Disnaker DIY Sebut Kasus PHK Paling Banyak Terjadi di Sleman

10 hours ago 3

Harianjogja.com, JOGJA—Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) DIY mencatat jumlah pemutusan hubungan kerja (PHK) di provinsi ini mencapai 2.495 kasus selama semester pertama 2025, dengan Sleman menjadi wilayah penyumbang terbanyak.

BACA JUGA: 2.495 Pekerja di DIY Terkena PHK 

"Laporan dari kabupaten/kota jumlahnya mencapai 2.495. Yang paling banyak itu Sleman," ujar Kepala Bidang Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Disnakertrans DIY R. Darmawan, Selasa (15/7/2025).

Dari 2.495 kasus PHK, dia mencatat sebanyak 1.940 terjadi di Sleman, disusul Bantul dengan 360 kasus, dan Kota Jogja 123 kasus. Sementara itu, di Kulon Progo tercatat 32 kasus, Gunungkidul 29 kasus, dan sisanya 11 kasus ditangani langsung oleh Disnakertrans DIY.

"Yang paling terdampak itu sektor garmen. Karena ada kebakaran, juga karena ekspornya turun tajam, akhirnya perusahaan tidak mampu membayar dan melakukan PHK," ujarnya.

Ia menjelaskan data tersebut merupakan hasil kompilasi dari para mediator ketenagakerjaan di kabupaten/kota yang dibahas dalam rapat koordinasi terakhir pada awal Juli 2025.

Darmawan menyebut angka itu belum termasuk pembaruan data resmi yang masih dalam proses rekap dari masing-masing daerah.

Dia menuturkan Disnakertrans DIY menangani kasus lintas perusahaan atau lintas kabupaten/kota, sementara PHK di satu wilayah ditangani langsung oleh mediator kabupaten/kota.

"Data yang kami kumpulkan berasal dari mediator-mediator itu. Tapi, kami juga tetap hati-hati menyampaikan detail perusahaan yang terdampak, karena kami menjaga nama baik dan ada proses yang masih berjalan," ucap Darmawan.

Kepala Disnakertrans DIY Aria Nugrahadi menyatakan bahwa PHK merupakan langkah terakhir yang tidak diinginkan semua pihak, baik pekerja, perusahaan, maupun pemerintah.

Jika PHK harus dilakukan, perusahaan wajib mematuhi seluruh aturan ketenagakerjaan.

"Terjadinya PHK itu tidak diinginkan oleh perusahaan, tenaga kerja, maupun pemerintah. Maka, PHK itu harus menjadi opsi terakhir. Kalau itu terpaksa dilakukan, harus sesuai norma, termasuk hak-haknya, seperti pesangon, jaminan kehilangan pekerjaan (JKP), jaminan hari tua (JHT), dan lainnya," ujar Aria.

Aria menambahkan korban PHK dapat memanfaatkan program JKP dari pemerintah pusat, termasuk fasilitas pelatihan peningkatan kapasitas yang bisa diakses melalui balai latihan kerja (BLK).

"Program ini membantu agar korban PHK bisa meningkatkan keterampilannya dan kembali masuk pasar kerja. Kami mendukung pelaksanaannya melalui kerja sama dengan BLK," kata dia.

Untuk menjaga akurasi data, menurut Aria, Disnakertrans DIY menggelar rapat koordinasi dengan kabupaten/kota setiap bulan. Pelaporan PHK berada di tangan pemerintah daerah, sedangkan Disnakertrans berfungsi sebagai koordinator.

"Setiap bulan kami lakukan pertemuan dengan kabupaten/kota. Tapi, pelaporan awal tetap dari mereka, karena mereka yang menangani langsung proses mediasi," ujarnya.

Pada kesempatan itu, Aria menilai perlunya pembenahan dalam penyelenggaraan job fair oleh kabupaten/kota.

Menurut dia, job fair tidak cukup hanya bersifat seremonial, tapi harus dirancang berdasarkan pemetaan kebutuhan sektor kerja.

"Pra-job fair itu penting. Harus ada sinkronisasi antara kebutuhan dunia usaha dan kompetensi pencari kerja. Setiap pelaksanaan job fair juga harus dievaluasi agar hasilnya terukur, bukan sekadar terlaksana," ujar Aria.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : Antara

Read Entire Article
Ekonomi | Politic | Hukum | Kriminal | Literatur | SepakBola | Bulu Tangkis | Fashion | Hiburan |