Gempa Bumi Bisa Sediakan Bahan Bakar Kehidupan Bawah Tanah, Ini Penjelasannya

1 day ago 6

Harianjogja.com, JOGJA—Pergerakan kerak Bumi, seperti gempa Bumi, dapat berfungsi sebagai "bahan bakar alternatif" untuk sinar matahari bagi mikroorganisme bawah tanah. Hal ini berdasarkan penemuan para peneliti China.

Temuan terbaru ini mengungkap sumber energi penting untuk ekosistem Bumi-dalam (deep-Earth). Hal ini juga membantu pencarian potensi kehidupan bawah tanah di planet-planet seperti Mars dan Europa, satelit keenam dari planet Jupiter.

Studi yang dipimpin oleh para peneliti dari Institut Geokimia Guangzhou di bawah naungan Akademi Ilmu Pengetahuan China (Chinese Academy of Sciences/CAS) itu belum lama ini diterbitkan dalam jurnal Science Advances.

Di kedalaman gelap di luar jangkauan manusia, hidup 95% organisme prokariotik Bumi, yang menyumbang sekitar 19% dari total biomassa di Bumi. Menurut para peneliti, bentuk-bentuk kehidupan ini tidak dapat memperoleh bahan organik yang tersintesis melalui fotosintesis. Sehingga cara mereka memperoleh energi telah lama menjadi misteri dalam komunitas ilmiah.

Setelah melakukan simulasi aktivitas patahan beberapa kilometer di bawah tanah, tim peneliti menemukan bahwa ketika batuan patah dan menciptakan permukaan yang baru, ikatan kimia yang baru saja patah akan langsung bersentuhan dengan air. "Interaksi ini menghasilkan sejumlah besar hidrogen dan hidrogen peroksida. Proses tersebut kemudian memicu siklus oksidasi dan reduksi besi, yang secara terus-menerus melepaskan elektron dalam prosesnya," tulis dalam laporan tersebut.

BACA JUGA: Destinasi Wisata DIY Terdampak Kebijakan Larangan Study Tour Jawa Barat, Ini Saran GIPI DIY

Elektron-elektron ini selanjutnya mengalir di antara elemen-elemen penting bagi kehidupan, seperti karbon, belerang, dan nitrogen. Tim peneliti mengatakan hal tersebut membentuk "jaringan listrik bawah tanah" yang tidak terlihat yang menyediakan energi bagi mikroorganisme.

Berdasarkan studi ini, para peneliti mengatakan bahwa dalam misi masa depan untuk mendeteksi kehidupan di luar Bumi, sangat penting untuk memberikan perhatian khusus untuk mencari zat teroksidasi dan tereduksi di dekat zona patahan, yang dapat menjadi kondisi yang sangat penting bagi keberadaan kehidupan.

6.000 Gempa Bumi Setiap Tahun di Indonesia

Hasil monitoring gempa oleh Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menunjukkan, setidaknya ada 6.000 kali gempa yang mengguncang wilayah Indonesia setiap tahunnya. Gempa ini dengan magnitudo dan kedalaman yang bervariasi. Data dari BMKG juga menunjukkan adanya peningkatan aktivitas gempa di wilayah Indonesia.

Misalnya di tahun 2008, BMKG mencatat ada 2.407 gempa yang mengguncang Indonesia. Sebanyak 2.138 di antaranya memiliki magnitudo di atas 5. Sebanyak 302 di antaranya dirasakan, dengan 10 gempa tercatat sebagai gempa merusak. Jumlah itu terus meningkat. 

BMKG mencatat tahun 2021 terdapat 11.386 gempa, dengan 11.143 di antaranya bermagnitudo di atas 5. Ada 27 gempa yang tercatat sebagai gempa merusak. Tahun 2021 tercatat sebagai tahun paling banyak kejadian gempa di Indonesia, dalam kurun waktu tahun 2008-2023. Sementara pada 2023, ada 10.983 kali gempa tercatat, sebanyak 25 diantaranya sebagai gempa merusak. 

Kepala Pusat Gempabumi dan Tsunami BMKG, Daryono, mengatakan bahwa Indonesia berada di pertemuan tiga lempeng utama dunia. Lempeng tersebut yaitu Indo Australia, Pasifik, dan Eurasia. Dampaknya, Indonesia memiliki 13 segmen megathrust, yaitu sumber gempa yang mampu memicu gempa besar. 

BACA JUGA: Pakar UGM Soroti Permintaan Eks Marinir TNI AL Satria Kumbara Kembali ke WNI Seusai Jadi Tentara Relawan Rusia

Di samping itu, terdapat pula 295 segmen sesar aktif yang sudah teridentifikasi. Namun masih banyak lagi yang belum teridentifikasi. Kondisi itu menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara rawan gempa.

Daryono mengatakan bahwa Indonesia merupakan wilayah dengan aktivitas kegempaan tinggi. Dalam satu tahun, rata-rata terjadi 6.000 kali gempa dengan berbagai variasi magnitudo (M) dan kedalaman hiposenter. 

"Sebanyak 350 kali gempa dengan kekuatan di atas M5,0. Lalu ada 10 kali gempa merusak, dan dalam 2 tahun terjadi 1 kali gempa berpotensi tsunami," kata Daryono, beberapa waktu lalu.

Posisi Indonesia dikepung dari berbagai arah, lanjut Daryono, termasuk tekanan lempeng Asia Pasifik, juga adanya tektonik escape dari wilayah Indo-China. Oleh karena itu, dia mengatakan selama di suatu lokasi di Indonesia ada sumber gempa, tidak bisa mengklaim daerah tersebut bebas dari potensi gempa. 

Sampai saat ini, lanjutnya, masih banyak sumber gempa atau sesar yang belum terpetakan. Daryono mengingatkan potensi-potensi gempa merusak yang sebenarnya masih belum dikenal. Termasuk, gempa-gempa dengan kedalaman di atas 300 km di bawah laut (gempa deep focus) yang sampai saat ini pemicunya masih dalam perdebatan.

Maka dari itu, BMKG mengembangkan monitoring. Dengan cara ini, harapannya gempa-gempa magnitudo kecil bisa tercatat. Dengan sistem monitoring yang rapat ini, bukan tidak mungkin nanti dapat tercatat 10.000-an gempa yang akan terdeteksi dalam setahun. Meski peningkatan frekuensi aktivitas seisimik belum tentu terkait dengan penambahan pemasangan sensor gempa.

Memahami Sumber Gempa untuk Selamatkan Banyak Nyawa

Kuantifikasi potensi dan laju kejadian gempa jangka panjang (long term expected rate) merupakan upaya untuk menanggulangi dampak yang besar. Hal ini perlu dibarengi dengan mengestimasi kekuatan gempa untuk peringatan dini gempa, serta mengestimasi nilai percepatan goncangan gempa di masa depan/PSHA (Probabilistic Seismic Hazard Analysis) dan risikonya. 

Serangkaian upaya ini agar korban jiwa dari gempa tidak semakin banyak. Guru Besar di Ilmu dan Teknologi Kebumian Institut Teknologi Bandung (FITB ITB), Irwan Meilano, mengatakan hal itu bisa dilakukan, meskipun belum mampu memprediksi kejadian gempa secara pasti. Cara tersebut sejalan dengan peran geodesi dalam studi tektonik untuk memahami siklus gempa, deformasi transien dan seketika.

Pada tahun 2018, Irwan bersama dengan mahasiswa doktoral dan sejumlah peneliti lain berhasil menghitung laju regangan dan memetakan potensi gempa bumi di wilayah timur Indonesia. Hasilnya memetakan akumulasi gempa bumi di daerah Ambon, NTT, dan daerah Kepala Burung Papua. 

"Hasilnya dibuktikan dengan kejadian gempa Ambon 2019 berkekuatan 6,5 SR dan gempa Laut Flores 2021 dengan magnitudo 7,4 SR. Namun, gempa belum mengguncang daerah Kepala Burung Papua. Mudah-mudahan tidak terjadi, tapi tetap harus kita waspadai,” katanya, beberapa waktu lalu, dikutip dari laman ITB.

BACA JUGA: Pengurangan Danais 2025 Berdampak ke Kalurahan, Padat Karya Terpangkas dari Rp175 Juta menjadi Rp120 Juta

Irwan menganalogikan, jika ingin belanja, kita perlu menabung terlebih dahulu. Kita mampu melihat wilayah yang masih menabung (menyimpan potensi gempa/stress) ditinjau dari pergerakan tektoniknya dan daerah yang sudah belanja (laju regangan/strain). Gap antara nilai tabungan dengan nilai yang sudah dibelanjakan itu disajikan dalam bentuk histogram agar lebih mudah dipahami. 

"Dari situ kami memetakan wilayah yang sudah menabung, tapi belum belanja. Kami menghitung wilayah mana yang stress-nya bertambah, tapi belum terjadi gempa,” katanya.

Di sisi lain, data geodesi juga berguna untuk sistem peringatan dini gempa. Irwan dengan penelitiannya bersama Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menghitung estimasi cepat magnitudo gempa Lombok dan Palu tahun 2018. Hasilnya cukup menjanjikan sebagai pelengkap dari early warning system. 

Tidak hanya menghitung kekuatannya, Irwan juga menghitung momen tensor untuk menentukan potensi tsunami dari gempa yang dihasilkan. Kolaborasi riset multidisiplin yang Irwan lakukan dalam tiga tahun terakhir tidak hanya fokus pada sumber gempa, tetapi juga mengulik bahaya dan kerentanannya.

Penelitian yang mendalam dan akurat mengenai sumber gempa bukan hanya pencapaian akademik semata, tapi untuk mengurangi risiko bencana. Pemahaman mengenai sumber gempa ini memberikan manfaat nyata bagi masyarakat dan kontribusi yang signifikan dalam pengambilan kebijakan. 

"Diperlukan pengembangan strategi mitigasi risiko yang lebih efektif, perancangan infrastruktur yang lebih tahan gempa, dan pada akhirnya menyelamatkan lebih banyak nyawa serta mengurangi kerugian ekonomi,” kata Irwan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Read Entire Article
Ekonomi | Politic | Hukum | Kriminal | Literatur | SepakBola | Bulu Tangkis | Fashion | Hiburan |