Pengendara melintas di depan komplek perkantoran Kalurahan Srimulyo, Piyungan, Bantul, Sabtu (20/9/2015). Pemerintah kurahan setempat beserta mantan lurah Wajiran digugat perdata ke PN Bantul soal polemik tanah di kawasan Bukit Bintang. - Harian Jogja / Yosef Leon
Harianjogja.com, BANTUL – Sengketa status kepemilikan lahan kembali mencuat di Kalurahan Srimulyo, Piyungan, Bantul. Suharjo, ahli waris almarhum Somopawiro yang mengaku sebagai pemilik sah tanah yang kini terseret dalam kasus tindak pidana korupsi tanah kas desa (TKD) itu mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri (PN) Bantul kepada Pemerintah Kalurahan setempat dan eks Lurah Srimulyo Wajiran.
Penasehat hukum ahli waris, Muhammad Fahri Hasyim mengatakan, gugatan perdata itu sudah teregister di PN Bantul dengan nomor 111/Pdt.G/2025/PNBtl. Dalam pertimbangannya menyatakan bahwa tanah tersebut berdasarkan catatan administrasi desa terdaftar atas nama Somopawiro dan Suharjo dengan status Letter C. Nomor; 541/Srimulyo, Persil. 34/T, Kelas IV, seluas 2.750 M².
"Suharjo dalam hal ini sebagai penggugat adalah anak kandung dan ahli waris yang sah dari Somopawiro yang telah meninggal dunia pada 19 Februari 1998," katanya, Sabtu (20/9/2025).
Fahri mengklaim, tanah tersebut dibeli oleh Somopawiro sejak 1970-an secara sah dan merupakan tanah pribadi serta tercatat dalam administrasi desa. Namun, sejak lama upaya ahli waris untuk mengurus konversi sertifikat hak milik selalu ditolak pemerintah desa setempat dengan dalih terbentur regulasi.
“Klien kami sudah berkali-kali mencoba mengurus secara persuasif, tapi selalu dipersulit. Bahkan ada intimidasi agar persoalan tanah tidak dilanjutkan. Karena itu, kami menempuh jalur hukum,” kata Fahri.
BACA JUGA: Viral SPPG di Sleman Minta Sekolah Rahasiakan Jika Terjadi Keracunan MBG
Menurut Fahri, tanah tersebut justru disewakan oleh Pemdes Srimulyo kepada pihak ketiga sejak 2014 dan terus diperpanjang hingga 2028. Nilai kerugian akibat sewa yang tidak pernah diterima ahli waris ditaksir mencapai sekitar Rp3,25 miliar. “Padahal dalam buku pemeriksaan desa, tidak ada catatan tukar guling, hibah, atau alih nama. Tanah itu masih bersih atas nama Somopawiro,” ujarnya.
Dalam gugatan, Pemdes Srimulyo ditetapkan sebagai tergugat utama, sementara mantan Lurah Wajiran sebagai tergugat kedua. Fahri menilai tindakan pemerintah desa adalah perbuatan melawan hukum sekaligus bentuk kesewenang-wenangan. "Kemudian pada 7 Juli 2015 Kalurahan mengaku-aku sebagai pemilik dari tanah dan dimasukkan ke daftar Rincian Pemanfaatan Tanah Desa Srimulyo untuk Kas Desa pada urutan nomor 71," katanya.
Menanggapi hal itu, Wajiran menyebut dirinya hanya melanjutkan kebijakan yang sudah berjalan sejak sebelum ia menjabat. Ia menegaskan kerja sama pemanfaatan lahan tersebut telah berlangsung sejak 1996 dan pelaku usaha memiliki izin usaha lengkap.
“Kalau memang ditemukan bukti baru bahwa tanah itu bukan aset desa, ya adu bukti saja di pengadilan. Selama ini saya hanya melaksanakan tugas berdasarkan peraturan dan keputusan bersama BPD. Jadi tidak ada niat mempersulit ahli waris,” jelasnya.
Menurut Wajiran, proses pembuatan Perdes pada 2015 silam yang menetapkan tanah itu dimanfaatkan sebagai kas desa memang semasa dia menjabat. "Semuanya sudah lewat prosedur dan tahapan yang benar karena melibatkan berbagai perangkat kalurahan dan kapanewon yang lain untuk kemudian disidangkan dan ditetapkan jadi TKD," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News