- PERISTIWA
- NASIONAL
Teranyar Tim penyidik Kejagung menangkap tiga hakim Tiga hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (Jakpus).
Senin, 14 Apr 2025 11:04:27

Tim penyidik Kejagung menangkap tiga hakim Tiga hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (Jakpus) pada Sabtu (12/4). Ketiga hakim ditangkap Kejagung terkait kasus suap vonis lepas kepada terdakwa korporasi di kasus korupsi ekspor crude palm oil (CPO) atau bahan baku minyak goreng.
Ketiga hakim ditangkap merupakan majelis hakim yang menyidangkan terdakwa korporasi yang divonis lepas, dengan susunannya Ketua Majelis Hakim Djuyamto, Hakim Anggota Agam Syarif Baharuddin dan Hakim Anggota Ali Muhtarom.
Ketiga hakim yang telah ditetapkan sebagai tersangka itu kini ditahan di Rutan Salemba Cabang Kejagung untuk penyidikan perkara suap tersebut lebih lanjut.
"Terhadap para tersangka dilakukan penahanan 20 hari ke depan," kata Dirdik Jampidsus Kejagung Abdul Qohar di Kejagung, Jakarta Selatan, Senin (14/4).
Penangkapan tiga hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ini menambah daftar para wakil tuhan diciduk terkait rasuah ini. Mereka ditangkap karena mencoba memainkan putusan perkara. Lantas bagaimana modus para hakim tersandung kasus suap saat menangani perkara. Berikut dirangkum merdeka.com:

Kasus Suap di PN Jakarta Pusat
Kejaksaan Agung menetapkan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta (MAN), sebagai tersangka kasus suap penanganan perkara, Sabtu (12/4).
Kasus yang menjerat Arif ini berkaitan dengan vonis onstslag atau putusan lepas pada perkara korupsi ekspor crude palm oil (CPO) atau bahan baku minyak goreng (goreng).
Ada tiga terdakwa korporasi dalam kasus korupsi minyak goreng ini mulai dari Permata Hijau Group, Wilmar Group, dan Musim Mas Group. Majelis hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang mengadili kasus ini lalu memberikan vonis lepas kepada tiga terdakwa korporasi itu pada 19 Maret 2025.
Vonis lepas itu berbeda jauh dengan tuntutan yang disampaikan oleh jaksa penuntut umum.
Dalam tuntutannya, jaksa menuntut uang pengganti sebesar Rp 937 miliar kepada Permata Hijau Group, uang pengganti kepada Wilmar Group sebesar Rp 11,8 triliun, dan uang pengganti sebesar Rp 4,8 triliun kepada Musim Mas Group.
Tim penyidik Kejagung lalu mencium kejanggalan dalam putusan lepas itu. Serangkaian pengusutan lalu mengungkap adanya dugaan suap yang dilakukan pengacara terdakwa korporasi, Marcella Santoso (MS) dan Ariyanto (AR), kepada Muhammad Arif Nuryanta yang saat itu masih menjabat sebagai Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Diketahui suap sebesar Rp60 miliar diterima Arif selaku Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat saat itu dilakukan agar mempengaruhi vonis yang diterima tiga terdakwa korporasi kasus korupsi minyak goreng.
Total ada tujuh orang tersangka dalam kasus ini. Para tersangka kini telah ditahan di Rutan Kejagung selama 20 hari ke depan.
Di antaranya, Wahyu Gunawan (WG) selaku Panitera Muda pada Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Marcella Santoso (MS) selaku pengacara, Ariyanto (AR) selaku pengacara dan Muhammad Arif Nuryanta (MAN) selaku Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Selain itu majelis hakim yang menyidangkan terdakwa korporasi yang divonis lepas juga ditetapkan tersangka. Mereka adalah Ketua Majelis Hakim Djuyamto, Hakim Anggota Agam Syarif Baharuddin dan Hakim Anggota Ali Muhtarom, yang saat itu menyidangkan perkara tersebut.
Direktur Penyidikan pada Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar mengungkapkan sumber dana suap ke tiga hakim yang menjadi tersangka dalam kasus dugaan suap terkait putusan lepas (ontslag) perkara korupsi pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO) di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat.
“Untuk mengurus perkara korupsi korporasi minyak goreng dengan permintaan agar perkara tersebut diputus ontslag dengan menyiapkan uang sebesar Rp20 miliar,” kata Qohar dalam konferensi pers di gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin (14/4) dini hari.
Dia mengatakan bahwa dari pemeriksaan tujuh saksi pada Minggu (13/4), didapatkan fakta bahwa adanya kesepakatan antara tersangka AR (Ariyanto) selaku advokat tersangka korporasi dalam kasus ini dengan tersangka WG (Wahyu Gunawan) selaku panitera muda perdata Pengadilan Negeri Jakarta Utara, untuk mengurus korupsi korporasi minyak goreng.
Setelah itu, hal tersebut disampaikan oleh WG kepada tersangka MAN (Muhammad Arif Nuryanta) yang pada saat itu menjabat sebagai Wakil Kepala PN Jakarta Pusat.
Mendengar permintaan tersebut, MAN menyetujui, tetapi dengan meminta uang senilai Rp20 miliar tersebut dikalikan tiga sehingga total senilai Rp60 miliar.
Tersangka AR yang mendapatkan informasi tersebut dari WG, menyanggupi dan menyerahkan uang Rp60 miliar dalam mata uang dolar AS melalui WG.
Oleh WG, uang tersebut selanjutnya diberikan kepada MAN. Atas jasanya sebagai perantara, WG diberi uang senilai 50.000 dolar AS oleh MAN.
“Jadi, Wahyu Gunawan pun dapat bagian setelah adanya penyerahan uang tersebut,” kata Qohar.
Selanjutnya, kata Dirdik Qohar, MAN yang pada saat itu menjabat sebagai Wakil Kepala PN Jakarta Pusat, menunjuk majelis hakim yang terdiri dari tersangka DJU, ASB, dan AM.
“Tersangka DJU sebagai ketua majelis, tersangka AM sebagai hakim ad hoc, dan ASB sebagai anggota majelis,” kata dia.
Setelah terbit surat penetapan sidang, tersangka MAN memanggil DJU selaku ketua majelis dan ASB selaku hakim ad hoc untuk memberikan uang dolar senilai Rp4,5 miliar.
“Uang tersebut diberikan sebagai uang untuk baca berkas perkara dan Muhammad Arif Nuryanta menyampaikan kepada dua orang tersebut agar perkara diatensi,” ujar dia.
Uang tersebut kemudian oleh DJU dibagi-bagikan kepada ASB dan AM.
Beberapa waktu kemudian, MAN kembali memberikan uang mata uang dolar AS yang apabila dirupiahkan senilai Rp18 miliar kepada DJU selaku ketua majelis.
Oleh DJU, uang dolar AS tersebut dibagi kepada majelis hakim yang jika dirupiahkan untuk ASB sebesar Rp4,5 miliar, untuk DJU sebesar Rp6 miliar, dan untuk AM sebesar Rp5 miliar.
“Ketika hakim mengetahui tujuan dari penerimaan uang agar perkara diputus ontslag, dan hal ini menjadi nyata ketika tanggal 19 Maret 2025 perkara korporasi minyak goreng telah diputus ontslag oleh majelis hakim,” kata Qohar.
Ketiga tersangka tersebut dikenakan Pasal 12 huruf c juncto Pasal 12 huruf b jo. Pasal 6 ayat (2) jo. Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2021 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Dengan ditetapkannya tiga tersangka baru, maka total tersangka dalam kasus dugaan suap ini sebanyak tujuh orang.

Kasus Suap Ronald Tannur
Selanjutnya ada kasus suap vonis bebas anak mantan anggota DPR dari PKB, Edward Tannur, Gregorius Ronald Tannur dalam perkara penganiayaan dan pembunuhan sang pacar, DSA. Lolosnya Ronald Tannur dari jerat hukum itu diketok palu oleh tiga hakim PN Surabaya yakni Erintuah Damanik, Mangapul dan Heru Hanindyo.
Kejaksaan mencium aroma rasuah dalam keputusan ini. Setelah dilakukan serangkaian pendalaman, terbukti ternyata ketiga hakim diduga menerima suap dan gratifikasi terkait kasus Ronald.
Nama-nama baru pun ikut terseret dalam kasus suap ini. Yang pertama adalah Zarof Ricar. Dia merupakan mantan Kepala Badan Diklat Hukum dan Peradilan MA.
Zarof Ricar terlibat dalam upaya pengurusan kasasi Ronald Tannur. Dalam pendalaman perkara, Kejagung juga menemukan fakta baru bahwa Zarof diduga merupakan makelar kasus.
Hal ini dikuatkan dengan penyitaan Zarof senilai hampir Rp1 triliun dan emas seberat 51 kilogram.
Direktur Penyidikan (Dirdik) Jampidsus Kejagung Abdul Qohar mengulas, Zarof Ricar bahkan mengaku tidak dapat merinci kasus yang diurusnya lantaran terlalu banyak. Terlebih, aksi tersebut digelutinya hingga 10 tahun lamanya, yang bahkan hingga pensiun pun tetap dijalani.
Dalam kasus Ronald, Zarof akan menjadi perantara uang suap untuk hakim tingkat kasasi di Mahkamah Agung (MA).
"Di mana LR (pengacara Ronald Tannur) meminta ZR, agar ZR mengupayakan hakim agung MA tetap menyatakan Ronald Tannur tidak bersalah dalam kasasinya," tutur Abdul Qohar.
Zarof Ricar dibayar Rp1 miliar atas jasanya membantu pengurusan perkara Ronal Tannur. Uang tersebut dimaksudkan untuk hakim MA, meski belum sempat berpindah tangan.
"Untuk hakim agung berinisial S, A, dan S lagi, yang menangani kasasi Ronald Tannur," jelas dia.
Nama kedua ada Lisa Rahmat (LS/LR). Dia merupakan kuasa hukum Ronald Tannur. Peran Lisa adalah meminta bantuan Zarof Ricar agar dapat mengkondisikan hakim PN Surabaya dan mengupayakan hakim agung MA agar menyatakan Ronald tidak bersalah dalam kasasi.
"LR meminta kepada ZR agar diperkenalkan kepada pejabat di Pengadilan Negeri Surabaya dengan inisial R, dengan maksud untuk memilih majelis Hakim yang akan menyidangkan perkara Ronald Tannur," tutur Qohar.
Ketiga adalah R, pejabat PN Surabaya. R diduga berperan sebagai sosok yang menunjuk tiga hakim untuk menangani kasus Ronald Tanur, yang pada akhirnya dibebaskan dari kasus kematian mantan pacarnya.
Sosok R ini sempat diperkenalkan Zarof Ricar ke kuasa hukum Ronadl Tanur, Lisa Rahmad.
"LR meminta kepada ZR agar diperkenalkan kepada Pejabat di Pengadilan Negeri Surabaya dengan inisial R dengan maksud untuk memilih majelis Hakim yang akan menyidangka perkara Ronald Tanur," kata Qohar.
Keempat adalah ibu Ronlad Tanur, Meirizka Widjaja (MW). Dia berperan menujuk Lisa sebagai kuasa hukum anaknya agar dapat diselesaikan. Lisa sempat meminta sejumlah uang kepada Meirizka untuk menangani kasus Tanur.
Meirizka Widjaja dan Lisa Rahmat merupakan teman lama. Sehingga, dia meminta pengurusan kasus anaknya.
"LR menyampaikan kepada MW ada hal-hal yang perlu dibiayai," terang Qohar.
Setiap ada permintaan uang dari Lisa Rahmat, Meirizka Widjaja pun memenuhinya, termasuk mengganti dana talangan yang jumlahnya mencapai sebesar Rp2 miliar.
"Selama persidangan di PN Surabaya, MW menyerahkan uang ke LR sebanyak Rp1,5 miliar yang diberikan secara bertahap," ungkapnya.
"Sehingga total Rp3,5 miliar," sambung Qohar.
Total dana yang digelontorkan agar Tanur divonis bebas sebesar Rp3,5 miliar.
Uang tersebut kemudian diserahkan kepada Zarof yang menjadi kepanjangan tangan agar Lisa dapat dikenalkan dengan pejabat PN Surabaya, yang nantinya sosok hakim yang akan menangani perkara Ronald Tanur dipilih.
Dalam kasus ini total sudah ada enam orang yang telah ditetapkan menjadi tersangka dalam kasus pemufakatan pembebasan Ronald Tanur.
Yaitu tiga hakim PN Surabaya yaitu Erintuah Damanik selaku Hakim Ketua, serta Mangapul dan Heru Hanindyo sebagai Hakim Anggota. Mantan pejabat Mahkamah Agung (MA) Zarof Ricar dan pengacara Ronald Tannur, Lisa Rahmad.
Ketiga hakim yang diduga menerima suap tersebut dikenakan pasal pelanggaran, yaitu Pasal 5 ayat 2 juncto Pasal 6 ayat 2 juncto Pasal 12 huruf C juncto Pasal 12 B juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2021 mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi, serta Pasal 55 ayat 1 KUHAP. Mereka kini ditahan di Rutan Salemba Cabang Kejaksaan Agung.
Sementara itu, pengacara yang berinisial LR, sebagai pihak yang diduga memberikan suap. Terbaru adalah ibu Ronald Tanur, Meirizka Widjaja, mereka dikenakan pasal yang sama, yakni Pasal 5 ayat 1 juncto Pasal 6 ayat 1 huruf A juncto Pasal 18 Undang-Undang No 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2021 tentang tindak pidana korupsi, serta Pasal 55 ayat 1 KUHAP. LR saat ini ditahan di Rutan Kelas 1 Surabaya cabang Kejati Jatim.
Skandal Suap Hakim PN Jakarta Barat
Kemudian ada skandal suap Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Barat Dede Suryaman. Dia dipecat sesuai keputusan Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY).
Pemecatan itu dilakukan dalam sidang Majelis Kehormatan Hakim (MKH) di gedung MA, Jalan Medan Merdeka Utara, Gambir, Jakpus, pada Rabu (9/8/2023). Sidang dipimpin oleh ketua majelis hakim Mahkamah Agung Desnayeti.
Dede dipecat karena menerima suap untuk meringankan vonis hukuman dalam perkara tindak pidana korupsi (tipikor) jembatan Brawijaya Kediri.
Dede Suryaman terbukti telah melanggar kode etik dan perilaku hakim lantaran menerima suap sebesar Rp300 juta untuk meringankan putusan terdakwa korupsi.
Angka tersebut, kemudian dibagi dengan Hakim Adhoc Emma Ellyani dan Kusdarwanto masing-masing Rp100 juta. Dede lalu memberikan Rp30 juta dari bagiannya untuk Panitera Pengganti Hamdan.
Kasus suap ini bermula ketika mantan Wali Kota Kediri, Samsul Ashar terbukti korupsi pembangunan proyek jembatan Brawijaya pada Agustus 2022 lalu. Samsul Ashar pun dituntut 12 tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Namun, dia hanya hanya divonis Rp 4,5 tahun oleh hakim Pengadilan Negeri (PN) Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Surabaya. Setelah diusut ternyata ada kongkalikong untuk meringankan hukuman Samsul Anhar. Mulanya, panitera pengganti PN Surabaya Moch Hamdan menjadi terdakwa dalam kasus ini. Kemudian, Dede Suryaman menjadi saksi dan mengakui telah menerima Rp 300 juta yang kemudian dibagi-bagi kepada hakim ad hoc PN Surabaya Kusdarwanto dan Emma Ellyani masing-masing Rp 100 juta serta Hamdan Rp 30 juta
Kasus dugaan suap Dede Suryaman terungkap dalam persidangan hakim PN Surabaya nonaktif, Itong Isnaeni Hidayat (IIH) atas kasus suap terkait kepengurusan perkara yang sedang berproses di PN Surabaya, Jawa Timur. Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), memanggil hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Barat atas nama Dede Suryaman.
Samsul Ashar diketahui memberikan sejumlah uang kepada Dede Suryaman untuk membantu penanganan perkara korupsi yang menjeratnya. Dede diyakini bisa membantu mengurangi hukuman yang tengah disidangkan Pengadilan Negeri Surabaya.

Kasus Suap Hakim Gazalba Saleh
Kasus ini berawal dari pengurusan perkara kasasi mengenai limbah B3 yang dilakukan tanpa izin di Mahkamah Agung. Gazalba, bersama dengan pengacaranya, Ahmad Riyad, diduga menerima gratifikasi sebesar Rp650 juta, di mana Rp500 juta di antaranya diterima langsung oleh Gazalba. Uang tersebut kemudian digunakan untuk berbagai transaksi keuangan yang mencurigakan, termasuk pembelian aset-aset mewah seperti rumah dan kendaraan. Jaksa menilai tindakan ini termasuk dalam kategori pencucian uang yang melanggar Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010.
Proses pengungkapan kasus ini dimulai dengan penyelidikan yang dilakukan oleh KPK pada bulan Maret 2023. Selama penyelidikan, ditemukan bukti adanya aliran dana yang sangat besar dengan sumber yang tidak dapat dijelaskan. Bukti-bukti tersebut diperkuat dengan dokumen transaksi dan kesaksian dari beberapa pihak yang terlibat. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat praktik korupsi yang sistematis yang perlu diusut tuntas oleh pihak berwenang.
Sebelum keputusan banding diambil, Pengadilan Tipikor telah menjatuhkan hukuman penjara selama 10 tahun kepada Gazalba. Selain itu, ia juga dikenakan denda sebesar Rp500 juta yang dapat diganti dengan penjara selama empat bulan. Hukuman ini dianggap lebih ringan dibandingkan dengan tuntutan yang diajukan oleh jaksa, yang meminta agar Gazalba dihukum selama 15 tahun penjara.
Pada sidang pertama, hakim tidak memutuskan untuk memberikan hukuman berupa uang pengganti, karena dinilai tidak ada kerugian negara yang nyata. Namun, pandangan majelis hakim di tingkat banding berbeda, dan mereka memutuskan untuk menambahkan hukuman berupa uang pengganti.
Vonis awal yang dijatuhkan kepada Gazalba memicu reaksi dari berbagai kalangan, yang beranggapan bahwa hukuman tersebut terlalu ringan mengingat posisinya sebagai seorang hakim agung. Oleh karena itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memutuskan untuk mengajukan banding. Hasil dari banding tersebut adalah vonis yang lebih berat, mencerminkan keseriusan kasus ini dan harapan untuk keadilan yang lebih baik.
Dalam proses penyelidikan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berhasil menyita berbagai barang bukti, yang mencakup uang tunai, kendaraan mewah, serta properti. Beberapa barang yang disita antara lain adalah sebuah Toyota Alphard, sebuah rumah yang terletak di Sedayu City, dan sebidang tanah di Bogor.
Secara keseluruhan, nilai aset yang disita mencapai Rp62,89 miliar. Diduga, dana ini berasal dari gratifikasi dan praktik pencucian uang yang dilakukan oleh Gazalba sejak tahun 2020 hingga 2022. Transaksi yang terlibat mencakup penukaran mata uang asing dan pelunasan kredit untuk rumah. "Barang bukti ini menunjukkan pola aliran dana yang terstruktur dan sistematis," kata jaksa KPK dalam persidangan.
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta telah memutuskan untuk memperberat hukuman terhadap Hakim Agung nonaktif, Gazalba Saleh, dengan menjatuhkan vonis penjara selama 12 tahun. Selain menjalani hukuman penjara, Gazalba juga diwajibkan untuk membayar denda serta uang pengganti, karena terbukti terlibat dalam kasus gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Keputusan ini merupakan lanjutan dari vonis sebelumnya yang lebih ringan.
Majelis hakim PT DKI Jakarta mengambil keputusan ini setelah menemukan bukti tambahan yang memperkuat dakwaan dari pihak jaksa. Kasus ini berawal dari dugaan penerimaan gratifikasi dan pencucian uang yang melibatkan Gazalba dalam penanganan perkara di Mahkamah Agung.
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta telah memutuskan untuk memperberat hukuman Gazalba Saleh menjadi 12 tahun penjara. Keputusan tersebut dibacakan pada tanggal 16 Desember 2024 oleh majelis hakim yang dipimpin oleh Teguh Harianto. Selain hukuman penjara, Gazalba juga dikenakan denda sebesar Rp500 juta, yang jika tidak dibayar akan diubah menjadi hukuman penjara selama empat bulan.
Majelis hakim menambahkan bahwa Gazalba diwajibkan membayar pidana uang pengganti sebesar Rp500 juta. Apabila dalam waktu satu bulan setelah putusan inkrah denda tersebut tidak dibayar, harta benda milik Gazalba akan disita dan dilelang. Jika nilai harta tidak mencukupi untuk membayar denda, maka hukuman penjara tambahan selama dua tahun akan dijatuhkan.
Hakim menyatakan bahwa hukuman ini bertujuan untuk memberikan efek jera, mengingat posisi Gazalba sebagai pejabat tinggi yang seharusnya menjaga integritas.
"Terdakwa telah mencoreng nama baik Mahkamah Agung dan merusak kepercayaan publik," ungkap hakim dalam sidang, sebagaimana dikutip Merdeka.com dari Liputan6.com pada Kamis (26/12/2024).
Artikel ini ditulis oleh

A
Reporter
- Alma Fikhasari
- Muhamad Agil Aliansyah

Teka Teki Sosok Wanita Ikut Dibawa Saat OTT Tiga Hakim PN Surabaya
Tim dari Kejagung juga membawa seorang wanita dan satu kotak peti plastik yang diduga merupakan sejumlah barang bukti.

Tiga Hakim yang Vonis Bebas Ronald Tannur Ditahan 14 Hari di Ruang Isolasi Rutan
Ketiga hakim itu, akan ditahan selama 20 hari ke depan bersama dengan 43 tahanan lain yang ada di Rutan tersebut.

Ketiga hakim ditengarai menerima suap untuk memberi vonis bebas tersangka kasus korupsi proyek minyak mentah.



Sepak Terjang Tiga Hakim Pemberi Vonis Bebas Ronald Tannur Sebelum Ditangkap Kejagung
Ketiga hakim itu ditangkap tim dari Kejaksaan Agung (Kejagung) lantaran diduga menerima suap atas vonis bebas Ronald Tannur.

KPK Laporkan Hakim Fahzal Hendrik Cs ke KY dan Badan Pengawas MA, Kenapa?
Ketiga hakim yang menangani perkara Gazalba, yakni Hakim Fahzal Hendrik, Hakim Rianto Adam Pontoh dan hakim Sukartono.

Kilas Balik Kasus Ronald Tannur Berujung Hakim Pemberi Vonis Bebas Ditangkap Kejagung
Komisis Yudisial (KY) merekomendasi pemberian sanksi pemberhentian tetap dengan hak pensiun kepada tiga hakim tersebut.