Sosok Jadul Maula, Tokoh Penyelaras Islam dengan Seni Budaya

1 day ago 4

Sosok Jadul Maula, Tokoh Penyelaras Islam dengan Seni Budaya Muhammad Jadul Maula di Pesantren Budaya Kali Opak. Harian Jogja - Sirojul Khafid.

Harianjogja.com, JOGJA—Muhammad Jadul Maula mencoba menyelaraskan Islam dengan seni dan budaya. Melalui Pesantren Budaya Kali Opak, masyarakat bisa merasakan perpaduan kedua hal tersebut, yang sebenarnya sudah berlangsung sejak awal penyebaran Islam di Indonesia.

Di luar Bulan Ramadan, anak-anak muda yang berkegiatan di Pesantren Budaya Kali Opak kebanyakan dari santri internal. Tetap ada pelajar dari luar pesantren, namun jumlahnya sedikit. Khusus di Bulan Ramadan, pesantren yang berada di Menguten, Srimulyo, Piyungan, Bantul itu terbuka untuk umum.

Bagi yang tidak berkesempatan mengaji secara luring, ada fasilitas daring. Kajiannya beragam, misalnya tentang Aswaja an-Nahdliyah dengan Peradaban Iran, negara yang terkenal dengan penerapan faham Syiah.

Pernah juga misalnya, materi yang disampaikan tentang perbandingan Aswaja dengan peradaban negara-negara Barat, Rusia, sampai Tiongkok.

Pengasuh Pesantren Budaya Kali Opak, Muhammad Jadul Maula, mengatakan kajian dengan tema-tema yang beragam, sebagai cara belajar karakter manusia di negara-negara besar dan maju. Dia menggelar diskusi tentang karakter yang sekiranya bisa menjawab perkembangan peradaban saat ini.

BACA JUGA: Jadwal Terbaru KRL Jogja-Solo Juni 2025: Stasiun Tugu, Lempuyangan, Maguwo, Ceper, Srowot, Klaten Delanggu hingga Palur

“Tokoh-tokoh Aswaja, seperti Ghazali dan lainnya, juga berdialog dengan perabadan-peradaban besar, wataknya kosmopolitan. Kami ingin belajar dari para pendiri perabadan. Kembali membuka bagaimana pembentukan paham Aswaja yang tidak terlepas dari konteks peradaban yang sedang dominan di dunia itu,” kata Jadul, beberapa waktu lalu.

Di sisi lain, berkembangnya peradaban Barat dan negara-negara besar lain juga sebagian berasal dari sumbangan Islam. Sebut saja Ibnu Sina dengan ilmu kedokterannya sampai Al-Khawarizmi dengan algoritmanya. Sehingga banyak keterkaitan.

Memulai Pesantren Budaya

Pembahasan-pembahasan ini baru satu dari sekian banyak materi yang ada di Pesantren Budaya Kali Opak. Sebelum terkenal sebagai pesantren budaya, pendirian tempat ini memiliki cerita yang cukup panjang. Saat itu, Jadul menjabat sebagai Ketua Yayasan Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS).

Setelah menjadi lembaga swadaya masyarakat, LKiS sering berkeliling dari satu pesantren ke pesantren lain di Indonesia. Agendanya diskusi sampai pelatihan tentang banyak hal, mulai dari hak asasi manusia, toleransi, hingga demokrasi. Banyak yang menyambut baik, namun ada pula yang menolak. Para penolak itu, lanjut Jadul, beranggapan apabila mengajarkan demokrasi di pesantren sama halnya buang air besar di masjid.

Kejadian ini tidak berselang lama saat LKiS mendapat tawaran untuk membeli tanah yang berada di wilayah Menguten, Srimulyo. Jadul mengatakan apabila tidak bisa memberikan pelatihan di pesantren-pesantren dengan ideologinya, kenapa tidak membuat sendiri ruangnya? Maka muncullah Pesantren Budaya Kali Opak ini.

Jadul merasa kehidupan umat Islam dekat dengan kesenian dan kebudayaan. Di pesantren, banyak pelajaran yang disampaikan melalui nadhoman, yang sama dengan puisi.

Santri yang belajar silat, lanjutnya, sama dengan seni gerak tubuh. Belum lagi hadroh sebagai seni suara.

“Semua seni. Sejarah dakwah para Wali Songo menggunakan wayang kulit, ciptakan gamelan orkestra, wayang juga ada seni rupanya, musiknya seni suara, narasinya ada sastra,” kata laki-laki berusia 55 tahun ini.

Kesulitan Mencari Kiai

Pendirian pesantren ini sempat ‘terkendala’. Jadul tidak menemukan kyai yang bisa menjadi pengasuh pesantren. Akhirnya Jadul yang menjaga tempat ini. Meski tidak ada ‘kiai’ yang bisa mengasuh, Pesantren Budaya Kali Opak tetap didirikan.

Ini sebagai cara mencari berkah dari tempat yang dulu di sekitarnya menjadi petilasan Sunan Kalijaga. Jadul bercerita, dahulu di sekitar tempat ini banyak pondok yang juga diasuh oleh murid Sunan Kalijaga. Bahkan Sultan Agung sempat belajar di salah satunya.

Pembangunan selesai sekitar tahun 2009. Saat tanggal 30 Desember malam akan ada peresmian, sorenya ada kabar apabila Gus Dur meninggal dunia. Acara peresmian pesantren berubah menjadi doa dan tahlilan untuk Gus Dur. Jadul juga menganggap hal ini sebagai momentum, untuk menjaga semangat Gus Dur yang juga punya perhatian pada seni dan budaya.

BACA JUGA: Jadwal Terbaru KRL Solo-Jogja Juni 2025: Dari Stasiun Palur, Jebres, Balapan, Purwosari hingga Ceper Klaten

Dalam perkembangannya, banyak acara seni budaya yang terselenggara di Pesantren Budaya Kali Opak. Santrinya juga berasal dari latar belakang seni. Santri yang tinggal di pesanten sekitar sepuluh orang. Namun saat ada kegiatan, banyak yang kemudian bergabung. Pesantren ini berbasis komunitas.

“Di sini ada banyak ruangan untuk mengapresiasi segala bentuk seni. Saling belajar, bagaimana hobi atau minat pada seni tetap tumbuh, tapi sekarang diberi sentuhan religiusitas,” kata Jadul, yang juga Ketua Lembaga Seniman dan Budayawan Muslimin Indonesia atau Lesbumi.

Seperti Malin Kundang

Jadul Maula mengambil contoh ada suatu sekolah seni. Di sekolah itu, seni diajarkan sebagai teknik, sebagai ekspresi, kadang juga masuk ke ranah bisnis. Dimensi nilai-nilai dan norma-norma di dalam seni justru kadang tidak dibicarakan.

Di pesantren Budaya Kali Opak, lanjut Jadul, ada diskusi apabila seni berkaitan dengan keagamaan. Wayang tidak semata-semata medium penyampaian dakwah Islam dalam bentuk seni, tapi ada filosofinya juga. Misalnya filosofi tentang pembentukan manusia dan lainnya. Sehingga diskusi akan semakin berkembang.

Lantaran menjadi pesantren yang sering mengadakan kegiatan seni budaya, Jadul mengatakan akhirnya Pesantren Budaya Kali Opak menjadi wadah bagi banyak seniman. Kegiatan yang susah diadakan di pesantren lain, akan banyak mampir ke tempat ini.

BACA JUGA: Jadwal dan Tarif Terbaru Bus Sinar Jaya Rute Malioboro ke Parangtritis Bulan Juni 2025

“Sejarah dakwah Islam itu kesenian, kalau meninggalkan seni seperti Malin Kundang, mengingkari ibunya sendiri. Jadi ajaran Islam menyebar itu ketika pendekatannya melalui kesenian, sehingga masyarakat enggak terasing, tanpa terasa [sembari] menginternalisasi nilai-nilai Islam,” kata Jadul lulusan Sastra dan Bahasa Arab UIN Sunan Kalijaga.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Read Entire Article
Ekonomi | Politic | Hukum | Kriminal | Literatur | SepakBola | Bulu Tangkis | Fashion | Hiburan |