Harianjogja.com, JOGJA—Pemerintah AS di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump resmi mengalami shutdown pemerintahan sejak Rabu (1/10/2025) dini hari waktu setempat. Alhasil, sebagian besar operasional federal resmi terhenti. Sampai saat ini, juga belum ada tanda-tanda kapan shutdown pemerintahan ini akan berakhir.
Laporan BBC Internasional, shutdown pemerintahan kali ini adalah kali pertama, sejak terakhir dilakukan pada 2018. Adapun penyebabnya, ada kebuntuan anggaran Kongres antara Partai Republik dan Demokrat yang memanas, khususnya terkait isu layanan kesehatan.
ABC News menambahkan, shutdown pemerintahan terjadi karena belum adanya kesepakatan anggaran menjelang awal tahun fiskal baru menjadi pemicu utama. Meskipun Partai Republik menguasai DPR dan Senat, mereka gagal mengamankan 60 suara di Senat yang dibutuhkan untuk meloloskan rancangan anggaran tanpa dukungan Demokrat.
Demokrat menuntut adanya perpanjangan subsidi asuransi dalam Affordable Care Act dan menolak keras pemotongan dana Medicaid serta anggaran lembaga kesehatan vital seperti CDC dan NIH. Sedangkan Republik menolak keinginan Demokrat. Alasannya, Presiden Trump menyebut kondisi ini sebagai peluang untuk memangkas birokrasi federal lebih jauh.
Dalam perkembangannya, jelang 1 Oktober 2025, Presiden Trump memanggil para pemimpin Kongres ke Gedung Putih. Namun, pertemuan 29 September tersebut berakhir tanpa konsesi berarti. Demokrat bersikeras mempertahankan subsidi kesehatan karena didukung kuat oleh publik.
Lalu, pada 30 September 2025, Senat menolak kedua rancangan undang-undang pendanaan yang diajukan. Akibatnya, tepat pukul 00.01 dini hari, pemerintah resmi kehabisan dana dan Kantor Manajemen dan Anggaran (OMB) memerintahkan lembaga federal melaksanakan rencana penutupan darurat.
Alhasil, Penutupan pemerintah ini tidak hanya berdampak pada birokrasi, tetapi juga memicu krisis ekonomi dan sosial yang meluas.
Layanan non-esensial, seperti taman nasional, museum Smithsonian, dan program bantuan pangan, terpaksa dihentikan.
Pemeriksaan keamanan pangan, pengeluaran pinjaman mahasiswa, dan publikasi data ekonomi resmi ditunda, menciptakan ketidakpastian bagi sektor usaha.
Operasi penting (keamanan perbatasan, medis, lalu lintas udara, penegakan hukum) tetap berjalan, namun pegawai harus bekerja tanpa gaji.
Selain itu, sekitar 4 juta pegawai federal terkena dampak langsung. Ini termasuk 2 juta anggota militer aktif yang harus tetap bekerja tanpa dibayar. Lembaga besar seperti Departemen Pertahanan, NASA, dan Kesehatan merumahkan ratusan ribu staf.
OMB bahkan memperingatkan kemungkinan pemutusan hubungan kerja (PHK) massal (reductions in force), menimbulkan kekhawatiran krisis pendapatan keluarga.
Hasil analisis BBC Internasional, setiap pekan shutdown dapat mengurangi pertumbuhan ekonomi AS sebesar 0,1 hingga 0,2 poin persentase. Kerugian jangka panjang berpotensi mencapai miliaran dolar.
Secara sosial, berdasarkan hasil analisa tersebut, efek shutdown terasa di seluruh AS. Daya beli masyarakat menurun, dan program bantuan krusial seperti WIC (Women, Infants, and Children) yang membantu perempuan berpenghasilan rendah terancam terhenti jika penutupan berlangsung lama.
Hanya saja, sampai saat ini belum ada kepastian kapan krisis ini akan berakhir. Shutdown berpotensi berkepanjangan karena belum ada kesediaan berkompromi dari kedua kubu politik. Sementara, anggota Kongres tetap menerima gaji (dilindungi konstitusi), sementara jutaan pegawai federal terancam kehilangan penghasilan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News