Harianjogja.com, JOGJA—Kebangkrutan di Amerika Serikat kembali meningkat signifikan. Tahun 2025 tercatat 557.376 pengajuan, naik 10,6 persen dari 504.112 kasus pada 2024. Kenaikan ini terjadi di seluruh spektrum, meliputi sektor bisnis dan rumah tangga.
Kantor Administrasi Pengadilan AS mencatat kenaikan dua digit dalam jumlah kasus yang diajukan. Tren ini menjadi sorotan di tengah tekanan ekonomi makro yang masih membayangi. Mayoritas pemohon rumah tangga memilih dua bab utama dalam hukum kebangkrutan AS, yakni Bab 7 dan Bab 13.
"Mayoritas warga, sebanyak 333.321 orang, mengajukan kebangkrutan Bab 7 (likuidasi aset), sementara 200.290 orang memilih Bab 13 (restrukturisasi pembayaran utang)," tulis laman courthousenews, dikutip Rabu (26/11/2025).
Sementara itu, di sektor bisnis, sepanjang tahun 2025 tercatat 24.039 perusahaan dinyatakan bangkrut. Angka ini mengalami kenaikan 5,6% dari 22.762 kasus pada tahun sebelumnya. Sejumlah nama besar, seperti Rite Aid, JoAnn, Forever 21, Hooters, dan layanan genetik 23andMe, termasuk dalam daftar perusahaan yang mengalami kebangkrutan.
Amy Quackenboss, Direktur Eksekutif American Bankruptcy Institute (ABI), menegaskan bahwa tantangan ekonomi makro yang berkelanjutan menjadi pendorong utama lonjakan kasus ini.
"Tantangan ekonomi yang terus berlanjut, harga yang lebih tinggi, kondisi pinjaman semakin ketat, dan ketidakpastian geopolitik, terus membebani konsumen dan bisnis," ujar Quackenboss dalam pernyataannya.
Meskipun demikian, Quackenboss menekankan bahwa mekanisme kebangkrutan adalah alat yang sangat penting untuk pemulihan finansial.
"Kebangkrutan tetap menjadi alat yang sangat diperlukan untuk membantu keluarga dan bisnis yang terbebani utang memulai awal baru," tambahnya.
Dari sisi akademis, tren kebangkrutan ini cenderung mencerminkan kondisi masalah finansial yang telah lama terakumulasi, alih-alih respons atas gejolak ekonomi sesaat. Belisa Pang, Asisten Profesor Hukum University of Michigan, menjelaskan bahwa masyarakat umumnya menunda pengajuan kebangkrutan.
"Ini bukan respons atas apa yang terjadi kemarin, melainkan akumulasi masalah bertahun-tahun," tegasnya.
Pang juga menyoroti adanya fenomena kelompok yang seharusnya mengajukan kebangkrutan tetapi memilih untuk tidak melakukannya. Ia menduga stigma sosial atau hambatan akses seperti biaya hukum menjadi penyebab utama.
"Banyak orang yang menderita tampaknya tidak mengajukan kebangkrutan... Kami belum tahu penyebab pastinya," katanya.
Meskipun telah meningkat secara signifikan selama tiga tahun terakhir, tingkat kebangkrutan saat ini masih jauh di bawah level sebelum pandemi. Sebagai perbandingan, pada tahun 2005, lebih dari 2 juta individu dan bisnis menyatakan bangkrut. Angka saat ini, meski sudah sekitar sepertiga lebih tinggi dari titik terendah pada tahun 2022 (380.634 pengajuan), masih menunjukkan ruang untuk potensi peningkatan lebih lanjut.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


















































