Di tengah gempuran makanan modern berbahan olahan instan, umbi-umbian lokal perlahan mulai kehilangan tempatnya, terutama di kalangan anak-anak. Padahal, Indonesia menyimpan kekayaan sumber daya genetik tanaman yang luar biasa, termasuk berbagai jenis umbi minor seperti ganyong, garut, gembili, gadung, uwi, dan suweg. Keberadaannya kini semakin terpinggirkan, tidak hanya karena kalah pamor dari makanan cepat saji, tetapi juga akibat minimnya strategi pelestarian yang adaptif terhadap zaman.
Sebuah gagasan segar muncul dari Program Kemitraan Masyarakat yang bekerjasama dengan petani dan mitra UMKM kue (Sameera’s cake and snack) menjadikan umbi-umbian minor menjadi makanan yang lebih modern. Sebuah ide sederhana namun sangat visioner dari Wiwit Probowati dosen prodi Bioteknologi UNISA Yogyakarta dan Silvi Lailatul Mahfida dosen prodi Gizi UNISA berkolaborasi dalam Program Kemitraan Masyarakat Kemendikti Saintek pada September 2025. Melalui pendekatan kuliner yang menyenangkan, strategi ini menyatukan dua tujuan besar—mengenalkan kembali kekayaan pangan lokal kepada generasi muda, sekaligus melestarikan sumber daya genetik tanaman dari ancaman kepunahan.
Ganyong: Si Kaya Gizi yang Terlupakan
Umbi-umbian minor merupakan kelompok tanaman yang selama ini kurang mendapat perhatian, baik dalam sistem pangan maupun kebijakan pertanian. Padahal, selain memiliki nilai gizi tinggi, banyak di antara umbi ini mampu tumbuh di lahan marginal, tahan terhadap perubahan iklim, dan tidak membutuhkan perawatan intensif. Artinya, secara ekologis dan ekonomis, tanaman-tanaman ini sangat potensial dikembangkan, khususnya di daerah pedesaan seperti Sleman.
Sayangnya, generasi muda saat ini hampir tak mengenal nama-nama seperti gembili atau uwi. Jangankan rasa dan manfaatnya, bentuk tanamannya pun mungkin belum pernah mereka lihat. Tanpa usaha pelestarian aktif, bukan tidak mungkin keberagaman genetik ini akan hilang, bersama dengan potensi kuliner dan budayanya. Hasil riset sebelumnya yang dilakukan oleh Wiwit Probowati pada tahun 2024 salah satu umbi-umbian minor yang keberadaannya melimpah di Kabupaten Sleman yaitu umbi ganyong.
Kuliner sebagai Sarana Pelestarian Genetik
Pelestarian sumber daya genetik tidak hanya dilakukan di laboratorium atau bank gen. Salah satu cara terbaik menjaga eksistensi varietas tanaman adalah dengan memanfaatkannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan menjadikan umbi minor sebagai bagian dari menu harian, maka akan ada permintaan yang konsisten dari pasar, yang pada akhirnya mendorong petani untuk tetap menanam dan membudidayakannya.
Pola pikir inilah yang menjadi kekuatan strategi bagi mitra UMKM. Ketika jajanan berbasis umbi minor dikembangkan sebagai produk UMKM atau kegiatan sekolah, maka keberlanjutan tanaman tersebut secara otomatis akan terjaga. Ini bukan hanya soal makanan, tetapi juga soal mempertahankan warisan hayati dan budaya yang telah ada sejak ratusan tahun lalu.
Tantangan dan Harapan
Tentu saja strategi ini tidak lepas dari tantangan. Masih banyak persepsi negatif terhadap umbi-umbian sebagai "makanan orang desa" atau "pangan zaman susah". Selain itu, keterbatasan pasokan dan pengetahuan pengolahan juga menjadi hambatan dalam skala produksi yang lebih besar.
Namun dengan kolaborasi yang kuat antara masyarakat, pemerintah daerah, akademisi, dan komunitas perempuan seperti ‘Aisyiyah, tantangan ini bisa diatasi. Edukasi publik perlu digencarkan, khususnya melalui kegiatan sekolah, pasar kuliner lokal, dan media sosial. Pemerintah juga perlu mendukung lewat kebijakan yang berpihak pada pelestarian tanaman lokal serta pendampingan teknis untuk UMKM berbasis pangan lokal.
Menu Jajanan, Menu Masa Depan
Apa yang dilakukan oleh Mitra bukan hanya sekadar variasi makanan anak-anak. Ini adalah bentuk nyata dari diversifikasi pangan lokal untuk mewujudkan ketahanan pangan . Di tengah arus globalisasi dan komersialisasi makanan, keberanian untuk tetap berpijak pada kearifan lokal adalah langkah revolusioner.
Melalui jajanan yang ramah anak, sehat, dan berbasis lokal, kita sedang menanam benih kesadaran akan pentingnya menjaga biodiversitas, ketahanan pangan, dan identitas budaya. Jika hari ini anak-anak belajar menyukai uwi dalam bentuk donat, maka kelak mereka akan menjadi generasi yang menghargai keberagaman hayati dan bangga akan kekayaan kuliner bangsanya.
Langkah kecil ini bisa jadi bola salju perubahan. Karena pelestarian tidak selalu harus dimulai dari laboratorium. Kadang, ia cukup dimulai dari dapur rumah, dari meja makan sekolah, atau dari tangan kecil anak-anak yang tengah menikmati kue bolu uwi buatan ibu mereka.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News