Rasa manis memicu sistem penghargaan otak, menciptakan kenikmatan yang membuat kita sulit menolak godaan makanan manis.
Kamis, 17 Apr 2025 05:00:00

Manis selalu identik dengan kenikmatan. Dari sepotong cokelat hingga seiris kue tart, rasa manis mampu membangkitkan emosi positif dalam sekejap. Bukan hanya memanjakan lidah, rasa manis juga memberikan sensasi nyaman dan menyenangkan yang membuat kita ingin terus mencicipinya lagi dan lagi. Tapi pernahkah Anda bertanya, mengapa kita begitu tergila-gila pada rasa manis? Apa yang membuat kita sulit menolak godaan makanan dan minuman manis, meskipun sudah tahu dampaknya bagi kesehatan?
Fakta ilmiah menunjukkan bahwa hasrat terhadap rasa manis bukan sekadar kebiasaan atau kesukaan biasa, melainkan hasil dari mekanisme biologis yang kompleks antara indera perasa, sistem saraf, dan kerja otak. Rasa manis memicu sistem penghargaan (reward system) dalam otak, menghasilkan perasaan senang dan puas yang mirip dengan efek zat adiktif. Tak heran jika banyak orang merasa “kecanduan” makanan manis dan sulit menghentikan konsumsinya.
Artikel ini akan mengupas lebih dalam mengapa kita menyukai makanan manis, apa yang terjadi dalam tubuh ketika kita mengonsumsinya, serta bagaimana dampaknya terhadap kesehatan. Selain itu, akan dibahas pula cara-cara praktis untuk membangun hubungan yang lebih sehat dengan makanan manis agar tetap bisa menikmati tanpa terjebak dalam lingkaran kecanduan.
Kenapa Kita Mengidam Rasa Manis? Jawabannya Ada di Otak
Rasa manis dikenali oleh reseptor rasa yang terletak di mulut dan usus. Ketika kita mengonsumsi makanan atau minuman manis, sinyal dikirim melalui serabut saraf ke otak, khususnya ke area yang bertanggung jawab atas persepsi rasa dan sensasi menyenangkan. Menurut Lindsay Malone, seorang pengajar di Departemen Nutrisi di Case Western Reserve University, “Makanan yang merangsang sistem penghargaan dalam otak, seperti gula, dapat memicu keinginan untuk terus mengonsumsinya.”
Lebih dari itu, otak kita merespons peningkatan gula darah dengan sinyal positif. Ketika kadar gula naik setelah konsumsi makanan manis, otak memberi respons, “Ini enak, saya suka ini. Lakukan lagi,” ujar Malone. Respons ini berkaitan dengan evolusi manusia yang secara alami mencari sumber energi cepat—seperti gula—untuk bertahan hidup dalam situasi darurat atau kelangkaan makanan.
Selain faktor biologis, pengaruh psikologis dan kebiasaan juga memperkuat kecenderungan mengidam makanan manis. Sebagai contoh, jika seseorang terbiasa makan donat saat minum kopi setiap pagi, otak akan membentuk asosiasi kuat antara kopi dan donat. Akibatnya, setiap kali mencium aroma kopi, muncul dorongan kuat untuk mencari makanan manis sebagai pelengkap.
Manis yang Menggoda, Tapi Juga Berbahaya: Sisi Gelap Gula

Meski gula dapat menjadi sumber energi cepat yang berguna, terutama bagi atlet atau dalam aktivitas fisik berat, konsumsi berlebih tanpa diimbangi aktivitas fisik dapat menimbulkan berbagai dampak negatif. Malone menjelaskan bahwa masalah kesehatan akibat konsumsi gula semakin memburuk akibat kurangnya aktivitas fisik. Gula tambahan (added sugar) dan karbohidrat sederhana seperti tepung putih serta jus 100% murni, berkontribusi pada berbagai kondisi medis serius.
Beberapa risiko kesehatan akibat konsumsi gula berlebihan meliputi:
- Karies gigi (gigi berlubang)
- Sindrom metabolik
- Peradangan kronis
- Hiperglikemia
- Diabetes tipe 2
- Resistensi insulin
- Kelebihan berat badan dan obesitas
- Penyakit jantung
- Alzheimer
Beberapa di antaranya memiliki hubungan kausal langsung, sementara lainnya merupakan bagian dari faktor penyebab dalam kombinasi dengan gaya hidup tidak sehat.
Maka tidak mengherankan jika banyak ahli gizi dan dokter menyerukan pengurangan konsumsi gula tambahan sebagai langkah awal untuk menjaga kesehatan jangka panjang. Mengingat begitu banyaknya makanan dan minuman olahan yang mengandung gula tersembunyi, kesadaran konsumen menjadi kunci penting dalam membangun pola makan yang lebih sehat.
Membangun Hubungan Sehat dengan Rasa Manis
Menjaga keseimbangan dalam konsumsi makanan manis tidak harus berarti berhenti sepenuhnya. Menurut Malone, kesadaran saat makan dan keterlibatan dalam proses memasak dapat membantu kita mengendalikan konsumsi gula. Beberapa langkah sederhana yang bisa diterapkan antara lain:
- Makan secara perlahan, mengunyah dengan baik, dan menikmati setiap suapan.
- Terlibat langsung dalam proses persiapan makanan: berkebun, berbelanja, memasak, atau memanggang.
- Membuat makanan sendiri di rumah memberi kita kendali atas bahan yang digunakan, termasuk jumlah gula.
Dengan mengembangkan hubungan yang lebih mindful dengan makanan, kita belajar mengenali sinyal tubuh, membedakan antara rasa lapar dan keinginan emosional, serta membangun kebiasaan makan yang lebih sehat.
Strategi Ampuh Mengontrol Hasrat terhadap Gula
Untuk benar-benar mengurangi ketergantungan terhadap rasa manis, Malone menyarankan empat strategi utama yang terbukti efektif:
- Konsumsi makanan utuh dan minim proses
Makanan yang kaya serat, volume, dan protein membantu menstabilkan kadar insulin serta mengurangi keinginan makan berlebih.
- Hindari sumber gula tambahan
Kurangi atau hentikan penggunaan gula, sirup, dan pemanis buatan dalam makanan sehari-hari. Baca label dengan saksama, termasuk pada minuman, saus, selai, dan produk olahan lainnya.
- Minum minuman tanpa pemanis
Biasakan memilih air putih, teh herbal, kopi tanpa gula, atau air soda tanpa rasa sebagai pengganti minuman manis.
- Aktif secara fisik dan jaga komposisi tubuh yang sehat
Massa otot yang cukup membantu tubuh menggunakan gula dalam darah secara lebih efisien dan mencegah resistensi insulin. Dengan tubuh yang aktif, kita juga mengalami lebih sedikit lonjakan dan penurunan drastis gula darah.
Strategi-strategi ini, meskipun terlihat sederhana, sangat berdampak jika dilakukan secara konsisten. Dengan memperkuat gaya hidup sehat, kita bisa tetap menikmati makanan manis tanpa jatuh dalam jeratan ketergantungan yang berbahaya.
Rasa Manis, Nikmat Sekaligus Tantangan
Rasa manis memang menggoda. Ia membawa kesenangan sesaat yang bisa memperbaiki suasana hati dalam sekejap. Namun di balik kenikmatannya, tersembunyi potensi bahaya jika dikonsumsi secara berlebihan dan tidak disertai gaya hidup aktif. Hasrat terhadap rasa manis bukanlah kelemahan pribadi, melainkan bagian dari mekanisme biologis yang dirancang untuk bertahan hidup. Tapi di era modern dengan akses makanan manis yang begitu mudah, kita dituntut untuk lebih sadar dan bijak dalam mengonsumsinya.
Dengan memahami bagaimana tubuh dan otak bereaksi terhadap gula, serta menyadari konsekuensi jangka panjangnya, kita dapat membangun kebiasaan makan yang lebih sehat tanpa harus kehilangan kenikmatan hidup. Mengelola konsumsi gula bukan berarti menghilangkan kesenangan, tetapi menemukan cara baru untuk menikmatinya secara lebih bertanggung jawab.
Artikel ini ditulis oleh



Dampak Buruk Makanan Manis untuk Kesehatan Mental, Bisa Sebabkan Gangguan Kognitif
Di balik rasa manis yang menggugah selera, tersembunyi dampak yang jauh lebih pahit bagi kesehatan mental kita.

Kecanduan Gula pada Anak Disebabkan Karena Kebiasaan Konsumsi Minuman Manis sejak Kecil
Menurut Prof. Siska Mayasari Lubis, seorang dokter spesialis anak, kecanduan gula dapat disamakan dengan kecanduan terhadap zat tertentu.