Task Shifting di Dunia Medis Jadi Solusi di Daerah 3T

5 hours ago 2

Task Shifting di Dunia Medis Jadi Solusi di Daerah 3T Dokter. / Ilustrasi Freepik

Harianjogja.com, JOGJA – Pengamat kebijakan kesehatan Universitas Gadjah Mada, Prof. Laksono Trisnantoro menilai pentingnya kebijakan task shifting atau pemberian kompetensi tertentu dari dokter spesialis ke dokter umum, khususnya di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) untuk mengatasi kekurangan tenaga medis di wilayah tersebut.

Menurut dia, ketimpangan distribusi dokter spesialis di Indonesia telah menjadi persoalan serius yang membutuhkan solusi konkret. Salah satu pendekatan yang diatur dalam Undang-Undang No. 17/2023 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) yakni taskshifting, dinilai belum dipahami dan diterapkan secara optimal.

BACA JUGA: Akademisi UGM Gelar Aksi Keprihatinan Bulaksumur, Kritik Kebijakan Bidang Kesehatan

“UU Kesehatan 2023 sebenarnya sudah mengatur proses taskshifting, tapi belum banyak yang memahami,” ujarnya, Sabtu (17/5/2025). 

Ia menjelaskan bahwa sistem ini dirancang bersifat bottom-up, di mana pemerintah daerah mengidentifikasi kekurangan tenaga spesialis, kemudian dokter umum yang memenuhi syarat diberi pelatihan kompetensi untuk mengisi kekosongan layanan tersebut.

Pelatihan dilakukan berdasarkan standar kolegium dan diawasi oleh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI). Setelahnya, dokter hanya dapat melakukan tindakan medis tertentu atas penugasan resmi dari pemerintah. “Tindakannya bisa diklaim ke BPJS, artinya sistem ini legal dan berpotensi mengatasi kekurangan spesialis secara struktural,” ujarnya.

Isu ini mencuat seiring perdebatan soal kewenangan tambahan bagi dokter umum untuk menangani tindakan medis spesialistik seperti operasi caesar, operasi katarak, hingga penanganan jantung.

Menurutnya, pendekatan taskshifting sejalan dengan rekomendasi WHO sejak 2008, yang mendorong pemindahan sebagian tugas dari tenaga kesehatan berkualifikasi tinggi ke yang lebih rendah secara tepat dan terstandar.

Ia memaparkan data BPJS Kesehatan yang menunjukkan ketimpangan drastis dalam layanan spesialistik antar wilayah. Prosedur cathlab misalnya, mencapai nilai klaim Rp2 triliun di Regional 1 (Jawa) sejak 2017, sedangkan di Regional 5 (Papua dan Maluku) jumlahnya sangat minim.

Hal serupa terjadi pada layanan katarak, di mana delapan provinsi memiliki rasio dokter spesialis mata di bawah 1 per 250.000 penduduk. “Ketiadaan kebijakan taskshifting yang efektif telah menyebabkan ketidakadilan dan tragedi kemanusiaan dalam pelayanan kesehatan,” ungkapnya.

Laksono juga menyinggung sejumlah inisiatif masa lalu seperti program "Dokter Plus" tahun 2011 yang tidak berlanjut, serta pendekatan taskshifting dalam program Sister Hospital UGM di NTT (2009–2013), yang dinilai berhasil memperkuat layanan kesehatan ibu dan anak di daerah terpencil.

Ia meminta agar pemerintah segera menerapkan kebijakan taskshifting secara menyeluruh dan terstruktur, demi menjamin akses layanan kesehatan spesialistik yang adil bagi seluruh rakyat Indonesia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Read Entire Article
Ekonomi | Politic | Hukum | Kriminal | Literatur | SepakBola | Bulu Tangkis | Fashion | Hiburan |