Harianjogja.com, JOGJA—SETARA Institute menempatkan Salatiga sebagai kota paling toleran di Indonesia tahun 2024. Urutan selanjutnya, dari nomor dua hingga sepuluh yaitu Singkawang, Semarang, Magelang, Pematang Siantar, Sukabumi, Bekasi, Kediri, Manado, dan Kupang.
Dalam laporan Indeks Kota Toleran (IKT) 2024, SETARA menyatakan peringkat sepuluh kota dengan skor toleransi tertinggi IKT 2024 secara umum masih sama dengan IKT 2023. Namun ada dinamika perubahan posisi di dalamnya. Kokohnya kota-kota tersebut dalam sepuluh peringkat teratas semakin menegaskan terjaga dan terus bersinerginya elemen-elemen kota dalam menjaga ekosistem toleransi.
Di samping itu, ada pula kinerja tiga jenis kepemimpinan yang semakin promotif, yakni kepemimpinan kemasyarakatan (societal leadership), kepemimpinan politik (political leadership) dan kepemimpinan birokrasi (bureaucratic leadership). Dinamika peringkat kota-kota tersebut memperlihatkan berbagai inovasi yang terus ditunjukkan kota-kota dalam menguatkan ekosistem toleransi di wilayahnya.
Kondisi tersebut di antaranya terlihat dengan adanya peringkat satu baru sebagai kota dengan skor toleransi tertinggi pada IKT 2024. "Jika pada IKT 2023 dan sebelumnya, peringkat satu diduduki Kota Singkawang, maka pada tahun 2024 diduduki Kota Salatiga dengan skor 6,544. Kota Salatiga naik dua peringkat setelah sebelumnya pada IKT 2023 menempati peringkat tiga," tulis SETARA dalam laporan yang dirilis pada 27 Mei 2025.
Masih dalam laporannya, SETARA menyatakan pada tahun 2024, Kota Salatiga berinovasi secara progresif dalam pemajuan toleransi. Inovasi tersebut berupa produk hukum promotif terhadap toleransi, yakni Peraturan Daerah (Perda) No. 10 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Toleransi Bermasyarakat dan Penanganan Konflik Sosial.
Melalui inovasi ini juga, Kota Salatiga menjadi satu dari tiga kota di Indonesia selain Kota Banjarmasin dan Kota Mojokerto yang memiliki produk hukum promotif toleransi pada tingkat Perda sebagai peraturan perundang-undangan dengan hirarki tertinggi pada level pemerintahan daerah.
Peraturan promotif toleransi, terutama berkaitan dengan kebangsaan, pada tingkat Perda juga diterbitkan pemerintah Kota Salatiga di tahun 2024. Peraturan tersebut berupa Perda No. 9 Tahun 2024 tentang Pendidikan Pancasila dan Wawasan Kebangsaan. "Melalui dua Perda ini, Kota Salatiga terlihat melipatgandakan penguatan ekosistem toleransinya sekaligus mengartikulasikan narasi toleransi dan kebangsaan yang dikokohkan secara legal formil," tulisnya.
Dinamika lainnya terlihat melalui Kota Pematang Siantar sebagai satu-satunya pembeda dalam susunan peringkat sepuluh besar kota dengan skor toleransi tertinggi pada IKT 2024. Kota Pematang Siantar naik dari peringkat sebelas pada IKT 2023 menjadi peringkat lima pada IKT 2024 dengan skor 6,115. Kenaikan peringkat ini ditopang kepemimpinan politik (political leadership) yang sangat promotif terhadap pembentukan ekosistem toleransi di Pematangsiantar. Kepemimpinan politik tersebut menggerakkan kepemimpinan birokrasi dan kepemimpinan kemasyarakatan di Pematang Siantar untuk menggelorakan serta memastikan agenda pemajuan toleransi terus berkembang.
Komitmen tersebut semakin diperkuat pada tahun 2024 dengan lahirnya produk hukum lainnya yang promotif terhadap pemajuan toleransi, dalam hal ini spesifik berkaitan dengan ekstrimisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme. "Melalui produk hukum tersebut, pemerintah kota Pematangsiantar telah memiliki tim terpadu maupun Rencana Aksi Daerah (RAD) dalam Pencegahan dan Penanggulangan Ekstrimisme Berbasis Kekerasan Yang Mengarah Pada Terorisme Tahun 2024," tulisnya.
Kota Paling Tidak Toleran
Dalam Indeks Kota Toleran (IKT) Indonesia 2024, Pare-Pare menjadi kota paling intoleran di Indonesia. IKT merupakan penelitian dari SETARA Institut yang rilis pada 27 Mei 2025. Adapun sepuluh urutan terendah, atau dari peringkat 85 hingga 94 secara berturut-turut, yaitu Pagar Alam, Sabang, Ternate, Makassar, Bandar Lampung, Pekanbaru, Banda Aceh, Lhokseumawe, Cilegon, dan Pare-Pare.
Terdapat dinamika kota pada peringkat sepuluh kota dengan skor toleransi terendah pada IKT 2024. Meskipun secara umum masih ditempati kota-kota yang sama dengan IKT 2023, SETARA menggarisbawahi bahwa dalam studi ini, suatu kota mendapatkan skor terendah bukan hanya disebabkan terjadinya peristiwa intoleran ataupun hal-hal lainnya yang destruktif terhadap toleransi.
Skor yang rendah juga disebabkan ketiadaan fokus dan inovasi terhadap pemajuan toleransi di kotanya, sementara kota-kota telah bergegas dalam melakukan berbagai inovasi maupun terobosan dalam pemajuan toleransi.
Kondisi demikian terlihat melalui kondisi di Kota Pagar Alam dan Sabang. Pada studi-studi IKT tahun sebelumnya, kondisi serupa juga terjadi mengingat pada IKT 2023 kota tersebut masing-masing menempati peringkat 81 dan 85. Meskipun di kota-kota tersebut studi ini mencatatkan nihil kebijakan diskriminatif maupun peristiwa intoleran, akan tetapi berbagai komponen dalam ekosistem toleransi belum terbentuk, seperti visi toleransi dalam pembangunan, kebijakan promotif toleransi, maupun berbagai tindakan pemerintah dan masyarakat.
"Kepemimpinan politik, kepemimpinan birokrasi, maupun kepemimpinan kemasyarakatan di kota tersebut juga belum memperlihatkan kinerja nyata dan kolaboratif dalam pemajuan toleransi," tulis dalam laporan SETARA.
BACA JUGA: Pantai Goa Cemara Siapkan Penambahan Fasilitas Wisata Seluas 20 Hektare
Hal lain yang perlu mendapat sorotan berupa keberadaan sejumlah kota yang konsisten sama dari tahun-tahun sebelumnya pada peringkat sepuluh skor terendah, termasuk tahun 2023, seperti Cilegon, Banda Aceh, Pekanbaru, dan Lhokseumawe. Meskipun kondisi pemajuan toleransi di kota-kota ini stagnan dan mendapat berbagai sorotan publik, hal tersebut nyatanya belum mampu secara memadai mendorong adanya inovasi maupun terobosan pemajuan toleransi, baik berbasis kebijakan, program, maupun ruang-ruang perjumpaan lintas agama.
"Meskipun terus diupayakan dan sudah lama memiliki ruang-ruang komunikasi dialogis yang baik antar agama dan etnis, tetapi nyatanya terhambat oleh kebijakan pemerintah kota," tulisnya.
Berlarut-larutnya regresi toleransi di kota-kota pada rumpun peringkat ini, berpotensi terus menjadi lahan tumbuh suburnya persoalan-persoalan intoleransi ke depannya, baik oleh aktor pemerintah maupun nonpemerintah. Namun demikian, kota yang tidak punya dan atau minim visi toleransi tersebut, bukan berarti kota yang tidak bisa berubah.
"Meskipun perubahan itu hanya mungkin terjadi bila ada keberanian dari kepemimpinan politik, dukungan kepemimpinan birokrasi, serta partisipasi kepemimpinan kemasyarakatan agar pemajuan toleransi dapat menjadi bagian integral dan prioritas dalam agenda pembangunan daerah," tulisnya.
260 Pelanggaran Kebebasan Beragama
Sepanjang tahun 2024, SETARA Institute mencatat adanya 260 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) di Indonesia. Sebanyak 260 peristiwa itu terdiri dari 402 tindakan pelanggaran.
Jumlah ini menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu 217 peristiwa dengan 329 tindakan pada 2023. Dari keseluruhan tindakan pelanggaran pada 2024 tersebut, 159 tindakan dilakukan oleh aktor negara, sedangkan 243 tindakan lainnya dilakukan oleh aktor non-negara. Data ini mengindikasikan adanya tren kenaikan yang perlu menjadi perhatian serius, baik oleh pemerintah maupun masyarakat sipil.
SETARA Institute mendefinisikan peristiwa sebagai suatu kejadian yang terjadi di satu hari yang sama. Sedangkan tindakan adalah variasi aktor pelanggar KBB dan variasi kategori tindakan yang terjadi dalam satu peristiwa. SETARA Institute mengkategorisasi pelanggaran menjadi peristiwa dan tindakan karena satu peristiwa pelanggaran KBB dapat mencakup satu atau lebih dari satu tindakan pelanggaran KBB.
Salah satu faktor yang diduga turut mendorong peningkatan jumlah pelanggaran KBB di tahun 2024 adalah dinamika politik nasional, khususnya pelaksanaan Pemilu serentak pada 14 Februari untuk memilih Presiden dan anggota legislatif, serta Pilkada serentak pada 27 November. Meskipun penggunaan politik identitas berbasis agama tidak terjadi secara masif seperti pada tahun-tahun sebelumnya (2014 dan 2019), temuan SETARA menunjukkan bahwa politisasi agama tetap muncul di sejumlah daerah.
"Ini menandakan bahwa klaim sebagian elit politik yang menyatakan telah meninggalkan praktik politik identitas belum sepenuhnya tercermin dalam praktik di lapangan, karena sentimen agama dan isu SARA masih dimanfaatkan dalam konteks persaingan politik," tulis SETARA dalam laporannya.
Selain itu, SETARA menganggap perhatian pemerintah terhadap isu KBB juga cenderung menurun menjelang akhir masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Fokus pemerintah yang lebih tertuju pada agenda transisi kekuasaan menyebabkan isu pemajuan kebebasan beragama dan berkeyakinan menjadi kurang mendapat perhatian. Kondisi ini mencerminkan lemahnya peran simpul-simpul sosial yang seharusnya mendukung kepemimpinan masyarakat (societal leadership) dalam menjaga ekosistem toleransi.
BACA JUGA: Kota Jogja Temukan Satu Orang Positif Covid-19
"Dengan demikian, komitmen terhadap perlindungan dan penghormatan kebebasan beragama masih menghadapi tantangan besar, baik dari sisi kebijakan negara maupun sikap dan respons masyarakat," tulisnya.
Dari total 159 tindakan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) yang dilakukan oleh aktor negara sepanjang tahun 2024, sebagian besar berasal dari institusi pemerintah daerah dengan 50 tindakan, diikuti oleh kepolisian sebanyak 30 tindakan, Satpol PP 21 tindakan, serta masing-masing sepuluh tindakan oleh TNI dan Kejaksaan, dan enam tindakan oleh Forkopimda.
Komposisi pelanggaran ini relatif tidak berubah dari tahun sebelumnya. Namun, terdapat peningkatan signifikan pada institusi Kejaksaan, yang naik menjadi sepuluh tindakan. Peningkatan ini terkait erat dengan maraknya pelaporan delik penodaan agama, yang banyak menimpa figur publik seperti selebriti, tokoh agama, kelompok keagamaan tertentu, hingga politisi. Sementara itu, pelanggaran KBB oleh aktor nonnegara juga menunjukkan pola yang mengkhawatirkan.
Pelanggaran terbanyak dilakukan oleh organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan dengan 49 tindakan, disusul kelompok warga (40 tindakan), individu warga (28 tindakan), Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebanyak 21 tindakan, ormas umum (11 tindakan), individu (11 tindakan), dan tokoh masyarakat (10 tindakan). Jika dibandingkan dengan tahun 2023, kontribusi pelanggaran oleh ormas keagamaan mengalami peningkatan yang signifikan.
"Hal ini menunjukkan kecenderungan menguatnya konservatisme dalam ruang keagamaan, yang kerap kali ditandai oleh penyempitan cara pandang terhadap keberagaman agama dan keyakinan," tulisnya.