Walmart Birkin Bag dan balas dendam atas kemewahan yang elitis

1 month ago 30

Jakarta (ANTARA) - Tas Hermès Birkin telah lama menjadi simbolisasi kemewahan yang diidamkan banyak orang, ikon gaya yang menjadi lambang status sosial bagi mereka yang merasa layak “divalidasi.”

Namun, siapa sangka tren terbaru justru lahir dari sebuah tempat yang jauh dari aura eksklusif Hermès, tepatnya dari sebuah toko ritel di AS, Walmart.

Fenomena ini memunculkan pertanyaan yang memantik rasa ingin tahu tentang bagaimana jika kemewahan tak lagi harus mahal dan apakah ironi bisa menjadi elemen baru dalam mendefinisikan gaya hidup?

Walmart menyulut fenomena yang setengahnya menggemparkan publik di Amerika. Warga AS kini sedang diramaikan dengan apa yang disebut “Walmart Birkin Bag” atau sesuatu yang akrab dijuluki “Wirkin.”

Dengan harga mulai dari 78 hingga 102 dolar AS, tas ini menjadi opsi bagi mereka yang ingin memiliki “gaya Birkin” tanpa harus menjual ginjal.

Sebagai perbandingan, tas Birkin asli yang dirilis Hermès dihargai mulai dari 9.000 dolar AS, itu pun belum termasuk daftar tunggu panjang yang membuat barang ini semakin diinginkan.

Dengan perbedaan harga yang begitu mencolok, tidak heran jika “Wirkin” menjadi bintang baru, terutama di platform sosial media TikTok.

Walmart bahkan menambahkan elemen “limited edition” dengan stok yang sering kali ludes. Tombol notify me di laman produknya menjadi pintu masuk bagi konsumen yang rela menunggu demi mendapatkan tas “ramah kantong” ini.

Namun, sebagaimana semua tren besar yang pernah terjadi lainnya, tidak semua orang menyambut dengan suka cita. “Ini mencoreng eksklusivitas Hermès,” ujar Michael Mack, seorang penjual barang mewah di Las Vegas kepada Newsweek.

Ia khawatir produk semacam ini justru mengaburkan nilai craftsmanship dan sejarah panjang di balik sebuah Birkin yang asli.

Faktanya, dalam dunia fesyen yang terus berkembang, tidak jarang bisa ditemui tren yang mampu melampaui batasan tradisional antara kemewahan dan budaya populer.

Tas yang dijual dengan harga terjangkau di Walmart, namun dengan gaya yang secara visual mengacu pada tas Hermès Birkin yang legendaris ini memang memicu diskusi global tentang status sosial, eksklusivitas, dan bagaimana fesyen menjadi instrumen demokratisasi budaya.

Sejak diluncurkan, Walmart Birkin yang juga dijuluki Walmès itu memang telah menjadi topik pembahasan yang hangat di media sosial, dari TikTok hingga Instagram.

Para konsumen muda, khususnya Gen Z dengan cepat mengadopsi tas ini, menjadikannya simbol baru dari semangat ironis dan pemberontakan terhadap tradisi mode yang elitis.

Fenomena ini bukan sekadar tentang replikasi estetika. Ada narasi yang lebih besar yang dapat dibaca dari tren ini yakni bagaimana kemewahan didefinisikan ulang di tengah masyarakat yang semakin menolak eksklusivitas dan lebih mementingkan kreativitas serta aksesibilitas.

Riset McKinsey bekerja sama dengan Box1824 menemukan perilaku Generasi Z di Brasil yang lebih menghargai narasi di balik suatu produk daripada status simbol yang ditawarkan.

Melalui survei kualitatif dan kuantitatif yang mencakup berbagai kelas sosial ekonomi, riset ini menemukan empat perilaku utama Generasi Z yang berpusat pada pencarian kebenaran, menghargai ekspresi individual, aktif dalam gerakan sosial, percaya pada dialog untuk menyelesaikan konflik, serta membuat keputusan secara analitis dan pragmatis. Oleh karena itu, mereka disebut “True Gen” yang cenderung inklusif.

Dalam konteks Walmart Birkin, tas ini menjadi pernyataan budaya. Bukan karena ia mencoba menyamai status Hermès Birkin, tetapi karena tas ini menawarkan ironi dan humor di tengah obsesi dunia terhadap barang mewah.

Fenomena ini mirip dengan apa yang dikemukakan Profesor di bidang tekstil dan pakaian, serta periset Studi Perempuan, Gender, dan Studi Budaya di University of California, Davis, Susan B. Kaiser, dalam bukunya Fashion and Cultural Studies (2012). Ia menyebut bahwa mode tidak hanya dipahami sebagai pakaian, tetapi sebagai ekspresi budaya yang sering kali merespons ketidakadilan sosial dan ekonomi.

Mengapa tren ini terjadi? Boleh jadi dan sangat mungkin karena mulai ada pergeseran nilai dalam dunia mode. Di masa lalu, kemewahan diukur dari harga dan kelangkaan.

Hermès Birkin, dengan harga puluhan hingga ratusan juta rupiah dan proses pembuatan yang sangat eksklusif, adalah simbol utama kemewahan konvensional. Namun, di era digital, nilai itu mulai digeser oleh kreativitas dan humor.

Walmart Birkin adalah bukti bahwa generasi muda tidak lagi menganggap fesyen sebagai sesuatu yang serius dan eksklusif, tetapi sebagai ruang untuk bermain dan mengekspresikan diri.

Kemudian, media sosial dalam hal ini juga memainkan peran besar dalam mendukung tren ini. Dalam dunia yang didominasi oleh visual, estetika menjadi elemen utama yang menggerakkan tren.

Konsumen tidak peduli dengan kulit asli atau proses pembuatan manual karena yang penting adalah bagaimana sebuah produk terlihat di Instagram atau TikTok.

Tas Walmart Birkin yang sederhana, dengan harga di bawah 50 dolar AS, bisa memberikan efek visual yang sama mencoloknya seperti Hermès Birkin saat diunggah di media sosial.

Hal ini menciptakan budaya konsumsi yang lebih inklusif, di mana siapa pun bisa tampil "mewah" tanpa harus menguras tabungan. Dan mungkin, “Walmart Birkin” adalah cara membalas dendam atas kemewahan yang selama ini terasa elitis.


Bahasa Budaya

Namun, di balik ironi dan kejenakaan yang dibawa tren ini, ada beberapa pelajaran penting yang dapat diambil. Fenomena ini setidaknya mengajarkan bahwa mode adalah bahasa budaya yang terus berkembang.

Apa yang sebelumnya dianggap tidak mungkin seperti tas Walmart menjadi bagian dari perbincangan serius dalam dunia fesyen sekarang menjadi kenyataan.

Desainer dan merek fesyen harus memahami bahwa audiens mereka berubah, dan mereka perlu lebih peka terhadap nilai-nilai baru yang diusung oleh generasi konsumen yang lebih muda.

Fenomena ini juga mengajarkan tentang demokratisasi dalam fesyen. Meskipun Hermès Birkin tetap mempertahankan statusnya sebagai simbol eksklusivitas, tas Walmart Birkin membuktikan bahwa gaya tidak harus dibatasi oleh harga atau akses.

Seiring waktu, tren seperti ini dapat membantu mengikis stereotip tentang siapa yang "berhak" tampil gaya dan mengapa.

Selain itu, fenomena ini menantang industri untuk merefleksikan kembali konsep keberlanjutan. Tas Walmart Birkin mungkin terjangkau, tetapi dampaknya terhadap lingkungan juga perlu dipertimbangkan.

Mengingat bahwa Gen Z adalah generasi yang sangat peduli terhadap isu lingkungan, merek-merek besar dan kecil perlu memastikan bahwa mereka tidak hanya mengikuti tren ini untuk keuntungan finansial, tetapi juga menciptakan produk yang bertanggung jawab secara ekologis.

Seperti yang pernah dikatakan oleh desainer legendaris Vivienne Westwood, "Buy less, choose well, and make it last." Ungkapan ini tetap relevan, bahkan di era ketika tas seperti Walmart Birkin mengubah narasi tentang kemewahan.

Tren ini, meskipun terlihat sederhana, membawa dunia ini kembali pada pertanyaan mendasar tentang apa yang sebenarnya harus dihargai dalam fesyen, apakah itu status, kreativitas, atau sesuatu yang lebih mendalam.

Bagi publik di Indonesia, yang masih memiliki budaya fesyen yang sering kali memuja barang-barang mewah, fenomena Walmart Birkin dapat menjadi refleksi yang menarik.

Dalam konteks lokal, tren ini mungkin bisa menjadi momentum untuk mendorong kreativitas desainer muda dalam menciptakan produk yang inklusif dan menarik bagi generasi baru sebagai konsumen.

Di sisi lain, tren ini juga dapat memicu diskusi tentang pentingnya mempertahankan nilai-nilai lokal di tengah arus globalisasi yang semakin deras.

Dengan semua itu, Walmart Birkin bukan hanya tentang sebuah tas. Ia adalah simbol dari revolusi dalam cara memandang fesyen, nilai, dan budaya.

Dan seperti revolusi lainnya, ia memaksa semua untuk bertanya, ke mana arah mode ini akan membawa dunia selanjutnya?

Copyright © ANTARA 2024

Read Entire Article
Ekonomi | Politic | Hukum | Kriminal | Literatur | SepakBola | Bulu Tangkis | Fashion | Hiburan |