Jakarta (ANTARA) - Di balik pesona pesisir barat Sumatra, Kota Sibolga menyimpan cerita tentang alam yang indah sekaligus tantangan yang datang bersamanya. Kota kecil yang dikelilingi perbukitan dan menghadap langsung ke Samudra Hindia ini kembali menjadi sorotan setelah kawasan tersebut dilanda banjir dan longsor.
Bencana banjir dan longsor tersebut terjadi bersamaan sejak Senin (24/11). Tanah longsor muncul di enam lokasi, yaitu di area Cafe Rumah Uci, Bukit Aido, Masjid Budi Sehati, STPI Sibolga, SMPN 5 Sibolga, serta di kawasan Kampung Paten Huta Tonga.
Selain Sibolga, tim gabungan juga sedang menangani situasi serupa di lima wilayah lain: Tapanuli Tengah, Mandailing Natal, Tapanuli Selatan, Tapanuli Utara, dan Nias.
Peristiwa itu mengingatkan kita betapa uniknya karakter geografis Sibolga. Untuk memahami lebih dalam, mengenal Sibolga bukan sekadar melihat bencana yang muncul, tetapi juga menelusuri sejarah, budaya, dan keistimewaan kotanya.
Berikut ini adalah mengenal lebih jauh tentang Kota Sibolga, berdasarkan informasi yang telah dihimpun dari berbagai sumber.
Sejarah awal Kota Sibolga
Sibolga pada mulanya hanyalah sebuah pelabuhan kecil di kawasan Teluk Tapian Nauli, tepatnya berada di Pulau Poncan Ketek sebuah pulau mungil yang letaknya tak jauh dari wilayah Sibolga saat ini.
Pelabuhan tersebut diperkirakan sudah ada sejak abad ke-18 dan dipimpin oleh tokoh yang dikenal dengan sebutan Datuk Bandar. Nama “Sibolga” sendiri diberikan oleh seorang pendatang dari Silindung, kelompok Batak yang saat itu menuju Tapian Nauli.
Saat tiba dan melihat hamparan laut yang begitu luas, ia menyebut wilayah perairan itu sebagai Sibolga. Dalam bahasa setempat, “bolga” menggambarkan air yang besar atau bentangan laut yang luas.
Memasuki abad ke-19 pada masa kolonial Belanda, pusat pelabuhan dipindahkan dari Pulau Poncan Ketek ke daratan Sumatra. Pulau sebelumnya dianggap terlalu kecil untuk dikembangkan menjadi pelabuhan besar maupun pusat perdagangan.
Pemindahan ini justru membuka peluang baru dan mendorong pertumbuhan kawasan pelabuhan nelayan di lokasi yang sekarang dikenal sebagai Kota Sibolga.
Letak geografis dan karakteristik kota
Sibolga berada di pesisir barat Sumatra Utara, tepatnya di sisi selatan Danau Toba. Wilayahnya terdiri dari tiga bentang alam: dataran pantai, lereng, dan kawasan perbukitan. Kota ini berada pada ketinggian 0 hingga 200 meter di atas permukaan laut.
Dengan luas hanya sekitar 10,77 km², Sibolga termasuk salah satu kota terkecil di Indonesia. Meski kecil, perannya cukup penting sebagai penghubung antara Pulau Sumatra dan Pulau Nias. Kota ini juga menjadi jalur lintas yang menghubungkan Nias, Tapanuli, hingga ke Kota Medan. Keberagaman etnis menjadi ciri khas Sibolga karena banyak penduduk dari berbagai suku yang bermukim dan beraktivitas di kota pelabuhan ini.
Sibolga dijuluki kota ikan
Julukan “Kota Ikan” disematkan pada Sibolga karena kekayaan hasil lautnya. Salah satu oleh-oleh paling terkenal adalah ikan asin. Jika ingin membeli ikan asin khas Sibolga, wisatawan biasanya datang ke Desa Pasar Belakang yang dikenal sebagai pusat produksinya.
Selain hasil laut, Sibolga juga memiliki kuliner tradisional yang unik, yaitu nasi tua. Hidangan ini dibuat dari ketan yang disiram dengan kuah manis, dan umumnya disajikan dalam acara-acara pernikahan.
Adat, budaya, dan tradisi masyarakat Sibolga
Berdasarkan buku Adat dan Budaya Masyarakat Pesisir Tapanuli Tengah/Sibolga karya Sjawal Pasaribu, masyarakat Sibolga memiliki kekayaan budaya yang masih dijaga hingga kini.
1. Adat pernikahan Sumando
Dalam urusan pernikahan, Sibolga memiliki adat khas bernama Sumando. Prosesi ini mencakup sejumlah tahap, mulai dari Marisik hingga Tapanggi. Setiap tahap biasanya dirayakan dengan berbagai pertunjukan, termasuk arak-arakan pengantin pria, sambutan gelombang duo baleh, sampai tarian tradisional seperti tari Dampeng.
2. Tradisi mandi balimo limo dan malopeh
Masyarakat pesisir Sibolga dikenal dengan tradisi mandi balimo limo, yaitu mandi bersama di sungai sambil membawa perbekalan. Air yang digunakan biasanya dicampur limau dan pandan wangi. Kegiatan ini dilakukan menjelang bulan Ramadhan. Ada juga tradisi malopeh yang digelar pada akhir Ramadhan, di mana keluarga membeli daging untuk dimasak sebagai persiapan menyambut Idul Fitri.
3. Acara turun batu
Untuk urusan adat saat ada keluarga yang meninggal, terdapat tradisi turun batu. Dalam prosesi ini, keluarga menempatkan batu nisan di atas makam sebagai bentuk penghormatan terakhir bagi mendiang.
Baca juga: ASDP: KMP Jatra II dukung Geopark Nias jadi destinasi wisata dunia
Baca juga: Dukung pengembangan wisata, Pelindo I resmikan Sibolga Sunset Point
Baca juga: Hari pertama Lebaran pengunjung objek wisata di Pandan masih sepi
Pewarta: Sean Anggiatheda Sitorus
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.
















































