Harianjogja.com, SLEMAN—Wacana relaksasi Regulasi Anti-Deforestasi Uni Eropa atau European Deforestation Regulation (EUDR) dinilai bisa menjadi momentum untuk memperkuat strategi transisi tata kelola hutan yang adil dan bertahap.
Pakar UGM Bidang Keilmuan Kebijakan Kehutanan, Profesor Ahmad Maryudi mengatakan relaksasi tersebut sebagai bagian dari proses diplomasi yang wajar. Namun respons terpenting yang dilakukan Indonesia menyikapi kebijakan itu yakni tidak langsung terburu-buru mengikuti semua standar tanpa persiapan matang. "Perlu ada pendekatan yang bertahap dan terukur untuk menghadapi hal ini," kata Maryudi pada Selasa (22/7/2025).
BACA JUGA; Bayah Banten Diguncang Gempa Berkekuatan Magnitudo 5,3, Belum Ada Laporan Kerusakan
Pemberlakuan EUDR oleh Uni Eropa dapat menjadi momentum perbaikan tata kelola hutan di Indonesia. Kendari demikian regulasi tersebut kata Maryudi juga menyimpan risiko terhadap keberlanjutan ekspor komoditas kehutanan dan pertanian Indonesia, terutama bagi petani kecil.
Apalagi transformasi dari regulasi EUTR ke EUDR ini disebut Maryudi dilatarbelakangi oleh pandangan bahwa legalitas belum tentu menjamin pencegahan deforestasi. Uni Eropa memastikan bahwa produk yang mereka impor tidak berasal dari pembukaan hutan.
"Seperti di Indonesia contohnya, mereka memperluas cakupan, bukan hanya kayu, tapi juga sawit, kopi, kakao, hingga daging dan kedelai," ucapnya.
Di sisi lain, Maryudi mengingatkan adanya risiko terhadap pelaku usaha, terutama untuk petani kecil. Menurut catatannya, sekitar 50% produksi sawit Indonesia berasal dari petani kecil dan di sektor kopi dan kakao, angkanya bisa mencapai 90-100%.
"Ini sistem yang costly [mahal]. Bahkan perusahaan besar saja belum tentu langsung siap. Apalagi petani kecil yang punya keterbatasan teknis dan finansial. Mereka jelas akan terdampak,"ucapnya.
Meski Uni Eropa bukan pasar ekspor utama untuk semua komoditas, contohnya sawit yang lebih banyak dikirim ke Tiongkok dan India, Maryudi menekankan pentingnya posisi Eropa secara politik. Oleh karena itu ia merekomendasikan untuk tetap waspada.
"Uni Eropa sering jadi trend-setter regulasi global. Kalau mereka menetapkan standar, negara lain biasanya ikut menyesuaikan. Jadi meskipun pangsa pasarnya tidak dominan, kami tetap harus waspada karena tren globalnya mengarah ke sana," ucapnya.
Aturan anti deforestasi ini bukan hanya menjadi urusan sektor kehutanan saja. Menurutnya perlu adanya komunikasi lintas-sektor seperti antara sektor, pertanian, perdagangan, diplomasi luar negeri. Menghadapi EUDR ini, bukan soal menolak atau menerima sepenuhnya, melainkan soal mengelola transisi.
"Kami tidak bisa menolak arus regulasi global, tapi kami bisa dan harus mengatur irama kami sendiri. Supaya transisinya adil, tidak memberatkan petani kecil, dan tetap menjaga keberlanjutan hutan," tegasnya.
Menandai pergeseran besar dari pendekatan legalitas ke keberlanjutan dalam pengelolaan hutan, hal itu tidak hanya perkara izin, tapi juga asal-usul lahan dan dampaknya terhadap tutupan hutan. Pendekatan itu akan membuat standar jadi jauh lebih ketat dan kompleks, apalagi karena cakupannya bukan hanya satu komoditas. Secara prinsip, EUDR bisa menjadi peluang untuk mendorong tata kelola hutan yang lebih baik.
"Kalau benar-benar diimplementasikan dengan baik, regulasi ini bisa memperbaiki cara kita mengelola produksi kayu dan komoditas lainnya agar lebih bertanggung jawab," ungkapnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News