30.000 Pekerja Terkena PHK hingga Juni 2025, Begini Langkah Pemerintah

8 hours ago 5

Harianjogja, JAKARTA — Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) melaporkan jumlah pekerja yang menjadi korban PHK terus mengalami peningkatan sejak Januari hingga awal Juni 2025.

Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Kemnaker, Indah Anggoro Putri menyampaikan hingga pekan pertama Juni 2025, sekitar 30.000 pekerja terkena PHK.

Angka tersebut meningkat jika dibandingkan laporan pada 23 April 2025 yakni 24.036 pekerja yang jadi korban PHK, dan dibandingkan pada 20 Mei 2025 yaitu 26.455 pekerja yang menjadi korban PHK.

“Sekitar 30.000-an [pekerja ter-PHK] per akhir Mei sampai minggu pertama Juni [2025],” kata Indah ketika ditemui di Kantor Kemnaker, Jakarta, Selasa (24/6/2025).

Kendati begitu, Indah tidak memerinci lebih jauh provinsi dengan kasus PHK tertinggi dalam rentang periode tersebut. Selain itu, dia juga tidak memerinci sektor mana yang paling banyak merumahkan pekerja sepanjang akhir Mei hingga Juni 2025.

Dalam catatan Bisnis, Kemnaker sebelumnya mencatat setidaknya 26.455 orang ter-PHK hingga 20 Mei 2025. Korban PHK paling banyak terjadi di Jawa Tengah yakni sebanyak 10.695 orang sepanjang Januari-Mei 2025.

Indah menyebut bahwa kasus PHK paling banyak terjadi di sektor pengolahan, perdagangan besar eceran, dan jasa.

Sementara itu, jika dibandingkan data per Januari 2025, jumlah korban PHK pada awal Juni 2025 ini meningkat cukup signifikan. Dari yang semula berjumlah 3.325 pekerja menjadi 30.000 pekerja.

PHK Massal

Jumlah pekerja yang terdampak PHK Massal berisiko terus meningkat di tengah memanasnya konflik di Timur Tengah dan perang dagang.

Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli tak menampik bahwa kondisi geopolitik saat ini diperkirakan berdampak negatif terhadap industri berorientasi ekspor di Tanah Air.

BACA JUGA: Liburan Sekolah, Okupansi Hotel di Bantul Tembus 80 Persen

“Ini tentu harus kita monitor ya. Prediksi saya pribadi, tentu akan berdampak kepada industri-industri yang ekspor ke luar negeri karena kondisi geopolitik itu akan berdampak ke pertumbuhan ekonomi secara global,” kata Yassierli dalam konferensi pers di Kantor Kemnaker, Jakarta Selatan, Selasa (24/6/2025).

Yassierli mengatakan, pemerintah telah melakukan langkah antisipasi yang ditimbulkan dari kondisi geopolitik ini. Dia menyebut, pemerintah telah memiliki grand design untuk memitigasi terjadinya PHK massal.

Salah satunya, lewat program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Dia menjelaskan, pemerintah sejak awal tahun telah memastikan agar pekerja yang terdampak PHK mendapat manfaat lebih, seperti bantuan tunai, pelatihan, hingga informasi lowongan kerja.

Kemnaker juga telah menjalin koordinasi dan konsolidasi dengan Dinas Ketenagakerjaan di seluruh wilayah serta dengan lintas kementerian untuk memitigasi PHK.

“Jadi temanya sama, bagaimana kondisi geopolitik global ini harus kita respons bersama-sama. Karena ujungnya itu yang di hilir adalah Kementerian Ketenagakerjaan,” tuturnya.

Selain itu, kebijakan tarif impor tinggi yang diterapkan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump juga diperkirakan akan berdampak negatif terhadap sektor ketenagakerjaan di Indonesia.

Dalam proyeksi Center of Economic and Law Studies (Celios), setidaknya sebanyak 1,2 juta tenaga kerja di berbagai sektor yang berpotensi terdampak pemutusan hubungan kerja (PHK) lantaran kinerja ekspor Indonesia ke AS yang terancam turun signifikan.

Direktur Celios Nailul Huda mengatakan proyeksi tersebut dihitung berdasarkan cara perhitungan International Monetary Fund (IMF), di mana setiap kenaikan tarif impor sebesar 1% akan berdampak pada penurunan permintaan sebesar 0,8%.

“Dari perhitungan kami, penurunan ekspor ke AS diperkirakan mencapai 20%-24% per item barang. Akibatnya, sekitar 1,2 juta pekerja Indonesia berpotensi terkena PHK,” ujar Nailul kepada wartawan, dikutip Jumat (18/4/2025).

Salah satu sektor yang paling rentan terdampak adalah tekstil dan produk tekstil (TPT). Dia memperkirakan sekitar 191.000 tenaga kerja berisiko kehilangan pekerjaan.

Di sisi lain, Nailul menegaskan bahwa ancaman ini tidak hanya menyasar sektor formal. Sektor informal seperti petani yang menjadi pemasok bahan baku untuk industri makanan dan minuman juga diprediksi akan terdampak.

Selain itu, sektor kimia dasar dan industri minyak nabati, seperti Crude Palm Oil (CPO), termasuk yang berpotensi terkena imbas. Untuk sektor CPO sendiri, diperkirakan sekitar 28.000 tenaga kerja dapat terdampak PHK.

Nailul menjelaskan, kebijakan tarif Trump membuat harga barang Indonesia menjadi lebih mahal di pasar AS, sehingga permintaan menurun secara signifikan. Apalagi, Indonesia belum memiliki kesiapan untuk segera mengalihkan tujuan ekspor ke negara lain.

“Ketika permintaan menurun, produksi ikut ditekan. Perusahaan kemudian melakukan rasionalisasi produksi, yang pada akhirnya berdampak pada pengurangan tenaga kerja,” jelasnya.

Ekonom dari Universitas Paramadina Wijayanto Samirin menilai pemerintah perlu memperbaiki iklim usaha demi mengatasi maraknya PHK di Tanah Air. Menurutnya, pemerintah perlu memastikan kredit tersedia bagi dunia usaha.

“Perbaiki iklim usaha melalui deregulasi yang tuntas, mengatur dan membatasi membanjirnya produk impor, dan menekan underground economy dan menghentikan penyelundupan,” sambungnya.

Di samping itu, Wijayanto menambahkan bahwa pemerintah juga perlu memberikan insentif ekonomi, seperti diskon listrik yang perlu dijalankan pada kuartal III/2025. Menurutnya, insentif ini bisa memperbaiki daya beli masyarakat yang melemah.

Selain diskon listrik, menurutnya, pemerintah juga perlu membuat alokasi anggaran lebih untuk program yang mendorong penciptaan lapangan kerja, seperti proyek infrastruktur dan perumahan rakyat padat karya di bawah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan.

Satgas PHK

Fenomena PHK massal yang belakangan terjadi turut menjadi perhatian Presiden Prabowo Subianto. Pada peringatan Hari Buruh Internasional 2025, Prabowo di hadapan buruh menyatakan bahwa pemerintah akan membentuk Satuan Tugas (Satgas) PHK dan Dewan Kesejahteraan Buruh.

“Kami tidak akan membiarkan pekerja di-PHK seenaknya. Bila perlu, negara akan turun tangan,” kata Prabowo pada Kamis (1/5/2025).

Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi menyatakan pembentukan satuan tugas pemutusan hubungan kerja (Satgas PHK) tengah memasuki tahapan finalisasi dan akan segera meluncur. Prasetyo mengatakan Satgas PHK akan meluncur bersama dengan Dewan Kesejahteraan Nasional Buruh pada Juli 2025.

“Bulan depan, bulan depan [Juli] InsyaAllah selesai. Satgas PHK dengan Dewan Kesejahteraan Buruh [meluncur],” kata Prasetyo saat ditemui di Kantor Kemenko Pangan, Jakarta, Kamis (26/6/2025).

Nantinya, kata dia, pengurus Satgas PHK akan meluncur pada Juli 2025, atau bersamaan dengan peresmian Satgas PHK dan Dewan Kesejahteraan Buruh.

Respons Buruh

Sementara itu, kalangan buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) justru meminta Presiden Prabowo Subianto mengkaji ulang rencana pembentukan Satgas PHK dan Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional.

Presiden KSPN Ristadi menyampaikan, salah satu alasan KSPN meminta wacana tersebut dikaji ulang lantaran kehadiran Satgas PHK dan Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional dinilai sebagai bentuk ketidakpercayaan Kepala Negara terhadap Kemnaker dalam mengatasi polemik ketenagakerjaan di Indonesia.

“Secara tersirat, pembentukan Satgas PHK dan Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional akan mendelegitimasi sebagian fungsi-fungsi Kemnaker,” kata Ristadi dalam keterangannya, Senin (9/6/2025).

Alasan lainnya, yakni lembaga-lembaga yang ada seperti Lembaga Kerjasama Tripartit Nasional, Dewan Pengupahan Nasional, bahkan Komite Pengawas Ketenagakerjaan dinilai kurang efektif dalam menjalankan tugas dan fungsinya.

Padahal kata Ristadi, lembaga-lembaga ini berfungsi melakukan kajian-kajian aturan ketenagakerjaan seperti pengupahan, memberikan masukan kepada Presiden mengenai kebijakan ketenagakerjaan serta melakukan pengawasan efektivitas kerja pegawai pengawas ketenagakerjaan.

Untuk itu, demi mewujudkan niat Kepala Negara dalam mengatasi maraknya PHK, KSPN mengusulkan agar pemerintah mengefektifkan lembaga-lembaga ketenagakerjaan yang sudah ada seperti Lembaga Kerjasama Tripartit Nasional, Dewan Pengupahan Nasional, dan Komite Pengawas Ketenagakerjaan.

Menurutnya, apabila memungkinkan, Ristadi mengusulkan agar pemerintah memberikan fungsi dan tugas tambahan untuk mendukung niat Kepala Negara guna mengatasi kasus PHK di Tanah Air.

Selain itu, dia mendesak pemerintah untuk meningkatkan kinerja Kemnaker dalam melaksanakan program-program yang menyangkut kemampuan calon pekerja, menyiapkan lapangan kerja, melindungi pekerja selama dan sesudah bekerja, hingga meningkatkan kinerja pegawai pengawas.

“Kemudian lebih sering turun lapangan, kurangi diskusi-diskusi dan acara-acara seremonial yang tidak berdampak atasi masalah ketenagakerjaan,” usulnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : Bisnis.com

Read Entire Article
Ekonomi | Politic | Hukum | Kriminal | Literatur | SepakBola | Bulu Tangkis | Fashion | Hiburan |