Tembakau Siluk Masih Jadi Kebanggaan Selopamioro di Bantul

4 hours ago 3

Tembakau Siluk Masih Jadi Kebanggaan Selopamioro di Bantul Salah satu pegawai Budimin yang bertugas untuk merajangi tembakau Siluk yang hendak dikeringkan. Menurut Budimin, harga tembakau tahun ini cukup stabil di kisaran Rp7.000 hingga Rp8.000 per kilogram untuk daun kering berkualitas. Kiki Luqman

Harianjogja.com, BANTUL— Meski lahan makin terbatas dan generasi muda banyak beralih profesi, para petani di Desa Selopamioro, Kapanewon Imogiri, Kabupaten Bantul, masih setia menanam tembakau Siluk, varietas lokal yang telah menjadi ciri khas daerah tersebut selama puluhan tahun.

Ketua Kelompok Tani Bumi Mukti, Saridi mengatakan luas lahan tembakau di wilayahnya kini hanya sekitar 40 hingga 50 hektare dari total lahan pertanian sekitar 100 hektare. Padahal, potensi lahan sebenarnya bisa mencapai 70 hektare jika area Sultan Ground dapat dimanfaatkan.

“Kalau di sini luasnya hampir 100 hektare, tapi yang bisa ditanami tembakau baru sekitar 50 hektare. Sisanya belum bisa karena terkendala pengairan,” kata Saridi, saat ditemui di rumahnya Jumat (10/10/2025).

Menurutnya, menanam tembakau sudah menjadi tradisi yang melekat di Selopamioro. Namun, tantangan terbesar datang dari regenerasi. Ia menganggap tembakau Siluk bukan sekadar komoditas, tetapi warisan budaya dan sumber penghidupan turun-temurun. 

Petani muda kini lebih tertarik pada tanaman hortikultura karena bisa cepat dijual dan hasilnya langsung terasa, berbeda dengan tembakau yang baru menghasilkan setelah masa pengeringan dan perajangan selesai.

“Anak muda sekarang senangnya yang panen cepat dapat uang. Kalau tembakau kan harus disimpan dulu baru dijual. Tapi sebagian mulai sadar, hasil tembakau bisa jadi tabungan saat musim tanam lain sepi,” ujarnya.

Saridi menyebut, petani aktif tembakau di Selopamioro juga menerima dukungan dari pemerintah melalui Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT). Dana itu diberikan hanya kepada petani yang benar-benar menanam tembakau sebagai bentuk apresiasi atas upaya mereka menjaga tradisi pertanian khas Imogiri.

“Yang dapat dana cukai itu ya yang benar-benar menanam tembakau. Itu sudah aturan dari dinas. Tujuannya untuk merangsang agar tembakau tetap jadi ciri khas Selopamioro,” jelasnya.

Data Kelompok Tani Bumi Mukti mencatat, terdapat sekitar 312 petani tembakau yang tersebar di enam pedukuhan, yaitu Srunggo I, Srunggo II, Kalidadap I, Kalidadap II, Siluk, dan Lemantung. Tahun ini, mereka mendapatkan bantuan DBHCHT sebesar Rp600.000 per orang, dan rencananya akan naik menjadi Rp700.000 per orang pada periode berikutnya.

Selain menjadi penopang ekonomi, tembakau Siluk juga memiliki nilai historis dan cita rasa yang khas. Dikenal dengan karakter cekel, gondo, roso, dan rupo artinya enak dipegang, harum, nikmat dihisap, dan berwarna kemerahan-jenis ini menjadi kebanggaan masyarakat Selopamioro sejak masa lampau.

“Kalau dari rasa dan rupa, tembakau Siluk itu punya ciri sendiri. Banyak yang mencoba menanam varietas lain, tapi hasil terbaik tetap di Siluk,” ujar Saridi.

Namun, ia mengakui tantangan terbesar kini bukan hanya regenerasi, tetapi juga perubahan iklim yang makin sulit diprediksi. Musim kemarau yang pendek dan hujan yang tidak menentu membuat proses pengeringan sering gagal, padahal kualitas daun tembakau sangat bergantung pada panas matahari yang stabil.

Dari sisi pemasaran, sebagian besar tembakau Siluk dijual dalam bentuk rajangan kering tanpa kemasan, sehingga tidak terkena pungutan cukai. Upaya petani untuk mengembangkan produk kemasan sendiri belum berjalan karena terbentur biaya cukai dan pengemasan yang tinggi.

“Tahun kemarin sempat ada program pengemasan dari Disperindag, tapi akhirnya berhenti karena tidak sanggup bayar cukai,” tutur Saridi.

Meski begitu, permintaan tembakau lokal tetap tinggi. Pengepul dari berbagai wilayah seperti Imogiri, Beringharjo, hingga Kulonprogo rutin membeli tembakau rajangan dari Selopamioro. Sebagian besar pembeli memasarkan kembali tembakau Siluk ke toko kelontong dan kios lintingan yang kini banyak diminati masyarakat.

“Sekarang banyak yang beralih ke tembakau lintingan. Katanya rasanya lebih nikmat dan alami,” ujar Saridi.

Sementara itu, Budimin, pengepul dan petani tembakau Siluk yang sudah 20 tahun menekuni usaha ini, mengatakan harga tembakau tahun ini cukup stabil di kisaran Rp7.000 hingga Rp8.000 per kilogram untuk daun kering berkualitas. Namun, risiko gagal panen masih tinggi, terutama saat musim hujan.

“Kalau musim hujan risikonya besar sekali. Tembakau mudah rusak karena tidak bisa dijemur dengan sempurna,” kata Budimin.

Ia menjelaskan, proses pascapanen tembakau Siluk membutuhkan waktu sekitar lima hari, mulai dari panen, penjemuran, hingga perajangan. Menurutnya, waktu tanam yang tepat sangat berpengaruh pada hasil akhir.

“Waktu tanam paling bagus itu Agustus sampai September, saat panasnya pas. Kalau kelewat, kualitas daun bisa turun,” ujarnya.

Budimin menambahkan, cita rasa tembakau Siluk yang khas membuat banyak pembeli tetap datang setiap tahun, bahkan saat harga naik. “Pembeli banyak datang dari Beringharjo, Imogiri, dan Kulonprogo. Tembakau Siluk ini punya rasa yang beda, dan itu yang dicari,” tutupnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Read Entire Article
Ekonomi | Politic | Hukum | Kriminal | Literatur | SepakBola | Bulu Tangkis | Fashion | Hiburan |