Di tengah derasnya transformasi digital, pinjaman online atau pinjol menjelma sebagai jalan keluar instan bagi masyarakat yang dihimpit kebutuhan ekonomi. Tidak perlu jaminan, tidak perlu ke bank, cukup dengan unggahan KTP dan foto selfie, dana cair dalam waktu singkat.
Namun di balik proses yang serba mudah itu, banyak yang tidak menyadari bahwa mereka tengah melangkah ke dalam lingkaran utang yang tak berujung, dan sering kali menimbulkan luka yang lebih dalam dari sekadar beban finansial.
Hingga pertengahan tahun 2025, secara resmi terdapat 97 platform pinjol berizin di Indonesia menurut OJK. Akan tetapi, jumlah platform ilegal jauh lebih banyak dan diperkirakan ada ribuan yang masih aktif. Ini menandakan pasar pinjol masih memprihatinkan.
BACA JUGA: Credit Scoring Berpengaruh pada Masa Depan Mahasiswa
Layanan pinjol yang seharusnya memudahkan justru menjadi sumber keputusasaan bagi sebagian orang. Banyak di antaranya berasal dari kelompok ekonomi rentan seperti pekerja harian, ibu rumah tangga, bahkan pelajar dan mahasiswa meminjam dana bukan untuk konsumsi mewah, melainkan untuk bertahan hidup.
Permasalahan pinjol menimbulkan tekanan psikologis serius seperti stress, kecemasan, depresi, hingga keinginan bunuh diri. Menurut laporan LBH Jakarta dan pemberitaan Tirto.id (2024), setidaknya terdapat 11 kasus bunuh diri yang terkait langsung dengan tekanan utang pinjol. Angka ini belum termasuk kasus tragis lain seperti menjual anak, mencuri, hingga kekerasan dalam rumah tangga yang dipicu oleh beban pinjaman online.
Kasus-kasus ini memperlihatkan bahwa sistem yang dijalankan oleh banyak perusahaan pinjol telah melukai banyak pihak. Model bisnis yang mengandalkan bunga tinggi dan penalti berlapis nyatanya mendorong peminjam untuk gagal bayar. Bahkan dalam platform yang terdaftar resmi di Otoritas Jasa Keuangan (OJK), praktik semacam ini tetap berlangsung dengan pengawasan yang belum menyentuh akar masalah.
Dari sisi etika bisnis, hal ini menunjukkan pelanggaran terhadap prinsip dasar transparansi, keadilan, dan tanggung jawab sosial. Informasi tentang biaya pinjaman seringkali disembunyikan di balik istilah-istilah teknis seperti “biaya layanan” atau “administrasi”, yang ditaruh dalam halaman syarat dan ketentuan sepanjang puluhan paragraf.
Dalam kondisi terdesak, konsumen hanya ingin dana cepat cair dan menekan tombol “setuju” tanpa memahami sepenuhnya beban yang menanti. Kondisi ini selaras dengan apa yang dikemukakan Andrew Crane dan Dirk Matten dalam Business Ethics (2019), bahwa perusahaan adalah aktor moral dalam masyarakat yang tidak hanya bertanggung jawab secara hukum, tetapi juga secara etis atas dampak dari aktivitas bisnisnya.
Mereka menekankan pentingnya nilai fairness (keadilan) dan respect for persons (penghormatan terhadap manusia) dalam praktik bisnis. Jika perusahaan lebih berorientasi pada keuntungan dari penderitaan konsumen, maka mereka telah gagal menjalankan peran etisnya di masyarakat.
Penagihan utang oleh pinjol, baik yang legal maupun ilegal, sering kali menggunakan cara yang mengintimidasi dan mempermalukan. Pesan ancaman dikirim ke kontak-kontak pengguna, gambar peminjam diedit dan disebarkan ke media sosial, bahkan keluarga dan rekan kerja turut dihubungi.
Tindakan seperti ini bukan sekadar pelanggaran privasi, tetapi juga bentuk kekerasan digital yang dilembagakan. Sayangnya, banyak dari korban pinjol mengalami penghakiman sosial yang tidak adil.
Mereka dianggap ceroboh, tidak bijak, atau terlalu konsumtif. Padahal dalam kenyataannya, sebagian besar dari mereka berada dalam situasi yang sulit dan tidak punya banyak pilihan. Di tengah akses terhadap layanan keuangan formal yang masih terbatas, pinjol menjadi satu-satunya harapan yang tersedia meskipun harapan itu semu.
Pemerintah melalui OJK memang telah mengambil langkah untuk menertibkan pinjol ilegal dan memperketat pengawasan. Akan tetapi, hal ini belum cukup, regulasi yang ada perlu diperluas untuk melindungi konsumen dari jeratan produk keuangan yang tidak adil. Informasi bunga dan denda harus disampaikan secara sederhana dan jelas.
Proses penagihan harus manusiawi, dan penyalahgunaan data pribadi harus dihukum tegas. Pada saat yang sama, literasi keuangan di masyarakat perlu diperkuat. Edukasi tidak hanya tentang pentingnya menabung, tetapi juga tentang mengenali risiko utang digital, memahami perjanjian kredit, dan hak konsumen dalam ekosistem finansial digital.
Bisnis keuangan digital harus dijalankan dengan hati nurani. Inklusi keuangan sejati bukan hanya soal menjangkau lebih banyak orang, tetapi juga menjamin bahwa mereka tidak terjerumus dalam sistem yang menindas. Teknologi finansial seharusnya menjadi alat pemberdayaan, bukan menjadi jebakan yang merampas martabat. Sudah saatnya semua pelaku industri pinjaman digital bertanggung jawab penuh, tidak hanya secara hukum, tetapi juga secara moral. (***)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News