Hong Kong (ANTARA) - Bagi Guo Pei, perancang busana asal China, koleksi busana Musim Gugur/Musim Dingin atau Resor miliknya tidak sebanyak "koleksi museum", seperti yang saat ini dipamerkannya di museum budaya visual M+ di Hong Kong.
"Tujuan saya adalah menciptakan busana yang layak disimpan di museum," ujar Guo sembari duduk hanya beberapa meter dari "The Yellow Queen" (Ratu Kuning), gaun kuning bersulam sutra lengkap dengan hiasan bulu rubah yang mewah dan ekor sepanjang 4 meter.
Pada 2015, ikon pop Amerika Serikat, Rihanna, menghebohkan dunia maya dengan foto dan meme yang menampilkan dirinya mengenakan gaun itu di karpet merah ajang Met Gala.
Saat Guo menyelesaikan gaun itu pada 2009, yang ada di benaknya bukanlah siapa yang akan mengenakan gaun itu, melainkan hasrat untuk mengekspresikan gagasannya perihal kecantikan abadi, seperti yang dituangkannya dalam lebih dari 40 karya yang dipajang di pameran "Guo Pei: Fashioning Imagination" di M+ hingga 6 April mendatang.
Lahir pada 1967 di Beijing, Guo beralih dari perancang busana siap pakai yang sukses di pasar massal menjadi pemilik rumah mode Rose Studio pada 1997, dan menggelar 10 peragaan adibusana di Paris Fashion Week atas undangan Federation de la Haute Couture et de la Mode, badan pengelola industri fesyen Prancis.
Guo tampak sangat mungil saat berdiri di samping karya-karyanya, yang memancarkan keagungan lewat strukturnya yang menjulang tinggi atau pengerjaannya yang rumit, atau keduanya. Busana rancangan Guo mengungkapkan dunia batinnya yang begitu ekspresif.
"Hasrat saya untuk berkarya kadang terlalu kuat bagi keterampilan saya yang terbatas," tutur Guo. Banyak gaun rancangannya terkenal karena memerlukan waktu pengerjaan yang sangat lama. Guo mengatakan bahwa studionya menghabiskan waktu 50.000 jam untuk membuat karya adibusana pertamanya "Da Jin", atau Emas yang Luar Biasa, karena berulang kali mengerjakan kembali detailnya demi mewujudkan visinya dengan sempurna.
Gaun tanpa tali bahu yang menyerupai bentuk bunga teratai terbalik itu memiliki sentuhan akhir emas metalik karena seluruh permukaannya disulam dengan benang emas India menggunakan berbagai teknik tradisional China, seperti couching stitch.
Bagi Guo, elemen budaya China sudah seperti "bahasa ibu" baginya. "Saya tidak bisa mengekspresikan diri saya melalui cara lain selain bahasa ibu saya," tuturnya. Guo ingin meninggalkan warisannya sendiri dengan membuat karya-karya tersebut menggunakan material yang terbaik.
Untuk karya "Lanfeng", atau Phoenix Biru, Guo mengambil sampel lebih dari 1.000 kristal bergradasi biru guna memilih satu di antaranya yang akan digunakan sebagai manik-manik.
Dia membuat rok "The Gold Boat" (Perahu Emas) menggunakan teknik anyaman bambu tradisional dan berkolaborasi dengan para perajin dari Provinsi Anhui, China timur, daerah yang terkenal atas produksi dan penganyaman bambu.
Segenap hati dan jiwa yang dicurahkan Guo ke dalam karyanya menjadikannya mustahil menentukan harga untuk karya-karya tersebut. Dia pernah menolak tawaran senilai 5 juta yuan atau sekitar 683.000 dolar AS untuk "Da Jin", kendati dia dapat menggunakan uang itu untuk membeli beberapa unit kondominium di Beijing saat itu
Sejak saat itu, Guo memilah antara barang dagangan dan karya seni. Karya adibusana yang dibuatnya untuk museum merupakan karya seni, sementara pakaian yang dirancang khusus untuk klien merupakan produk dagangan.
"Saya tidak akan pernah menjual karya seni saya, karena mereka tidak ternilai harganya," ujar Guo. Untuk mendanai pembuatan karya seninya, Guo harus mencurahkan sebagian besar energinya dalam membuat dan menjual produk. Perbedaan itu membantu Guo dalam membagi fokusnya. Saat tidak membuat produk untuk dijual, dia membuat sketsa desain baru untuk diwujudkan menjadi benda pameran di museum.
Guo telah menyimpan lebih dari 1.500 karya seni ciptaannya selama bertahun-tahun, dan telah memutuskan bahwa dia pada akhirnya akan menyumbangkan karya seni itu ke museum-museum di seluruh dunia.
"Saya berharap cahaya yang dipancarkan karya seni itu akan menjangkau generasi mendatang," tutur Guo.
Pewarta: Xinhua
Editor: Junaydi Suswanto
Copyright © ANTARA 2025