Asal mula dan sejarah itikaf dalam ajaran Islam

3 hours ago 2

Jakarta (ANTARA) - I’tikaf adalah salah satu ibadah dalam Islam yang memiliki akar sejarah panjang dan dianjurkan terutama pada bulan Ramadhan. Secara bahasa, i’tikaf berasal dari kata ‘akafa yang berarti menetap atau berdiam diri.

Dalam konteks syariat, i’tikaf diartikan sebagai berdiam diri di masjid dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah dengan melakukan berbagai ibadah, seperti shalat, dzikir, membaca Al-Qur’an, dan doa.

I’tikaf dalam syariat umat terdahulu

I’tikaf bukanlah ibadah yang hanya berlaku dalam Islam, tetapi juga merupakan bagian dari syariat umat-umat terdahulu. Hal ini ditegaskan oleh Al-Bujairimi dalam Hasiyyah ‘ala Syarhil Minhaj, yang menyebutkan bahwa i’tikaf adalah bagian dari “Syar’u man qablana” atau syariat umat sebelum Islam.

Dalam Al-Qur’an, i’tikaf telah disebutkan dalam Surat Al-Baqarah ayat 125, di mana Allah memerintahkan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail untuk membersihkan Ka’bah bagi orang-orang yang thawaf, yang beritikaf, serta yang rukuk dan sujud:

Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail, ‘Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i’tikaf, yang rukuk, dan yang sujud.’” (QS. Al-Baqarah: 125)

Ayat ini menunjukkan bahwa praktik i’tikaf telah ada sejak zaman Nabi Ibrahim AS, di mana umat terdahulu juga menjalankan ibadah ini di tempat ibadah mereka sebagai bentuk mendekatkan diri kepada Allah.

Baca juga: Masjid Istiqlal tidak akan gelar kegiatan itikaf

I’tikaf dalam ajaran Islam

Dalam Islam, i’tikaf merupakan ibadah yang dianjurkan, terutama pada bulan Ramadhan. Dalam Al-Baqarah ayat 187, Allah menegaskan bahwa ketika beritikaf di masjid, seorang Muslim tidak boleh mencampuri istrinya:

Janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beritikaf dalam masjid.” (QS. Al-Baqarah: 187)

Nabi Muhammad SAW sendiri secara konsisten menjalankan i’tikaf di bulan Ramadhan. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah RA, disebutkan bahwa Rasulullah SAW selalu melakukan i’tikaf di sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan hingga wafatnya:

Dari Aisyah RA, istri Nabi Muhammad SAW, bahwa Nabi Muhammad SAW beritikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan sampai beliau wafat. Kemudian para istrinya mengikuti i’tikaf pada waktu tersebut setelah wafatnya beliau.” (HR. Bukhari)

Selain itu, dalam riwayat Abu Said Al-Khudri disebutkan bahwa Rasulullah SAW juga pernah melakukan i’tikaf di sepuluh hari pertengahan Ramadhan:

Dari Abu Said Al-Khudri RA, bahwa Rasulullah SAW i’tikaf pada sepuluh hari pertengahan bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari)

Pada tahun terakhir kehidupannya, Rasulullah SAW bahkan meningkatkan ibadah i’tikafnya hingga dua puluh hari sebagaimana disebutkan dalam hadis Abu Hurairah RA:

Dari Abu Hurairah RA, bahwa Nabi Muhammad SAW beritikaf dalam satu tahun sepuluh hari. Pada tahun wafatnya, beliau beritikaf selama dua puluh hari.” (HR. Bukhari)

Baca juga: Cerita penantian di pengujung Ramadhan dari sudut Istiqlal

Sejarah penetapan i’tikaf di sepuluh hari terakhir Ramadhan

Salah satu alasan utama i’tikaf menjadi amalan utama di sepuluh hari terakhir Ramadhan adalah pencarian malam Lailatul Qadar. Hadis riwayat Muslim menjelaskan bahwa pada awalnya, Rasulullah SAW melakukan i’tikaf di sepuluh hari pertama Ramadhan untuk mencari malam Lailatul Qadar. Namun, kemudian beliau mendapat informasi dari malaikat bahwa malam tersebut berada di sepuluh hari terakhir, sehingga beliau mengubah waktu i’tikafnya:

Sesungguhnya aku melakukan i’tikaf pada sepuluh hari pertama untuk mencari malam ini (Lailatul Qadar). Kemudian aku melakukan i’tikaf pada sepuluh malam pertengahan bulan, lalu aku didatangi seseorang yang mengatakan kepadaku bahwa Lailatul Qadar ada pada sepuluh malam terakhir. Barangsiapa di antara kalian yang ingin melakukan i’tikaf, maka lakukanlah!’ Lalu orang-orang pun ikut beri’tikaf bersama beliau.” (HR. Muslim)

Hadis ini menjelaskan bagaimana Rasulullah SAW menyesuaikan pelaksanaan i’tikafnya berdasarkan wahyu yang beliau terima. Sejak saat itu, i’tikaf di sepuluh malam terakhir Ramadhan menjadi kebiasaan yang terus dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabat, serta dianjurkan bagi umat Islam hingga kini.

Waktu dan keutamaan i’tikaf

Menurut pandangan ulama, i’tikaf dapat dilakukan kapan saja dan tidak terbatas pada bulan Ramadhan. Al-Bujairimi menyebutkan bahwa i’tikaf dapat dilakukan setiap saat, bahkan pada waktu-waktu yang makruh (waktul karahah). Syekh Zainuddin Al-Malibari dalam Fathul Mu’in juga menjelaskan:

Disunahkan i’tikaf setiap waktu, yakni dengan berdiam lebih dari waktu tuma’ninahnya sholat.”

Namun, i’tikaf pada sepuluh hari terakhir Ramadhan tetap memiliki keutamaan tersendiri karena bertepatan dengan malam Lailatul Qadar. Malam yang disebut lebih baik dari seribu bulan ini merupakan malam turunnya Al-Qur’an, dan beribadah di dalamnya memiliki pahala yang luar biasa.

Baca juga: Masjid Al-Furqon Bandarlampung fasilitasi Itikaf di 10 malam akhir

Baca juga: Pengelola Istiqlal ingatkan iktikaf bukan tak keluar dari masjid

Pewarta: Raihan Fadilah
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Ekonomi | Politic | Hukum | Kriminal | Literatur | SepakBola | Bulu Tangkis | Fashion | Hiburan |