Harianjogja.com, JAKARTA—Gangguan pencernaan Irritable Bowel Syndrome (IBS) sering kali dianggap sepele karena tidak menyebabkan kerusakan permanen pada usus namun dapat mengganggu kehidupan sehari-hari.
Dr dr I Ketut Mariadi, Sp.PD-KGEH, FACG, FINASM, dokter spesialis penyakit dalam dan konsultan gastroenterohepatologi di RS Siloam Denpasar Bali, menjelaskan bahwa IBS merupakan gangguan fungsional pada sistem pencernaan yang memengaruhi usus besar.
"Kondisi itu menyebabkan perubahan pola buang air besar yang tidak teratur, disertai kram perut, kembung, diare, atau konstipasi," kata Dr I Ketut Mariadi dalam siaran pers pada Senin (21/4/2025).
IBS bersifat kronis, sehingga dapat memengaruhi kualitas hidup penderitanya. Meskipun demikian, IBS tidak menyebabkan kerusakan struktural pada usus seperti penyakit radang usus (IBD) atau penyakit celiac.
“IBS bukanlah penyakit yang mengancam nyawa, tetapi dapat sangat mengganggu kehidupan sehari-hari jika tidak dikelola dengan baik. Oleh karena itu, diagnosis yang benar dan edukasi pasien sangat penting," kata dia.
"IBS termasuk dalam kategori penyakit fungsional, di mana tidak ditemukan kelainan fisik pada usus, tetapi fungsinya terganggu. Oleh karena itu, pendekatan pengobatannya lebih berfokus pada manajemen gejala dan perubahan gaya hidup,” jelas Dr I Ketut Mariadi.
Gejala IBS bervariasi pada setiap individu, tetapi umumnya meliputi sakit atau kram perut yang mereda setelah buang air besar, perubahan frekuensi dan konsistensi tinja, perut kembung, serta produksi gas berlebih.
Gejala IBS bisa disingkat dengan ABCD, Abdominal pain (sakit perut), Bloated ( kembung), Constipation ( konstipasi), Diarrhea (diare).
BACA JUGA: Ini Hal-Hal yang Bikin Masyarakat Kelas Menengah Susah Jadi Orang Kaya
Faktor Pemicu
Ada beberapa faktor yang dapat memicu atau memperburuk gejala IBS, misalnyan faktor makanan. Makanan tertentu dapat menjadi pemicu utama IBS, terutama yang mengandung tinggi lemak, makanan pedas, produk susu bagi yang intoleran laktosa, serta makanan tinggi FODMAP (Fermentable Oligosaccharides, Disaccharides, Monosaccharides, and Polyols).
Zat-zat itu sulit dicerna oleh usus kecil dan dapat menyebabkan fermentasi berlebih di usus besar, yang memicu kembung, nyeri, serta perubahan pola buang air besar. Selain itu, konsumsi alkohol, kafein, dan pemanis buatan seperti sorbitol juga dapat memperburuk gejala IBS.
Penderita IBS perlu memperhatikan makanan yang mereka konsumsi agar gejalanya tidak semakin memburuk.
Menurut Dr I Ketut Mariadi, “Beberapa makanan tertentu dapat memicu gejala IBS, seperti makanan berlemak tinggi, pedas, berminyak, produk susu bagi yang intoleran laktosa, serta makanan tinggi FODMAP yang dapat menyebabkan fermentasi berlebihan di usus”.
Menjaga pola makan sehat dan menghindari makanan yang dapat memicu gejala akan membantu penderita IBS mengontrol kondisinya dengan lebih baik.
Ia menjelaskan, untuk mendiagnosa IBS bisa dilakukan dengan kriteria Rome IV, yaitu apabila pasien mengalami nyeri perut setidaknya sekali dalam seminggu dalam tiga bulan terakhir, dengan keluhan yang telah berlangsung selama minimal enam bulan.
IBS juga disertai dua dari tiga gejala berikut, pertama nyeri perut berhubungan defekasi, kedua nyeri perut berhubungan dengan perubahan frekuensi BAB (diare atau konstipasi), ketiga nyeri perut berhubungan dengan perubahan bentuk kotoran (cair, keras atau lembek).
Dr I Ketut Mariadi menekankan, “Langkah pertama dalam menangani IBS adalah memastikan diagnosis yang benar. Pasien juga harus diberikan edukasi mengenai kondisi mereka agar dapat mengelola gejala dengan lebih baik”.
Terapi CBT
Karena faktor psikologis berperan dalam IBS, terapi psikologis seperti cognitive behavioral therapy (CBT) juga dapat membantu penderita mengelola stres dan mengurangi keparahan gejala.
Penggunaan obat-obatan mungkin diperlukan dalam beberapa kasus, tetapi tidak cukup efektif jika tidak diimbangi dengan terapi non-farmakologis seperti perubahan gaya hidup dan manajemen stres.
“Penting bagi pasien untuk memahami bahwa IBS dapat dikontrol dengan pengelolaan yang tepat. Kombinasi antara perubahan gaya hidup, diet, serta pengobatan yang sesuai bisa membantu pasien hidup lebih nyaman,” kata Dr I Ketut Mariadi.
Ia menjelaskan, RS Siloam Denpasar Bali menawarkan layanan kesehatan komprehensif bagi pasien IBS dengan konsep one stop service, yaitu pasien dapat mengakses berbagai layanan medis dalam satu lokasi.
Layanan itu mencakup konsultasi dengan dokter spesialis gastroenterologi, pemeriksaan endoskopi dan kolonoskopi, program manajemen stres, hingga panduan nutrisi dari ahli gizi.
“Digestive Center di RS Siloam Denpasar Bali saat ini sedang dikembangkan, namun telah memiliki fasilitas khusus untuk menangani penyakit pencernaan dengan dukungan konsultan berpengalaman,” jelas Dr I Ketut Mariadi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : Antara