Pemerintah Bakal Kenakan Pajak Aset Kripto, Aturan Segera Terbit

3 hours ago 3

Harianjogja.com, JAKARTA—Pemerintah akan menerbitkan aturan baru pengenaan pajak atas aset kripto. Pajak kripto ke depan akan ditentukan oleh model pengaturan transaksi yang ditetapkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Staf Ahli Bidang Kepatuhan Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Yon Arsal, menjelaskan aturan baru pajak kripto akan segera diundangkan.

Nantinya, skema baru penerapan pajak kripto akan mengikuti perkembangan berpindahnya pengawasan aset kripto dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi [Bappebti] ke OJK pada Januari lalu.

"Insyaallah mungkin seminggu-minggu ini [terbit aturan barunya]. Ada perubahan sedikit karena kaitannya dengan perubahan komposisi dari Bappebti," ujar Yon Arsal di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (24/7/2025).

Sementara itu, pengajar Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia, Prianto Budi Saptono, menjelaskan bahwa berpindah pengawasan aset kripto dari Bappebti ke OJK seiring perubahan klasifikasi aset kripto dari komoditas ke instrumen keuangan.

Secara hukum, kata dia, klasifikasi itu mengikuti arah Peraturan OJK No. 27/2024 (POJK 27/2024) tentang perdagangan aset keuangan digital.

Dia menambahkan, meskipun aspek legalitas transaksi sudah masuk dalam lingkup OJK, pengaturan pajaknya saat ini masih mengacu pada ketentuan umum perpajakan, termasuk PMK 68/2022 yang bakal direvisi dalam waktu dekat.

Secara garis besar, transaksi kripto memunculkan dua jenis pajak utama, yakni pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPN). “Aspek PPh timbul karena ada satu pihak yang mendapatkan penghasilan ketika melakukan transaksi terkait aset keuangan kripto. Transaksi penyerahan barang (aset) atau jasa akan memunculkan aspek PPN,” jelas Prianto, Minggu (27/7/2025).

BACA JUGA: Terdampak Pembangunan Tol Jogja-YIA, Lahan Pertanian Terus Menyusut

Sementara mengacu POJK 27/2024, ada lima pelaku utama dalam ekosistem aset keuangan digital yaitu penyelenggara bursa; pedagang aset keuangan digital; lembaga kliring penjaminan dan penyelesaian; anggota kliring; serta pengelola tempat penyimpanan aset keuangan digital.

Prianto memaparkan bahwa kelima pelaku tersebut dikenai PPh atas penghasilan yang mereka terima dari penyediaan jasa, yang mana objeknya mengacu ke Pasal 4 ayat (1) UU PPh dan bisa bersifat final apabila ditentukan lewat peraturan pemerintah (PP).

Dari sisi PPN, kegiatan jasa mereka dikenakan tarif umum 12%, kecuali dinyatakan sebagai nonobjek dalam UU PPN. “Secara teknis, dasar pengenaan PPN bisa dihitung dari 11/12 x nilai transaksi atau 11/12 x 10% x nilai transaksi, tergantung bentuk jasanya,” ujar Prianto. Khusus untuk pedagang aset digital, penghasilan dari jual beli kripto juga dikenai PPh. Sementara dari sisi PPN, aset kripto tidak termasuk dalam daftar nonobjek PPN sebagaimana Pasal 4A ayat 2 UU PPN, sehingga tetap terutang PPN 12%.

Menurut Prianto, revisi PMK No 68/2022 menjadi krusial karena akan menjadi dasar teknis pemajakan yang lebih kompatibel dengan struktur pasar kripto versi OJK.

Hanya saja, dia menilai fokus revisi pengaturan bukan pada potensi penerimaan negara, melainkan pada kemudahan administrasi dan kepastian hukum. “Ketika pengaturannya sudah masuk ke ranah teknis administratif di Peraturan Menteri Keuangan, maka fokusnya bukan semata untuk menggenjot penerimaan, tetapi untuk memastikan implementasi kebijakan perpajakan berjalan lebih sederhana dan pasti,” kata Ketua Pengawas Ikatan Konsultan Pajak Indonesia itu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : Bisnis.com

Read Entire Article
Ekonomi | Politic | Hukum | Kriminal | Literatur | SepakBola | Bulu Tangkis | Fashion | Hiburan |