Simak hukum menjarah minimarket dalam kondisi bencana alam

1 day ago 3

Jakarta (ANTARA) - Bencana banjir dan tanah longsor yang melanda Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara dalam beberapa hari terakhir menyisakan dampak serius bagi masyarakat.

Selain kerusakan material dan banyaknya korban jiwa, peristiwa ini juga memunculkan tindakan warga yang nekat menerobos dan mengambil makanan dari minimarket karena kondisi yang terisolasi dan tidak mendapat pasokan logistik.

Dengan kondisi tersebut, sebagian menyebut tindakan ini sebagai aksi penjarahan, namun yang lainnya juga menilai sebagai upaya bertahan hidup karena kondisi darurat.

Lalu, bagaimana hukum pidana dan hukum Islam memandang peristiwa ini?

Baca juga: Benarkah jenazah tak boleh sendirian sebelum dimakamkan? Ini alasannya

Berdasarkan hukum pidana Indonesia

Dalam hukum pidana, mengambil barang milik orang lain tanpa izin tetap dikategorikan sebagai tindak pidana pencurian. Karena kondisi bencana, tidak secara langsung menghapus status tersebut.

Melansir laman hukum online, pakar hukum pidana UMJ, Chairul Huda, menjelaskan bahwa pencurian tetap merupakan tindak pidana meskipun dilakukan saat bencana.

Kemudian, pandangan serupa juga disampaikan pakar hukum pidana UII Yogyakarta, Mudzakir, yang menegaskan bahwa mengambil barang milik pihak lain tetap masuk kategori pidana.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 362 mengatur pelaku pencurian dapat dihukum dengan pidana penjara maksimal 5 tahun atau denda paling banyak Rp900.000.

Hukuman tersebut berlaku bagi pelaku pencurian biasa. Jika pencurian dilakukan dalam kondisi bencana, maka pencurian tersebut masuk dalam kategori pemberatan.

Lalu, pasal 363 KUHP ayat (1) butir 2 menyebutkan bahwa pencurian yang terjadi saat banjir, kebakaran, gempa bumi, dan keadaan bahaya lainnya dapat dikenakan hukuman maksimal tujuh tahun penjara.

Baca juga: Bagaimanan hukum tidur tanpa pakaian menurut Islam? Ini penjelasannya

Pemberatan dapat meningkat menjadi sembilan tahun sebagaimana Pasal 363 ayat (2) KUHP jika pencurian dilakukan saat malam hari, dilakukan oleh lebih dari satu orang, atau dilakukan dengan cara merusak bangunan dan menggunakan alat atau kunci palsu.

Secara hukum formal, tindakan menerobos minimarket dan mengambil makanan pada saat bencana, masih dianggap pencurian, sehingga pelakunya tetap dapat dijerat pidana.

Meski demikian, hukum pidana juga mengenal konsep overmacht atau keadaan terpaksa. Pasal 48 KUHP menyatakan bahwa seseorang yang melakukan perbuatan tersebut karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana.

Dalam konteks bencana, seseorang yang terpaksa mengambil makanan demi menyelamatkan jiwa dapat dipertimbangkan berada dalam kondisi overmacht, dengan syarat:

  • Tindakan dilakukan karena kebutuhan mendesak untuk menyelamatkan diri.
  • Tidak ada akses bantuan atau pasokan makanan.
  • Makanan diambil secukupnya untuk kebutuhan bertahan hidup, bukan untuk ditimbun atau dijual beli.

Namun, kondisi ini hanya hakim di pengadilan yang dapat menilai, berdasarkan bukti lapangan, seperti isolasi wilayah, keterlambatan bantuan, atau kondisi korban yang terancam kelaparan.

Perlu dipahami bahwa overmacht dapat menghapuskan pidana, tetapi tidak membuat perbuatan tersebut menjadi diperbolehkan. Perbuatannya tetap melawan hukum, hanya pelakunya tidak dijatuhi hukuman.

Baca juga: Bolehkah masjid dipakai untuk tidur?

Berdasarkan hukum Islam

Dalam syariat Islam, mengambil harta milik orang lain dengan cara yang tidak dibenarkan hukumnya adalah haram, sebagaimana juga diatur dalam hukum pidana Indonesia.

Namun, Islam juga memberikan pengecualian dalam kondisi darurat. Dalam situasi tertentu yang terdesak dan tidak berlebihan, seseorang diperbolehkan mengonsumsi sesuatu yang sebenarnya haram. Hal ini merujuk pada firman Allah:

“Barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah: 173)

Hukum Islam mengakui "dharurat", yaitu keadaan terpaksa yang dapat mengubah sesuatu yang awalnya haram menjadi dibolehkan dalam batas tertentu.

Jika seseorang berada dalam kondisi kelaparan ekstrem dan tidak ada makanan halal yang tersedia, maka mengambil dan mengonsumsi makanan haram tidak dianggap sebagai dosa.

Bahkan, apabila nyawa terancam, ia wajib mengonsumsi makanan tersebut untuk mempertahankan hidup. Menolak makan hingga berujung membahayakan diri justru akan menjadi dosa.

Agar makanan hasil mengambil atau menjarah dalam kondisi darurat boleh dikonsumsi, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi:

  • Terdapat bahaya nyata yang mengancam keselamatan jiwa.
  • Tidak tersedia pilihan makanan halal lainnya.
  • Ada keyakinan bahwa tindakan tersebut dapat menghilangkan bahaya.
  • Tindakan tersebut tidak menimbulkan bahaya baru yang lebih besar.
  • Pengambilan makanan dilakukan sebatas kebutuhan mendesak, tidak berlebihan atau menimbun.

Meski demikian, perlu dipahami bahwa mencuri atau menjarah tetap haram pada kondisi normal.

Pengecualian hanya berlaku bagi orang yang benar-benar terpaksa karena ancaman kelaparan atau kehausan, seperti dalam kondisi bencana dan perang.

Menjarah secara berlebihan, seperti membawa karung atau mengambil barang yang tidak berkaitan dengan kebutuhan makan (televisi, kulkas, dan elektronik lainnya), tetap tergolong perbuatan haram.

Baca juga: Menutup mata saat shalat, bolehkah menurut ajaran Islam?

Baca juga: OKI kecam rancangan hukum Israel soal hukuman mati tahanan Palestina

Pewarta: Putri Atika Chairulia
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Ekonomi | Politic | Hukum | Kriminal | Literatur | SepakBola | Bulu Tangkis | Fashion | Hiburan |