10 kasus ancaman terhadap pers di dunia

3 days ago 8

Jakarta (ANTARA) - Kebebasan pers adalah pilar penting demokrasi dan hak asasi manusia yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Pers berperan sebagai penjaga nilai-nilai kebenaran, penyampai informasi kepada masyarakat, dan pengontrol kekuasaan agar tetap berada dalam koridor yang semestinya.

Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa perjuangan untuk mempertahankan kebebasan pers masih penuh dengan tantangan dan ancaman serius. Para jurnalis kerap menjadi korban penindasan, intimidasi, hingga kekerasan fisik hanya karena berani menyuarakan fakta yang dianggap mengganggu kepentingan kelompok berkuasa.

Pemerintah yang otoriter kerap kali membungkam suara kritis pers dengan dalih menjaga stabilitas negara. Hal ini mencerminkan adanya penyalahgunaan kekuasaan yang menodai nilai-nilai demokrasi.

Namun, di berbagai belahan dunia, para jurnalis masih menghadapi ancaman serius dalam menjalankan tugasnya untuk menyampaikan kebenaran kepada publik. Berikut adalah sepuluh kasus ancaman terhadap pers di dunia yang menunjukkan bahwa perjuangan untuk kebebasan pers masih panjang.

1. Ahmet Altan (Turki)

Ahmet Altan, seorang jurnalis senior Turki berusia 70 tahun, telah lebih dari 1.500 hari mendekam di penjara. Altan, mantan pemimpin redaksi surat kabar Taraf yang sudah ditutup, ditangkap sejak September 2016. Pada tahun 2018, pengadilan menghukumnya penjara seumur hidup yang kemudian diubah menjadi 10,5 tahun pada 2019. Ia dituduh “membantu organisasi teroris tanpa menjadi anggota” terkait dengan percobaan kudeta yang gagal pada tahun 2016.

2. Mahmoud Hussein Gomaa (Mesir)

Mahmoud Hussein Gomaa telah menjalani masa penahanan selama sembilan tahun sejak 2016. Gomaa, jurnalis Al-Jazeera, dituduh menyebarkan kekacauan melalui materi dokumenter tentang wajib militer di Mesir. Meski dijadwalkan bebas bersyarat pada pertengahan 2019, penahanannya terus diperpanjang dengan tuduhan baru.

3. Mohammad Mosaed (Iran)

Mohammad Mosaed, seorang jurnalis lepas Iran, dijatuhi hukuman hampir lima tahun penjara karena kritiknya terhadap pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19. Ia dituduh melakukan “kolusi melawan keamanan nasional” dan “menyebarkan propaganda melawan sistem.” Selain itu, ia juga dilarang melakukan aktivitas jurnalistik dan menggunakan perangkat komunikasi selama dua tahun.

4. Solafa Magdy (Mesir)

Solafa Magdy, seorang jurnalis lepas, mengalami pengabaian medis dan kondisi penjara yang tidak manusiawi selama masa penahanan praperadilannya. Ia ditahan sejak November 2019 karena meliput isu imigrasi dan hak asasi manusia di Kairo.

5. Zhang Zhan (Tiongkok)

Zhang Zhan, jurnalis independen yang melaporkan situasi Covid-19 di Wuhan, dipenjara dengan tuduhan “memicu pertengkaran dan memprovokasi masalah.” Zhang akhirnya melakukan mogok makan selama enam bulan sebagai bentuk protes terhadap penahanannya.

Baca juga: Legislator: Usut dugaan teror Tempo demi tegakkan kebebasan pers

6. Wan Noor Hayati Wan Alias (Malaysia)

Wan Noor Hayati menghadapi dakwaan hukum karena tiga unggahan Facebook terkait Covid-19 yang dianggap “menyebabkan ketakutan publik.” Ia diancam hukuman dua tahun penjara untuk setiap unggahannya dan kesulitan mendapatkan pekerjaan sebagai jurnalis lepas.

7. Hopewell Chin’ono (Zimbabwe)

Hopewell Chin’ono ditangkap karena melaporkan dugaan korupsi pengadaan Covid-19 di Kementerian Kesehatan Zimbabwe. Setelah dibebaskan dengan jaminan, ia kembali ditangkap dengan tuduhan “menghalangi keadilan” karena tweet-nya.

8. Bárbara Barbosa (Brasil)

Barbosa mengalami ancaman saat meliput pelanggaran aturan lockdown di Florianópolis. Selain itu, ada laporan bahwa kantor wali kota Rio de Janeiro membayar pegawai untuk memantau dan menghalangi kerja jurnalis.

9. Aleksandr Pichugin (Rusia)

Aleksandr Pichugin didenda $3.920 setelah dianggap menyebarkan informasi palsu terkait penanganan Covid-19 oleh Gereja Ortodoks Rusia. Ia sempat ditahan selama satu malam dan perangkat elektroniknya disita selama sebulan.

10. Gautam Navlakha (India)

Gautam Navlakha, aktivis HAM dan kolumnis, dituduh memiliki hubungan dengan militan Maois dan terlibat dalam konspirasi pembunuhan Perdana Menteri Narendra Modi.

Baca juga: Komisi III undang pers bahas aturan siaran dalam persidangan di RKUHAP

Demi kebebasan dan kebenaran

Kasus-kasus ini menjadi pengingat kuat bahwa kebebasan pers bukanlah sesuatu yang bisa diabaikan atau dianggap sepele. Di balik setiap berita yang beredar, ada keberanian para jurnalis yang rela mengambil risiko besar untuk menyampaikan fakta kepada publik.

Di Indonesia sendiri, kebebasan pers telah dijamin oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999, namun pada kenyataannya tantangan tetap ada, baik dalam bentuk tekanan politik, intimidasi, maupun ancaman fisik.

Semoga negara-negara di dunia semakin menyadari pentingnya melindungi jurnalis sebagai pilar demokrasi yang menjaga keseimbangan kekuasaan. Tidak ada lagi ruang bagi pembungkaman suara kritis atau penindasan terhadap mereka yang berjuang demi kebenaran. Jurnalisme sejatinya adalah simbol kejujuran dan keberanian yang seharusnya dihormati, bukan diberangus.

Atas nama kebebasan, atas nama masyarakat yang berhak mendapat informasi yang jujur dan akurat, setiap individu memiliki tanggung jawab untuk mendukung dan melindungi kebebasan pers.

Mari berdiri bersama para jurnalis yang berani menyuarakan kebenaran tanpa takut akan ancaman atau represi. Kebebasan pers adalah kebebasan semua masyarakat — untuk mengetahui, memahami, dan berpikir dengan bebas.

Baca juga: Anggota DPR: Perintah Kapolri usut teror ke Tempo jaga kebebasan pers

Baca juga: Komisi I DPR pastikan RUU Penyiaran tak ganggu kebebasan pers

Pewarta: Raihan Fadilah
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Ekonomi | Politic | Hukum | Kriminal | Literatur | SepakBola | Bulu Tangkis | Fashion | Hiburan |