Jakarta, CNN Indonesia --
Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi, menolak perundingan langsung dengan Amerika Serikat soal negosiasi program nuklir. Araghchi menyebut negosiasi dengan AS "tak ada artinya".
"Negosiasi langsung tidak akan ada artinya dengan pihak yang terus menerus mengancam akan menggunakan kekuatan yang melanggar Piagam PBB," kata Menlu Araghchi dalam pernyataannya, seperti dikutip AFP.
Kementerian Luar Negeri Iran menegaskan pihaknya tetap berkomitmen pada diplomasi, namun akan mencoba jalur negosiasi tidak langsung dengan AS.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Iran terus bersiap menghadapi semua kemungkinan atau peristiwa yang mungkin terjadi, dan sebagaimana seterusnya dalam diplomasi dan negosiasi, Iran juga akan bersikap tegas dan terus membela kepentingan dan kedaulatan nasionalnya," imbuh Araghchi.
Sebelumnya Presiden Iran, Masoud Pezeshkian, mengatakan negaranya bersedia terlibat dalam dialog dengan AS "atas dasar kesetaraan".
Namun dia juga mempertanyakan ketulusan AS dalam menyerukan negosiasi. Dia mengatakan, "jika Anda menginginkan negosiasi, lalu apa gunanya mengancam?"
Tanggapan Iran muncul setelah Presiden AS Donald Trump bulan lalu meminta Teheran untuk mengadakan negosiasi ulang mengenai program nuklirnya. Namun Trump justru melontarkan ancaman akan mengebom Iran jika diplomasi itu gagal.
Negara-negara Barat, yang dipimpin AS, selama beberapa dekade terakhir menuduh Iran berusaha mendapatkan senjata nuklir. Iran menolak tuduhan itu dan menegaskan bahwa kegiatan nuklirnya semata untuk tujuan sipil.
Pada tahun 2015, Iran mencapai kesepakatan penting dengan anggota tetap Dewan Keamanan PBB, yaitu Amerika Serikat, Prancis, China, Rusia, dan Inggris, serta Jerman, untuk mengatur kegiatan nuklirnya.
Perjanjian tahun 2015 yang secara resmi dikenal sebagai Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA) memberikan keringanan sanksi kepada Iran, dengan imbalan pembatasan program nuklirnya untuk menjamin bahwa Teheran tidak dapat mengembangkan senjata nuklir.
Pada tahun 2018, selama masa jabatan pertama Trump, Amerika Serikat menarik diri dari perjanjian tersebut dan menerapkan kembali sanksi keras terhadap Iran.
Setahun kemudian, Iran mulai membatalkan komitmennya berdasarkan perjanjian dan mempercepat program nuklirnya.
(dna)