Jakarta (ANTARA) - I’tikaf merupakan salah satu ibadah yang dianjurkan dalam Islam, terutama di bulan Ramadhan. Secara bahasa, i’tikaf berasal dari kata ‘akafa yang berarti menetap atau berdiam diri.
Dalam syariat Islam, i’tikaf didefinisikan sebagai berdiam diri di masjid dengan niat mendekatkan diri kepada Allah SWT melalui ibadah seperti shalat, dzikir, membaca Al-Qur’an, dan doa.
Namun, dalam pelaksanaannya, terdapat aturan-aturan tertentu yang harus dipatuhi oleh orang yang beritikaf, termasuk dalam interaksi antara suami dan istri. Salah satu pertanyaan yang sering muncul adalah apakah istri boleh bertemu suami saat menjalankan i’tikaf?
Baca juga: Asal mula dan sejarah itikaf dalam ajaran Islam
Hukum bertemu suami saat i’tikaf
Dalam Al-Qur'an, Allah SWT berfirman:
وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
“Janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beritikaf dalam masjid.” (QS. Al-Baqarah: 187)
Ayat ini menegaskan bahwa hubungan suami istri secara fisik (bersetubuh) dilarang selama seseorang sedang dalam keadaan i’tikaf. Namun, bagaimana dengan sekadar bertemu atau berinteraksi tanpa melibatkan hubungan intim?
Muhammad Bagir dalam Fiqih Praktis I (2008: 375) menjelaskan bahwa i’tikaf seseorang akan batal jika melakukan hal-hal berikut:
- Keluar dari masjid secara sengaja tanpa alasan yang kuat.
- Hilangnya kesadaran akal karena gila atau mabuk.
- Haid dan nifas bagi perempuan.
- Melakukan hubungan suami istri atau keluar mani akibat sentuhan fisik dengan lawan jenis (mencium, memeluk, dan sebagainya).
Dari penjelasan ini, dapat disimpulkan bahwa bertemu suami saat i’tikaf tetap diperbolehkan selama tidak ada sentuhan yang membangkitkan syahwat atau menyebabkan keluarnya mani.
Baca juga: Amalan doa sapu jagat: Bacaan, Keutamaan, dan waktu mengamalkannya
Pendapat para ulama
Ahmad Abdurrazaq Al-Kubaisi dalam bukunya Itikaf Penting dan Perlu (1994: 45) menjelaskan bahwa esensi dari i’tikaf adalah meninggalkan kesibukan dunia dan berkonsentrasi penuh kepada ibadah. Oleh karena itu, segala aktivitas yang dapat mengganggu tujuan tersebut, termasuk interaksi yang berlebihan antara suami dan istri, sebaiknya dihindari.
Namun, dalam praktiknya, Rasulullah SAW tetap berinteraksi dengan istri-istrinya saat i’tikaf. Sayyid Sabiq dalam Fikih Sunnah Jilid 2 (2021: 297) menyebutkan:
“Diperbolehkan menyentuh istri, dengan syarat tanpa disertai syahwat. Salah seorang istri Rasulullah SAW biasa menyisir rambut beliau ketika beliau sedang i’tikaf.”
Adapun menyentuh istri dengan syahwat, terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama:
- Imam Abu Hanifah dan Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa menyentuh istri dengan syahwat merupakan perbuatan yang dilarang, namun tidak membatalkan i’tikaf kecuali jika menyebabkan keluarnya mani.
- Imam Malik berpendapat bahwa menyentuh istri dengan syahwat membatalkan i’tikaf, karena termasuk dalam kategori aktivitas yang diharamkan.
Dengan adanya perbedaan pendapat ini, seorang muslim dapat memilih fatwa yang dirasa lebih kuat dan sesuai dengan keyakinannya.
Bertemu suami saat i’tikaf diperbolehkan selama tidak melibatkan aktivitas yang membatalkan i’tikaf, seperti hubungan intim atau sentuhan yang membangkitkan syahwat.
Sebagai bentuk kehati-hatian, pasangan suami istri yang menjalankan i’tikaf sebaiknya membatasi interaksi mereka agar tetap fokus dalam beribadah dan tidak mengurangi keutamaan i’tikaf itu sendiri. Selain itu, bagi istri yang ingin beritikaf, disunnahkan untuk meminta izin kepada suaminya agar tidak mengabaikan hak-hak rumah tangga.
Wallahu a’lam bishawab.
Baca juga: Pengelola Istiqlal ingatkan iktikaf bukan tak keluar dari masjid
Baca juga: Cerita penantian di pengujung Ramadhan dari sudut Istiqlal
Pewarta: Raihan Fadilah
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2025