Harianjogja.com, JOGJA— PT Pertamina (Persero) menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) non subsidi per 1 Juli 2025 di sejumlah daerah. Harga BBM di DIY untuk Pertamax naik dari Rp12.100 per liter pada Juni 2025 menjadi Rp12.500 per liter. Harga harga Pertamax Turbo naik dari Rp13.050 per liter menjadi Rp13.500 per liter.
Lalu Pertamax Green naik dari Rp12.800 per liter menjadi Rp13.250 per liter. Harga BBM Dexlite juga mengalami kenaikan dari Rp12.740 per liter menjadi Rp13.320 per liter, dan Pertamina Dex naik dari Rp13.200 per liter menjadi Rp13.650 per liter.
Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi mengatakan kenaikan harga BBM non subsidi ini sudah tepat. Ia menjelaskan harga BBM non subsidi dievaluasi secara reguler dengan mempertimbangkan beberapa variabel.
Seperti harga minyak dunia dan kurs rupiah terhadap dolar AS, sehingga kenaikan harga BBM non subsidi sudah tepat. Besaran kenaikannya menurutnya juga sudah ideal.
"Keputusan harga BBM non subsidi dievaluasi secara reguler dengan mempertimbangkan variabel," ucapnya, Selasa (1/7/2025).
Fahmy mengatakan untuk harga BBM subsidi selama harga minyak dunia masih di bawah 100 dolar AS per barel, tidak perlu dinaikkan. Sebab kenaikan harga BBM subsidi akan memicu inflasi, menurunkan daya beli dan memperlambat pertumbuhan ekonomi
"[harga BBM subsidi tidak perlu naik] selama harga minyak dunia masih di bawah 100 dolar AS," lanjutnya.
Ekonom Senior Indef, Tauhid Ahmad menyampaikan dampak perang Iran-Israel akan dirasakan dalam beberapa bentuk. Di antaranya tekanan nilai tukar rupiah, koreksi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), kenaikan harga minyak dan BBM, serta gangguan logistik global.
Ketergantungan terhadap harga energi dunia membuat ekonomi nasional rentan terhadap konflik eksternal. Menurutnya jika konflik berlanjut Indonesia perlu melakukan antisipasi pada inflasi akibat kenaikan harga minyak, capital outflow, pelemahan rupiah, serta risiko pasokan logistik dan kenaikan biaya produksi.
Menurutnya konflik geopolitik kini tidak lagi bersifat militer semata, tetapi menembus ke ranah ekonomi dan perdagangan. "Oleh karena itu, respons Indonesia harus mencakup kebijakan energi, kestabilan nilai tukar, dan mitigasi rantai pasok," tuturnya. (**)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News