Harianjogja.com, JOGJA— Amerika Serikat (AS) akhirnya menetapkan tarif resiprokal sebesar 32% untuk produk Indonesia yang masuk ke AS mulai 1 Agustus 2025. Selain itu, AS juga mengancam tarif tambahan 10% bagi negara-negara BRICS, di mana Indonesia baru saja bergabung di dalamnya.
Data terakhir Badan Pusat Statistik (BPS) DIY menyebut AS masih menjadi mitra dagang utama DIY dengan pangsa ekspor mencapai 41,74% pada Mei 2025. Disusul Jerman 12,85% dan Jepang 8,47%. Jika tambahan tarif ini benar-benar diberlakukan, seperti apa dampaknya pada perekonomian DIY?
BACA JUGA: Hubungan dengan Trump Retak, Elon Musk Bentuk Partai Amerika Tolak RUU Pajak
Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) DIY, Bidang Ketenagakerjaan, Timotius Apriyanto mengatakan mestinya Indonesia tidak langsung menjadi anggota BRICS secara penuh. Sebab akan ada konsekuensi perdagangan internasional antara Indonesia dan AS.
Menurutnya ketergantungan Indonesia pada AS masih tinggi, di mana AS menjadi penyumbang terbesar neraca perdagangan Indonesia. Dampak terburuk bagi DIY jika tambahan tarif 10% ini diberlakukan adalah perlambatan pertumbuhan ekonomi. Ia menjelaskan pertumbuhan ekonomi ditopang oleh empat hal yakni ekspor, konsumsi, belanja pemerintah, dan investasi.
Target investasi DIY, kata Timotius, tahun ini sebesar Rp3,2 triliun. Ia mengaku pesimis bisa tercapai, sehingga penopang ekonomi DIY utamanya adalah ekspor. Dia juga menyebut ada potensi deindustrialisasi yang bisa menyebabkan terjadinya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK).
BACA JUGA: Trump Ancam Naikkan Tarif untuk Spanyol Karena Tolak Target Belanja Pertahanan NATO
"Penopang pertumbuhan ekonomi hanya bergantung pada ekspor, bisa bayangkan ekspor DIY 2024 sekitar 547 juta dolar AS 40% nya AS, nah kita kehilangan potensi sebesar itu," jelasnya, Selasa (8/7/2025).
Lebih lanjut ia mengatakan sejak awal sudah mewanti-wanti terkait keanggotaan penuh dalam BRICS, sehingga sekarang harus menanggung konsekuensi atas pilihan tersebut. Dia berpandangan mestinya Indonesia menjaga politik luar negeri yang bebas aktif, terus berada di posisi yang moderat.
Timotius menjelaskan AS bisa bersepakat menurunkan tarif dengan Vietnam menjadi hanya 20%, lebih rendah dari yang dijanjikan sebelumnya, sementara Indonesia 32% dan masih berpotensi ditambah 10% lagi.
"Jelas kita gak akan kompetitif dengan Vietnam, Kamboja, dan Myanmar. Dan perdagangan Indonesia akan mengalami sunset Industri," jelasnya.
Menyiasati kondisi ini menurutnya perlu ada strategi. Pertama perlu ada diversifikasi, perdagangan dengan new emerging dan re emerging market. Misalnya dengan Turki, meski potensinya tidak terlalu besar sekitar 8-10 miliar dolar AS, ia menyebut bisa menggantikan perdagangan dengan AS. Potensi lainnya seperti Eropa Timur, Timur Tengah, Dubai.
Kemudian perlu ada debirokratisasi dan deregulasi untuk kemudahan berusaha. Alternatif lainnya melalui perdagangan proxy, misalnya Indonesia kirim dulu ke Vietnam baru ke AS. "Saya sangat menyayangkan sikap pemerintah yang terlalu proaktif ambisius masuk ke BRICS," lanjutnya.
Sebelumnya, BPS DIY mencatat total nilai ekspor DIY sepanjang Januari–Mei 2025 tumbuh 10,57% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Utamanya didorong sektor industri pengolahan, yang memberi kontribusi dominan sebesar 99,36% dari total ekspor.
Kepala BPS DIY, Herum Fajarwati mengatakan secara tahunan nilai ekspor sektor industri pengolahan pada Mei 2025 juga naik 7,93%. Memperkuat dominasi sektor ini dengan andil mencapai 99,55% terhadap total ekspor bulanan DIY.
"Komoditas utama yang mendongkrak ekspor masih berasal dari kelompok pakaian dan aksesorisnya."
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News