Jakarta (ANTARA) - Ibadah haji merupakan rukun Islam kelima yang wajib ditunaikan bagi umat Islam yang mampu, baik secara fisik maupun ekonomi.
Namun, terkadang takdir bisa menghalangi niat suci tersebut selain ekonomi, yakni karena sakit parah yang tak kunjung sembuh, ataupun karena kematian yang datang lebih awal sebelum sempat menunaikan ibadah tersebut.
Sebagai agama yang memudahkan urusan ibadah umatnya, Islam memberikan keringanan (rukhsah) untuk pelaksanaan ibadah haji yang disebut dengan badal haji (haji badal).
Konsep ini muncul sebagai solusi syar'i bagi umat Muslim yang telah berniat kuat untuk menunaikan haji, namun terhalang oleh kondisi tertentu yang bersifat permanen.
Dengan adanya keringanan ini, maka umat Muslim dapat melaksanakan haji untuk orang tua atau kerabatnya yang telah meninggal dunia, ataupun seseorang yang tengah mengalami sakit parah.
Baca juga: Kemenhaj Batam minta 244 calon haji cadangan bersiap isi kuota
Pengertian Badal Haji
Melansir laman BPKH (Badan Pengelola Keuangan Haji), badal haji merupakan praktik mewakilkan ibadah haji untuk orang lain yang tidak sanggup menjalankannya secara mandiri.
Konsep ini didasari oleh landasan syariat Islam terkait kapasitas dan kewajiban seorang Muslim dalam menunaikan ibadah rukum Islam yang kelima ini.
Adapun badal haji ini bertujuan untuk memastikan niat suci setiap Muslim untuk berhaji dapat terlaksana, meskipun terhalang oleh keterbatasan fisik.
Di samping itu, menurut Keputusan Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Nomor 223 Tahun 2022 tentang Pedoman Pelaksanaan Safari Wukuf dan Badal Haji, badal haji merupakan pelaksanaan ibadah haji yang diwakilkan kepada orang lain untuk dua kondisi utama.
Pertama, bagi mereka yang meninggal dunia sejak di embarkasi atau sebelum pelaksanaan wukuf.
Kemudian, yang kedua bagi jemaah haji yang mengalami halangan (udzur) jasmani maupun rohani permanen, seperti sakit parah yang tak bisa sembuh menurut medis, ketergantungan alat medis, atau gangguan jiwa yang menyebabkan mereka mustahil melaksanakan wukuf di Arafah.
Baca juga: Kumpulan doa manasik haji lengkap bacaan latin, arab, dan artinya
Dalil dan hukum mengenai Badal Haji
Menurut mayoritas ulama dari empat mazhab, hukum badal haji bagi individu yang telah meninggal dunia atau yang secara permanen tidak mampu mengerjakannya adalah boleh (jaiz).
Landasan hukum ini bersumber dari hadis riwayat Ibnu Abbas RA, dimana seorang wanita meminta fatwa kepada Rasulullah SAW mengenai ibunya yang wafat sebelum sempat menunaikan nazar haji.
Secara lengkap, hadis tersebut berarti sebagai berikut.
“Dari Ibnu Abbas ra: “Seorang perempuan dari Bani Juhainah datang kepada Nabi SAW, dia bertanya: 'Wahai Nabi SAW, ibuku pernah bernazar ingin melaksanakan haji hingga beliau meninggal, padahal dia belum melaksanakannya, apakah aku bisa menghajikannya?' Rasulullah menjawab: 'Ya, hajikanlah untuknya. Kalau ibumu punya utang, kamu juga wajib membayarnya, bukan? Bayarlah hutang kepada Allah, karena hak Allah lebih berhak untuk dipenuhi.'”” (HR. Bukhari dan Nasa’i).
Maka dari itu, mayoritas ulama menafsirkan hadis tersebut sebagai landasan yang membolehkan praktik badal haji.
Adapula hadis yang menyatakan bahwa Rasulullah mengizinkan badal haji untuk seorang ayah yang sudah tua renta.
“Dari Ibnu Abbas dari al-Fadhl: “Seorang perempuan dari kabilah Khats’am bertanya kepada Rasulullah: 'Wahai Rasulullah, ayahku telah wajib haji, tapi dia sudah tua renta dan tidak mampu lagi duduk di atas kendaraan?' Rasulullah menjawab: 'Kalau begitu lakukanlah haji untuk dia!'” (HR. Bukhari dan Muslim).
Di samping itu, secara spesifik, Mazhab Syafi’i juga memperbolehkan badal haji, dengan satu syarat, yakni orang yang mewakili (membadalkan) wajib sudah menunaikan ibadah haji untuk dirinya sendiri terlebih dahulu.
“Dari Ibnu Abbas, pada saat melaksanakan haji, Rasulullah SAW mendengar seorang lelaki berkata: “Labbaika ‘an Syubrumah” (Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah, untuk Syubrumah). Lalu Rasulullah bertanya: “Siapa Syubrumah?”. “Dia saudaraku atau kerabatku, wahai Rasulullah”, jawab lelaki itu. “Apakah kamu sudah pernah haji?” Rasulullah bertanya: “Belum” jawabnya. “Berhajilah untuk dirimu, lalu berhajilah untuk Syubrumah”, lanjut Rasulullah.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah).
Namun perlu diketahui, ada sedikit perbedaan cara pandang di antara mazhab mengenai aturan badal haji ini. Mazhab Maliki mempunyai syarat khusus, dimana yang meninggal harus meninggalkan wasiat agar dihajikan oleh keluarganya. Sementara mazhab lainnya berpendapat bahwa wasiat tersebut tidak wajib ada.
Baca juga: Panduan Manasik Haji: Cara pelaksanaannya secara lengkap
Kelompok orang yang berhak dibadalkan hajinya
Badal haji dapat diberikan kepada dua kelompok, yakni Muslim yang telah meninggal dunia, serta Muslim yang terkena halangan baik fisik maupun rohaninya.
1. Al-Ma’dlub (orang yang hidup dan berhalangan permanen)
Kategori ini mencakup orang yang masih hidup, namun secara jasmani tidak mampu menunaikan ibadah haji sendiri akibat uzur syar’i yang bersifat permanen, seperti:
- Penyakit kronis atau tak tersembuhkan
- Lanjut usia (pikun atau lemah fisik)
- Cacat fisik permanen
- Kondisi medis lain yang menghambat pelaksanaan manasik haji
Selain itu, mengenai badal untuk kategori ini, ada aturan jarak sebagai berikut:
- Jika tinggal jauh dari Makkah (lebih dari sekitar 90 km), badal haji dibolehkan.
- Jika sudah berada di Tanah Haram atau sekitarnya, pada dasarnya ia harus berhaji sendiri, kecuali jika kondisinya benar-benar lumpuh total atau koma, yang dalam kasus ekstrem ini beberapa ulama masih membolehkan perwakilan.
2. Al-Mayyit (orang yang sudah meninggal)
Kategori kedua ini adalah badal haji untuk mereka yang sudah meninggal dunia, baik saat di embarkasi atau sebelum wukuf. Ini juga berlaku bagi jemaah yang sakit parah hingga tak mampu melanjutkan prosesi haji.
Jenis haji yang bisa dibadalkan karena kematian mencakup:
- Haji Islam (haji wajib yang belum tertunaikan).
- Haji Nazar (janji haji kepada Allah).
- Haji Wasiat (amanah haji sebelum wafat).
- Haji Sunnah (haji tambahan).
Baca juga: Seskab: Presiden Prabowo, Pangeran MBS bahas kampung haji Indonesia
Syarat Badal Haji
Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang yang akan melaksanakan ibadah badal haji meliputi:
- Sehat jasmani: Pelaksana badal haji wajib memiliki kondisi fisik dan kesehatan yang memadai untuk menunaikan seluruh rangkaian haji tanpa hambatan.
- Kemampuan finansial (Istitha’ah Maaliyah): Selain sehat, pelaksana harus mampu secara finansial untuk menanggung seluruh biaya perjalanan, akomodasi, transportasi lokal di Tanah Suci, dan biaya hidup. Kemampuan finansial ini memastikan ibadah terlaksana secara utuh tanpa kendala biaya.
- Adanya persetujuan atau mandat: Sebelum memulai, pelaksana harus mendapatkan izin atau persetujuan yang sah dari pihak yang diwakili (pemberi mandat) atau ahli warisnya. Ini menegaskan adanya ikatan hukum dan kepercayaan dalam pelaksanaan ibadah tersebut.
- Kepatuhan syariat dan hukum: Pelaksana badal haji harus taat pada seluruh ketentuan hukum dan syariat Islam yang berlaku, termasuk aturan dari otoritas di Arab Saudi serta tata cara ibadah yang telah ditetapkan dalam agama.
- Paham tata cara dan niat yang kuat: Terakhir, pelaksana badal haji wajib memahami makna serta tata cara haji secara menyeluruh, dan memiliki kesungguhan penuh untuk menjalankan amanah ini dengan penuh tanggung jawab dan kekhusyukan.
Berikut rangkuman terkait ketentuan badal haji yang perlu diperhatikan:
- Tidak sah badal haji untuk orang yang fisiknya masih mampu berhaji.
- Badal haji hanya menyelesaikan masalah ketidakmampuan fisik, bukan ketidakmampuan finansial.
- Orang yang membadalkan harus sudah haji untuk dirinya sendiri, atau boleh belum menunaikan haji untuk pribadi, namun dengan catatan siap menanggung dosa karena mengabaikan kewajiban fardhu ainnya.
- Laki-laki bisa membadalkan wanita, begitu pula sebaliknya.
- Satu pelaksana badal tidak boleh mewakili lebih dari satu orang dalam satu waktu.
- Tujuan utama badal haji harus ibadah, bukan mencari keuntungan materi.
- Dianjurkan memilih pelaksana yang terpercaya dan mengerti manasik haji, dan diutamakan dari kalangan keluarga.
Baca juga: Wamenhaj: Praktik "rente" layanan haji harus dibersihkan
Pewarta: Putri Atika Chairulia
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.


















































