Ilustrasi banjir. / Freepik
Harianjogja.com, SLEMAN—Pakar hidrologi dan pengelolaan DAS Fakultas Kehutanan UGM, Hatma Suryatmojo mengingatkan pentingnya kesiapsiagaan masyarakat dan pemerintah daerah menghadapi perubahan pola musim. Menurutnya mitigasi struktural maupun non-struktural perlu disiapkan.
Hatma mengatakan infrastruktur pengendali banjir seperti kolam retensi, normalisasi sungai, serta perbaikan drainase harus dipercepat. Di daerah rawan longsor, pembangunan terasering dan penahan tanah perlu dilakukan.
"Selain itu, solusi berbasis alam seperti reboisasi hulu DAS dinilai penting untuk jangka panjang," kata Hatma pada Selasa (16/9/2025).
BACA JUGA: BPD DIY Salurkan 104 Rekening KKPD dengan Plafon RpRp14,6 miliar
Ia menambahkan datangnya musim hujan lebih awal tidak bisa dilepaskan dari adanya fenomena El Niño–Southern Oscillation (ENSO) dalam kondisi netral pada bulan Agustus lalu. Akan tetapi di saat yang bersamaan tetapi Indian Ocean Dipole (IOD) tercatat negatif.
Dampaknya, Samudra Hindia dijelaskan Hatma menyuplai uap air ekstra ke wilayah Indonesia bagian barat. Selain itu suhu muka laut lebih hangat sekitar 0,42°C di atas rata-rata juga memicu pembentukan awan hujan lebih intens.
Hatma juga mengatakan bahwa perubahan iklim global turut berperan memperkuat intensitas hujan dan membuat pola musim semakin sulit diprediksi. Data yang ada menunjukkan 294 zona musim atau sekitar 42% wilayah Indonesia mengalami awal musim hujan yang maju dari normalnya.
Dari pandangan Hatma tantangan terbesar dari musim hujan yang lebih awal adalah meningkatnya risiko banjir bandang dan tanah longsor. Risiko tersebut muncul karena dipicu oleh dampak deforestasi dan degradasi lahan di banyak DAS membuat banjir dan longsor lebih parah.
"Secara alami, hutan dan vegetasi menyerap air hujan dan mengurangi erosi, namun jika tutupan hutan berkurang, air hujan langsung terbuang sebagai aliran permukaan," ucapnya.
Di lain sisi, Hatma juga menyoroti pentingnya riset, teknologi, dan kolaborasi lintas sektor. Pemanfaatan kecerdasan buatan (AI) oleh BMKG untuk meningkatkan akurasi prakiraan musim hujan hingga level kabupaten dinilai sebagai langkah positif. Kemudian peta kerentanan berbasis GIS juga dapat membantu pemda dalam mengenali titik kritis bencana.
"Dengan kolaborasi yang kuat dan kesadaran masyarakat yang tinggi, diharapkan dampak bencana hidrometeorologi dapat diminimalkan," ujarnya.
BACA JUGA: Pemda Minta Layanan PLN Bisa Menyesuaikan Karakteristik Warga DIY
Dengan serentetan potensi yang ada, Hatma berharap agar pemerintah menjadikan adaptasi perubahan iklim dan pengurangan risiko bencana sebagai arus utama pembangunan. Penguatan regulasi lingkungan, tata ruang yang ketat, serta investasi pada infrastruktur hijau perlu diprioritaskan. Selain itu, Hatma berpendapat kesiapsiagaan nasional tak akan berhasil tanpa kesadaran publik yang tinggi.
"Masyarakat perlu memahami bahwa pola iklim kini berbeda dibanding dulu, sehingga kesiapan mental dan sikap adaptif sangat penting. Edukasi perubahan iklim harus digencarkan, mulai dari sekolah hingga kelompok tani, agar publik mengerti langkah apa yang harus diambil ketika tanda-tanda cuaca ekstrem muncul," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News