sama laki-laki. Selama hidupnya, dia enggak pernah menjalin hubungan asmara dengan siapapun," kata Nur Fitri Ramadani, mahasiswi Magister Psikologi UGM, saat menceritakan kisah hidup Hindia, Kamis (12/6).
Fitri bersama Nur Arrad Tenri Gangka dan Silvia Mutia Afzah meneliti fenomena lansia yang tidak menikah dan tinggal di panti wreda. Judul penelitiannya, Jauh dari Rumah, Dekat dengan Kesepian: Studi Etnografi Mengenai Loneliness pada Lansia Tanpa Pasangan.
Fitri melanjutkan cerita tentang Hindia, yang merupakan partisipan penelitiannya. Setelah memasuki usia lansia, hanya keponakan yang mendampingi Hindia. Namun dinamika keluarga, serta keponakan yang sibuk bekerja, membuat Hindia dimasukkan ke salah satu panti wreda di Jogja.
"[Jadi Hindia masuk ke panti] bukan karena keinginannya, dia merasa dibuang, dia merasa keluarganya masih mampu mengurusnya," kata Fitri.
Beda lagi dengan lansia perempuan bernama Namaswara (nama samaran), 62 tahun. Tenri bercerita partisipannya tersebut sejak kecil sudah bekerja sebagai pembantu. Dia berhenti sekolah pada kelas V SD. Namaswara tidak pernah menjalin hubungan asmara. Dia tidak percaya diri dengan kondisi ekonomi dan pendidikannya.
Namaswara merasa orang miskin tidak pantas menikah. "Ada doktrin [di lingkungannya] kalau orang dengan ekonomi rendah enggak boleh nikah. Dia juga merasa enggak ada laki-laki yang mau sama dia," kata Tenri. "Sejak kecil hingga lansia [Namaswara] jadi pembantu, terus sama juragannya dimasukkan ke panti wreda."
Hindia dan Namaswara masuk panti karena dorongan orang sekitar. Namun Berliana (nama samaran), 70 tahun, justru bercita-cita masuk panti wreda. Dia tidak menikah lantaran terjebak dengan cinta masa lalunya. Saat SMP, Berliana pernah berpacaran dengan anak SMA. Dia melihat pacarnya sebagai sosok yang sempurna. "Kenapa [Berliana] enggak menjalin hubungan baru? Karena enggak ada yang sebaik mantannya," kata Silvia.
Tidak Menyesal
Tidak menikah dan tinggal di panti wreda, tidak membuat Berliana menyesal dengan hidupnya. Terlebih memang dia berencana tinggal di panti, dengan segala kegiatan dan fasilitasnya. Berliana tidak menyesal untuk tidak menikah. "[Mbah Berliana] Legawa, bilang kalau sudah takdir dari Allah untuk tidak menikah, dan enggak menyesal, enggak ada trauma," kata Silvia.
Namaswara juga tidak menyesal untuk tidak menikah. Meski sesekali dia merasa malu, karena mendapat label perawan tua. Di sisi lain, Namaswara tidak mau menikah apabila hal itu tidak menaikkan taraf ekonominya. Misalpun menikah, tujuannya bukan kebutuhan hubungan romantis, lebih ke perekonomian. "Mbah Namaswara bilang, kalau cewek itu harus kerja, enggak nikah enggak apa-apa, itu opsional," kata Tenri.
Hal serupa juga berlaku untuk Hindia. Dia tidak menyesal tidak memiliki pasangan hidup. Justru Hindia memilih hidup sendiri, daripada menikah dengan laki-laki yang salah. Tidak menikah, baginya, bisa jadi pilihan terbaik dalam hidup.
"Kalau enggak dikasih jodoh mau gimana lagi, [selama ini Mbah Hindia] dikelilingi orang yang sayang sama dia. Di panti dia tidak merasa malang, di sekitarnya ada yang mengalami hal yang sama [seperti Namaswara dan Berliana]," katanya.
Meski tidak ada penyesalan hidup melajang sampai tua, rasa sepi tetap bisa mampir sesekali ke tiga lansia ini. Hindia sedari kecil selalu dikelilingi orang yang sayang padanya, keluarga atau karyawan orang tuanya. Sementara di panti, petugas harus membagi perhatiannya dengan lansia lain. Untungnya ada teman sesama lansia, meski interaksinya juga terbatas.
Kedua mata Hindia katarak, sehingga tidak bisa bergabung misal para lansia menonton televisi bersama. Dia juga tidak bisa duduk terlalu lama, sehingga harus berbaring di kamar. "Enggak ada lansia yang nemenin dia berbaring di kamar selama berjam-jam itu," kata Fitri.
Kenangan indah masa lalu, saat kedua orang tua dan kakek neneknya masih ada, yang kadang terbersit di benak Namaswara. Untuk Berliana, dia selalu mencari kegiatan saat merasa sepi. Di antara para lansia, dia satu-satunya yang memiliki smartphone. Tidak jarang Berliana mendengarkan sinden atau ceramah di YouTube.
Para lansia rentan merasa kesepian saat malam hari. Pagi hingga sore, banyak petugas maupun karyawan panti yang berlalu-lalang, mengajak berbicara, dan sebagainya. Terkadang ada pula tamu yang berkunjung. Namun selepas Magrib, sudah tidak ada kegiatan, dan tidak ada banyak cara mengusir sepi.
Penelitian ini juga mengajarkan Fitri, terutama sebagai mahasiswi psikologi, untuk semakin paham bahwa seseorang perlu menyembuhkan lukanya sejak kecil. Jangan sampai trauma masa kecil berdampak besar di kehidupan masa dewasa. Apabila mencintai anak, jangan selalu mengekang. Bentuk cinta pada anak bukan dengan 'mendekap', namun bisa 'menggenggam tangan', dan memberikan ruang eksplorasi pada anak.
"Penanganan trauma perlu sedini mungkin, serta menerapkan pola asuh yang tepat," katanya. "Rumah juga bukan selalu tentang keluarga sedarah, tapi rumah tentang siapa yang ada dan ingin selalu ada untuk kita."
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News