Harianjogja.com, BANTUL--BR, pembeli tanah seluas 298 meter milik Tupon, 68, warga Ngentak, Bangunjiwo, Kasihan, Bantul angkat bicara.
BR mempertanyakan langkah dari anak dari Tupon, Heri Setiawan, 31, yang melaporkan dirinya ke Polda DIY, terkait kasus penipuan dan penggelapan tanah milik Tupon.
"Kenapa justru saya juga ikut dilaporkan sebagai terlapor?," kata Bibit dalam keterangan tertulis yang diterima Harian Jogja, Senin (28/4/2025).
Padahal, seharusnya, Heri melaporkan Triono (1) dan Triono (2), Notaris Anhar Rusli dan Indah Fatmawati ke Polda DIY. Sebab, sejak BR menyerahkan sertifikat kepada Triono pada tahun 2023, maka BR sudah mempercayakan sepenuhnya kepada Triono 1. Triono 1 juga telah berkomunikasi langsung dengan Tupon, sehingga BR mengaku tidak membersamai proses selanjutnya.
BACA JUGA: Kasus Mbah Tupon Ditangani Polda DIY
"Meskipun tidak membersamai secara langsung namun dalam prosesnya, beberapa kali saya tetap menanyakan kepada Triono 1 maupun Bapak Tupon, terkait dengan sejauh mana proses pecah sertifikat yang dilakukan," terangnya.
BR menyampaikan saat itu Triono 1 menjawab sudah dalam proses pecah dan bahkan pada komunikasi langsung sekitar bulan Februari 2025 Triono 1 menjawab bahwa pecah sertifikat milik Tupon akan selesai akhir bulan Maret 2025.
"Jawaban bahwa pecah sertifikat milik Bapak Tupon akan selesai akhir bulan Maret 2025 juga disampaikan kepada Bapak Tupon Ketika beliau menanyakan prosesnya kepada Triono 1," katanya.
BR juga mengungkapkan pada 2021, Tupon bermaksud untuk melakukan wakaf tanah bagi kegiatan warga RT dan bersamaan dengan itu maka sekalian pecah tanah bagi wakaf RT dan anak-anaknya serta untuk dijual sebagian sebagai biaya prosesnya.
" Selanjutnya ada komunikasi dengan saya, agar saya bersedia membeli sebagian tanahnya sebagai biaya proses dan untuk membangunkan rumah bagi anaknya mbah Tupon yang bernama Heri Setyawan," katanya.
Kesepakatan pecah tanah, ungkap BR, pada tahap pertama melalui notaris yang dipilih oleh keluarga Tupon, karena ketentuan peraturan yang berlaku bahwa pecah tanah yang dilakukan oleh perorangan maksimal menjadi 4 bidang, maka pecah tanah yang pertama hanya dilakukan 3 bidang. Dalam perjalanan pecah tanah tahap pertama butuh waktu lama dan minta agar BR membantu kelancarannya.
"Pada tahun 2023 akhirnya pecah pertama melalui Notaris yang dipilih oleh Bapak Tupon selesai, saat itu ada saudaranya yang menyampaikan kepada saya bahwa notaris yang memproses pecah pertama sudah tidak bersedia untuk pecah kedua, karena perlu jeda waktu untuk melakukan prosesnya," jelas BR.
BR menyampaikan, saudara dari Tupon lalu bertanya apakah BR bisa membantu komunikasi dengan notaris lain yang mungkin bersedia untuk melakukan pecah sertifikat lagi. Beberapa waktu berselang, kata BR, saudara Triono datang kerumah untuk membicarakan keperluan lain.
"Saya sempat sampaikan tentang permohonan rencana Bapak Tupon yang berkeinginan untuk memecah sertifikat lagi. Saya bertanya kepada Triono apakah ada kenalan Notaris yang bisa memproses ?. Triono menjawab ada dan siap membantu," katanya.
Sehari kemudian, ungkap BR, dirinya mengundang Tupon untuk menanyakan apa masih berkehendak untuk pecah sertifikat lagi. Saat itu Tupon menjawab, Iya dan berencana untuk memcahnya menjadi 4 bidang.
"Dengan pembagian tiga bidang untuk diserahkan kepada 3 anaknya dan yang 1 bidang untuk dirinya sendiri. Saya kemudian mengatakan bahwa ada orang bernama Triono yang siap membantu prosesnya," jelas BR.
Setelah itu, BR menyatakan, bahwa sehari kemudian sertifikat diantarkan oleh Tupon kerumah BR untuk proses selanjutnya yang sudah dibicarakan sebelumnya dengan BR. Menindaklanjuti hal tersebut kemudian BR mengundang Triono ke rumah BR dan sertifikat milik Tupon diserahkan BR kepada Triono untuk proses lebih lanjut.
"Saya sampaikan kepada Triono apabila membutuhkan kelengkapan dokumen yang dibutuhkan agar langsung berhubungan dengan Bapak Tupon," papar BR.
Sejak saat itu, kata BR, Tupon dan Triono melakukan komunikasi langsung tanpa perantara BR terkait dengan pengurusan pecah sertifikat. Namun, untuk pembiayaan, Triono agar langsung meminta kepada BR karena uang untuk keperluan proses pemecahan sertifikat sudah ada pada BR yang bersumber dari sisa pembayaran penjualan tanah sebelumnya.
Dalam perjalanan waktu, walaupun Tupon dan Triono melakukan komunikasi langsung, namun BR mengaku tetap memantau, dengan cara bertanya kepada Tupon maupun kepada Triono terkait dengan proses pemecahan bidang tanah tersebut.
"Suatu hari Bapak Tupon menyampaikan kepada saya bahwa dia dimintai uang dengan nominal Rp5 juta oleh Triono, atas hal tersebut saya sampaikan kepada Bapak Tupon, semestinya Bapak Tupon tidak perlu memberikan uang, karena uang yang digunakan khusus untuk proses pecah sertifikat sudah tersedia pada saya," ungkapnya.
Lalu, kata BR, Tupon menjawab bahwa ia memberikan uang itu kepada Triono, karena Triono mengatakan bahwa ada keperluan yang mendesak. BR kemudian mengkonfirmasi kepada Triono, apakah benar Trionono meminta uang Rp5 juta, dan dibenarkan bahwa Triono memang meminta uang Rp5 juta.
"Kemudian dalam proses pemecahan sertifikat ternyata Triono meminta bantuan orang lain yang juga bernama Triono (Triono 2) agar Triono 2 mau membantu Triono untuk proses lebih lanjut terkait pemecahan sertifikat milik Bapak Tupon," kata BR.
Setelah itu, jelas BR, menurut keterangan dari Triono 1 penandatanganan terkait berkas untuk pecah dilaksanakan di rumah Tupon, yang dihadiri Tupon, Istrinya,Triono 1 dan Triono 2 tanpa sepengetahuan BR.
"Saya baru diberitahu tentang hal tersebut beberapa waktu kemudian setelah adanya penandatanganan. Waktu berjalan sampai akhirnya saya menerima informasi dari Heri Setyawan yang merupakan anak dari Bapak Tupon bahwa ada orang yang mengaku dari bank PNM akan melelang tanah Bapak Tupon," papar BR.
Mengetahui informasi tersebut, BR mengaku mengundang Triono 1, Tupon dan Heri Setyawan datang kerumah untuk mendiskusikan terkait dengan hal tersebut. Setelah berdiskusi akhirnya BR menyarankan kepada Triono 1 dan Heri Setyawan untuk melaporkan hal tersebut ke polda DIY
"Triono 1 dan Heri Setyawan kemudian melaporkan kejadian tersebut ke Polda DIY. Belum ada tindak lanjut atas laporan tersebut, tiba-tiba Bapak Tupon masih didatangi oleh orang yg mengaku dari bank PNM, yang mengatakan bahwa tanah Bapak Tupon sudah beralih nama menjadi nama orang lain dan digunakan sbg jaminan bank PNM, dan akan dilakukan lelang kedua," jelas BR.
Menerima informasi tersebut kemudian Tupon, istrinya, anaknya dan bersama dengan beberapa kerabatnya datang kerumah saya untuk berdiskusi dan mencari jalan terbaik karena Tupon tidak pernah merasa mengalihkan/ menjual tanahnya kepada orang lain.
"Hasil dari diskusi akhirnya disepakati untuk diadakan mediasi di Kalurahan agar tidak terjadi kesalahpahaman antara saya dan keluarga Bapak Tupon," ungkap BR.
Mediasi di kalurahan, kata BR dilaksanakan pada tanggal 14 April 2025, dalam pertemuan tersebut BR menyarankan untuk melaporkan lagi masalah ini ke Polda DIY. Adapun dalam mediasi disepakati bahwa ada 3 orang yang dilaporkan yaitu Triono 2, Notaris Anhar Rusli SH dan Indah Fatmawati.
Dengan pertimbangan, Triono 2 adalah orang terakhir yang memegang sertifkat atas nama Tupon, yang sampai kemudian beralih nama. Anhar Rusli adalah Notaris yang dipilih oleh Triono 2 untuk proses pecah, hal ini diketahui dari catatan pada sertifikat yang fotokopiannya dapat diperoleh dari Triono 1. Lalu Indah Fatmawati adalah nama yang tercantum pada sertifikat Tanah Tupon.
"Dikarenakan kondisi Bapak Tupon yang buta huruf dan pendengaran berkurang, maka laporan di Polda DIY dilakukan oleh anaknya yang bernama Heri Setyawan," ucapnya.
Sebelumnya, Kasus penipuan dan penggelapan tanah milik warga Ngentak, Bangunjiwo, Kasihan itu terkuak setelah tanah seluas 1.655 meter persegi milik Tupon, 68 tiba-tiba berganti nama dan dijaminkan ke Bank.
Anak dari Tupon, Heri Setiawan, 31, mengatakan, awalnya, Tupon yang memiliki lahan seluas 2.100 meter persegi hendak menjual tanahnya seluas 298 meter persegi pada 2020.
Tanah tersebut dibeli oleh BR. Tupon, kata Heri juga memberikan tanah seluas 90 meter persegi, dengan pertimbangan tanah yang dibeli oleh BR itu tidak memiliki akses jalan. Selain itu, Tupon juga memberikan tanah seluas 54 meter kepada pengurus RT untuk dijadikan gudang RT seluas 54 meter persegi.
"Terus dipecah," katanya.
Untuk besaran nilai penjualan tanah seluas 298 meter persegi, BR membelinya Rp1 juta permeter. BR membayar kepada Tupon dengan jalan diangsur tanpa jatuh tempo. Adapun besaran uang angsuran pertama yang dibayarkan oleh BR dan diterima oleh Tupon adalah senilai Rp5 juta.
Di sisi lain, proses jual beli dan pecah sertifikat sudah rampung. Namun, ucap Heri, BR masih memiliki utang pembayaran tanah senilai Rp 35 ke juta ke Tupon.
Lalu, BR menawarkan utangnya ke Tupon untuk dilunasi dalam bentuk membiayai pecah sertifikat Tupon yang seluas 1.655 meter persegi. Sertifikat dipecah menjadi jadi empat bagian yaitu untuk Tupon dan ketiga anaknya.
Dalam perkembangannya, kata Heri, sertifikat itu ternyata dibalik nama atas nama IF. "Sertifikat itu diagunkan ke bank," ucapnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News