Warung Teman: Rumah Kedua Perantau Minang di Jogja

6 hours ago 2

 Rumah Kedua Perantau Minang di Jogja Menu di Warung Teman. - Istimewa.

Harianjogja.com, JOGJA—Perantau yang kehilangan peran keluarga dan budaya asalnya perlu pengganti yang sama. Warung Teman menjadi rumah kedua, bagi para perantau Minang yang kini tinggal di Jogja.

"Ada pepatah Minang, surau, lapau, rantau," kata Taufiq Hidayat, Kamis (1/5/2025).

Usia Taufiq kini 21 tahun. Sebagai orang Minang, meninggalkan tempat lahirnya seperti sebuah keniscayaan. Semua tidak lepas dari prinsip surau, lapau, dan rantau. Surau merupakan tempat pendidikan untuk laki-laki Minang. Di Minang, laki-laki tidak memiliki kamar di dalam Rumah Gadang, rumah khas etnis tersebut. Sistem kemasyarakatan Minang berjenis matrilineal.

Artinya, garis keturunan warganya lebih 'mementingkan atau mengutamakan' perempuan. "Enggak ada tempat tinggalnya lah, dari situ lah laki-laki tinggal di surau, tempat belajar, tempat ngaji, tempat latihan silat randai, dan sebagainya," kata Taufiq.

Setelah surau, ada lapau. Taufiq mengartikan lapau (bisa juga disebut warung) sebagai tempat sosialisasi. Lapau menjadi tempat diskusi, bercerita, hingga hiburan. Surau, lapau, dan kini rantau. Taufiq mengatakan sangat jarang laki-laki Minang yang tidak ke lapau atau merantau. Laki-laki yang tidak ke lapau atau merantau seakan tabu, meski tidak ada hukuman apapun. Perkembangan zaman membuat merantau tidak hanya untuk lelaki, tapi juga perempuan Minang.

"Istilahnya, alam takambang jadi guru, [merantau] sebagai batu loncatan, untuk mencari jati diri," katanya.

Taufiq merantau dari Agam, Sumatera Barat, ke Sleman, DIY. Tujuan merantau untuk kuliah di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga. Ini pertama kalinya Taufiq merantau, tinggal jauh dari rumahnya yang berjarak 1.883 kilometer. "Culture shock yang Fik rasokan di Jogja, kaya pertamo bahasa pastinya, siko enggak tahu bahasa urang, urang tu ngomong apo," kata Taufiq. "Keduo enggak ada kawan [yang membuat kesepian]."

Menemukan Warung Teman

Perjalanan kuliah mempertemukan Taufiq dengan sesama perantau Minang. Dia diajak berkunjung ke Warung Teman Ampera Masakan Padang. Teman itu bercerita, Warung Teman menjadi ruang bersama para perantau Minang di Jogja. Lokasi warung bersebelahan dengan UIN Sunan Kalijaga, tepatnya di Jalan Bimo Suko, Caturtunggal, Depok, Sleman.
Pemilik warung merupakan pasangan suami-istri yang sama-sama dari Minang. Namanya Mawaddatul Ulfa dan Fajri.

Ulfa bercerita, Warung Teman mulanya usaha rumahan, yang berjualan secara daring. Kala itu masa pandemi Covid-19, sekitar 2021. Ulfa menjual lontong sayur khas Minang untuk sarapan. Di masa-masa itu, Ulfa juga dekat dengan Ikatan Mahasiswa Minang (IMAMI) dan Surau Tuo Institute (Komunitas kajian tentang Minang di Jogja).

BACA JUGA: Terbaru! Ini Tempat Parkir Dekat dengan Malioboro Jogja

Singkat cerita, Ulfa dan Fajri membuka Warung Teman sebagai tempat usaha, sekaligus ruang berkumpul sesama perantau Minang. Ulfa juga perantau di Jogja sejak 2019, yang tujuannya kuliah S2 di UIN Sunan Kalijaga. "Di warung ini, kebanyakan pakai Bahasa Minang, biar kerasa kalau kita ngerantau, dan punya saudara di sini, lebih merasa orang Minang," kata Ulfa, Senin (28/4/2025).

Warung Teman berkembang tidak hanya sebagai tempat berbahasa Minang dengan bebas, namun merambah menjadi ruang diskusi informal atau formal, mengerjakan tugas kuliah, hiburan, saling bantu sesama perantau, hingga obat penawar rindu rumah. Tidak jarang ada perantau yang minta menu khusus, yang sering mereka makan di rumah, tapi tidak ada di Jogja. “Beberapa orang minta, 'Kak, kami rindu sama masakan ibu yang samba buruak-buruak.' Terus akhirnya saya bikin, padahal enggak ada di daftar menu," kata perempuan berusia 29 tahun ini.

Menjadi Rumah Kedua

Warung Teman menjelma lebih dari tempat makan. Beberapa perantau Minang di Jogja, menganggap Warung Teman sebagai rumah kedua. Saat ada mahasiswa yang sidang atau wisuda, tempat ini sering untuk makan bersama. Kegiatan juga berlangsung saat Idulfitri atau Iduladha, saat para perantau tidak pulang, dan ingin tetap merasakan nuansa 'rumah' saat lebaran.

Terlebih lokasi Warung Teman berada persis di samping kampus, sehingga mahasiswa bisa ke sana dengan sering. Termasuk Taufiq, yang sering menjadikan warung ini sebagai perantara recharge energi. "Misalnyo pas mental sedang down, sedang panik, bisa ke situ (Warung Teman) untuk memulihkan," katanya.

Sebagai pemilik Warung Teman, Ulfa memang membuat suasana usahanya serasa di rumah. Dia tidak jarang mengajak ngobrol terlebih dahulu ke orang baru, agar dia tidak canggung. Ulfa juga sering mengenalkan sesama perantau, terutama yang sedaerah. Tidak jarang, anak yang sebelumnya pendiam, kemudian menjadi terbuka.

Di Warung Teman, semua cerita, keluh kesah, suka duka, saling menemukan ruangnya. "[Kami] ngerasa hidup aja, dengan bertemu orang-orang Minang di sini, salah satunya menikmati kebersamaan bersama para perantau Minang," kata Ulfa, yang berasal dari Lima Puluh Kota, Sumatera Barat.

Semakin Minang Saat di Perantauan

Ada suatu pola, saat para perantau Minang justru semakin ingin mengenal budayanya di perantauan. Pemilik Warung Teman, Ulfa, mengamati saat masih di daerah asalnya, pemaknaan budaya Minang berjalan biasa saja. Justru saat di perantauan, dalam hal ini di Jogja, Ulfa melihat orang-orang Minang semakin semangat mempelajari budaya asalnya.

Manifestasi pengenalan budaya asal ini berupa pembuatan diskusi rutin di Warung Minang. Pembahasan mencakup banyak aspek, dengan beragam sumber, termasuk buku atau penelitian. "Uniknya, semangat mempertahankan identitas sebagai orang Minang justru pada saat mereka berada di tanah rantau," kata Ulfa.

BACA JUGA: Lokasi Penjemputan Penumpang Bus Sinar Jaya Rute Malioboro ke Pantai Baron Gunungkidul Hari Ini Minggu 22 Juni 2025

"[Pernah diskusi] tentang penelitian orang Belanda yang ingin melihat adat istiadat Minang," kata Taufiq. "Pernah juga diskusi bagaimana [dinamika] perempuan-perempuan Minang. Dulu diskusi rutin dua minggu sekali."

Kegiatan juga sesuai kebutuhan para perantau yang sering ke Warung Minang. Misalnya mereka pernah mengadakan workshop tentang pemanfaatan artificial intelligence untuk kuliah. Pengisi materi biasanya senior yang juga perantau dari Minang. "Pekerjaan uda itu semacam peneliti lepas gitu. Jadi beliau yang isi materinya," kata Ulfa.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Read Entire Article
Ekonomi | Politic | Hukum | Kriminal | Literatur | SepakBola | Bulu Tangkis | Fashion | Hiburan |