- PERISTIWA
- REGIONAL
Sidang vonis yang digelar di PN Jember pada Rabu (16/4) itu digelar secara tertutup
Kamis, 17 Apr 2025 09:18:00

Muhammad Yasin Magrobi, mahasiswa keilmuan kesehatan (nakes) di salah satu kampus di Jember, akhirnya divonis hukuman 7 tahun penjara. Pria 25 tahun ini dinyatakan terbukti melakukan kekerasan seksual terhadap saudara sepupunya sendiri yang masih berusia 5 tahun.
Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jember juga menjatuhkan denda Rp10 juta kepada terdakwa, dengan subsider 6 bulan hukuman. Sidang vonis yang digelar di PN Jember pada Rabu (16/4) itu digelar secara tertutup karena masuk perkara asusila dan dengan korban masih di bawah umur.
Kasus ini sempat menarik perhatian karena ada dugaan orang tua korban sempat diintimidasi oleh keluarganya sendiri, saat hendak mencari keadilan untuk sang anak.
Majelis hakim yang diketuai Aryo Widiatmoko dan hakim anggota I Gusti Ngurah Taruna serta Arman S. Herman itu menyatakan, terdakwa terbukti melanggar pasal 82 ayat 1 Undang-undang No 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak.
Meski demikian, vonis ini lebih rendah 2 tahun dari tuntutan jaksa sebelumnya. Jaksa penuntut umum dari Kejari Jember sebelumnya menuntut terdakwa dihukum penjara selama 9 tahun, denda Rp 10 juta subsider 6 bulan kurungan.
Sejumlah hal yang memberatkan perbuatan terdakwa diantaranya adalah karena korban masih belia dan terdakwa tidak mengakui perbuatannya.
Kukuh Merasa Tidak Bersalah, Terdakwa Ingin Bebas
Menanggapi vonis tersebut, terdakwa melalui kuasa hukumnya, Dimastya Febbyanto masih menyatakan pikir-pikir atas vonis tersebut. Meski divonis lebih ringan 2 tahun dari tuntutan jaksa, terdakwa Yasin tetap ingin divonis bebas.
Sebab, ia masih bersikukuh merasa tidak melakukan perbuatan yang didakwakan oleh jaksa.
"Kami kemungkinan akan mengajukan banding, karena harapan kami adalah terdakwa divonis bebas," tutur Dimastya.
Menurutnya, ada tiga poin yang menjadi alasan terdakwa bersikukuh tidak bersalah dalam kasus ini. "Pertama, karena dari fakta persidangan. Dari saksi-saksi yang dihadirkan JPU, maupun saksi a de charge (saksi meringankan terdakwa), juga saksi ahli. Itu semuanya tidak terbukti menurut kami. Karena dari keterangan saksi ahli, pertimbangannya sangat tidak logis dan banyak pertimbangan yang menyatakan kemungkinan, kemungkinan, dan kemungkinan," paparnya.
Dimastya menyebut, tanda bekas kekerasan seksual di tubuh korban sebagaimana yang dinyatakan dalam visum, bisa jadi bukan karena kekerasan seksual. Tetapi karena faktor lain seperti benturan jatuh atau sakit klinis.
Poin kedua, Dimastya menyebut tidak ada saksi yang benar-benar melihat terjadinya kekerasan seksual yang dilakukan terdakwa kepada korban.
"Tuduhan yang didugakan kepada klien kami itu sebenarnya tidak terbukti sama sekali. Karena kami berpegang pada Asas testimonium de auditum, dimana dalam fakta-fakta persidangan hanya ada saksi korban saja. Dan pernyataan dari saksi ahli yang tadi saya katakan tidak menjadi landasan klien kami ini bersalah," papar Dimastya.
Faktor ketiga, pengacara terdakwa menuding kasus ini dilatarbelakangi oleh konflik keluarga besar terdakwa serta orang tua korban. "Adanya permasalahan dalam keluarga," papar Dimastya.
Tanggapan Pendamping Korban
Pendamping yang juga pengacara korban, Yamini balik mempertanyakan argumentasi pengacara terdakwa. Pertama, soal tidak adanya saksi yang melihat langsung, menurut Yamini tidak masuk akal jika masih dipersoalkan. Sebab, peristiwa kekerasan seksual seringkali dilakukan di ruang tertutup, termasuk dalam kasus ini.
"Yang pertama soal tidak adanya saksi. Namanya kekerasan seksual sering kali memang tidak ada saksi. Aneh saja kalau misalnya pelaku itu melakukan kekerasan seksual di depan umum. Tapi kan ada bukti-bukti lain yang mengarah ke sana (tindak pencabulan)," papar perempuan yang juga dikenal sebagai aktivis gender ini.
"Di persidangan juga itu juga ada saksi ahli, dan hakim juga sudah memutuskan bahwa itu benar terjadi, hasil visumnya sudah mengatakan seperti itu, ahlinya juga mengatakan seperti itu, artinya kan selesai. Kalau PH (Penasehat Hukum) terdakwa menyatakan tidak ada saksi itu ya haknya. Tapi aneh sebagai orang hukum, bahwa itu tidak ada saksi kasus kekerasan
seksual," papar Yamini.
Lalu pada poin kedua, Yamini menanggapi soal tuduhan adanya sakit menahun di alat kelamin korban sehingga menyebabkan keputihan. "Dia (PH terdakwa) juga tidak bisa membuktikan itu, artinya kan hanya asumsi. Pada saat persidangan terdakwa melalui PH nya, kan dia punya kesempatan membuktikan itu, dan ternyata tidak bisa membuktikan. Artinya sampai saat ini, putusan hakim itu adalah keputusan yang tepat," ujar alumnus Fakultas Hukum Universitas Jember (FH Unej) ini.
Kemudian untuk luka robekan pada alat kelamin korban, lebih jauh kata Yamin, hal itu bisa dibuktikan. "Karena kalau pembuktian dalam hukum pidana itu ada 5 paling enggak. Tidak hanya cukup dari saksi. Dilengkapi visum itu kan juga bukti tertulis. Luka robekan gitu ya, karena jatuh, karena sakit, karena disengaja dirusak oleh benda tumpul ataupun benda lain, itu beda dan ahli juga sudah menyatakan itu. Di persidangan ahli pasti menyampaikan bagaimana hasil visumnya dan sebagainya, visumnya jelas kok (pidana pencabulan)," ulasnya.
Dari semua proses persidangan, kata Yamini, pembelaan Penasehat Hukum terdakwa terbantahkan.
"Dengan adanya putusan 7 tahun, majelis hakim mengakui dan jaksa bisa membuktikan bahwa peristiwa itu memang terjadi dan yang melakukan adalah terdakwa," tandasnya.
Vonis Dinilai Cukup, Meski Kejahatan Luar Biasa
Menanggapi vonis 7 tahun tersebut, Yamini menilai keputusan majelis hakim sudah tepat.
"Kalau ngomong puas tidak puas, ya sampai kapanpun tidak akan puas. Karena memang apa yang dilakukan oleh terdakwa itu, adalah kejahatan yang luar biasa. Apalagi korbannya adalah anak-anak dan masih saudara, seberapapun hukuman yang akan diputuskan, tidak akan bisa mengembalikan (masa depan korban itu)," kata Yamini.
"Tetapi kalau kita melihat dari sisi hukumnya, dengan tuntutan 9 tahun itu sudah cukup relevan. Kemudian yang disampaikan oleh hakim itu (vonis 7 tahun penjara) sudah cukup tinggi," sambungnya.
Kejaksaan Masih Menunggu
Sementara itu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam kasus ini, Adik Sri Sumarsih menyatakan pihaknya masih menunggu sikap pengacara terdakwa. "Masih ada waktu 7 hari untuk menentukan sikap bagi terdakwa. Karena kemarin menyatakan pikir-pikir," tutur Adik.
Meski vonis tersebut lebih rendah 2 tahun dari tuntutan jaksa, Adik belum memastikan apakah jaksa akan banding atau tidak.
"Apakah mau mengajukan banding maupun menerima putusan itu. Kita tunggu saja 7 hari setelah putusan ini. Saat ini belum punya kekuatan hukum tetap, atau belum inkrah," pungkas Adik.

Artikel ini ditulis oleh

M
Reporter
- Muhammad Permana

Terbukti Lakukan Kekerasan Seksual, Kiai Fahim Mawardi Divonis 8 Tahun Penjara
Majelis hakim PN Jember menyatakan Kiai Fahim Mawardi bersalah melakukan kekerasan seksual. Dia dijatuhi hukuman 8 tahun penjara.



4 Pembunuh dan Pemerkosa Siswi SMP Divonis Ringan, Jaksa Ajukan Banding
Jaksa menilai vonis itu tidak berkeadilan bagi keluarga korban meski para terdakwa masih di bawah umur.


Mendidih Keluarga Korban Dengar 4 Pembunuh & Pemerkosa Divonis Ringan: Binatang!
Para terdakwa diputus bersalah tetapi hukumannya jauh lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum.

Divonis Lebih Ringan, Mahasiswa UI Pembunuh Adik Kelas Lolos dari Hukuman Mati
Vonis ini lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) yang menuntut hukuman mati.