Dr. Muya Barida, M.Pd, Dosen Bimbingan Konseling UAD
Generasi Z punya segalanya: akses teknologi, pengetahuan luas, dan peluang tanpa batas. Tapi ironisnya, banyak di antara mereka justru kehabisan energi untuk hidup sehat. Layar gawai yang tak pernah mati membuat mereka lebih sibuk menggulir layar ketimbang bergerak. Aktivitas fisik tergeser oleh kebiasaan “rebahan”, dan peluh digantikan notifikasi. Akibatnya, tubuh cepat lelah, emosi labil, dan rasa bahagia terasa jauh.
Fenomena ini bukan semata kesalahan pribadi. Gen Z tumbuh di tengah kesibukan orang tua dan derasnya arus digital. Media sosial memberi dunia yang seru, tapi sekaligus menjebak dalam kesendirian. Banyak dari mereka kehilangan arah: tak tahu apa yang ingin diperjuangkan, apalagi bagaimana menjaga tubuh tetap sehat. Di sinilah pentingnya membangkitkan kembali kesadaran akan wellness fisik—gaya hidup aktif dan sehat yang menjadi fondasi kebahagiaan.
FOMO untuk Hal Sehat
Menariknya, cara untuk menyalakan semangat sehat Gen Z tidak harus lewat nasihat panjang atau kampanye formal. Justru lewat strategi yang mereka kenal baik: FOMO alias fear of missing out.
Biasanya, FOMO dianggap gejala negatif—perasaan cemas karena takut ketinggalan tren. Tapi dalam konteks wellness fisik, FOMO bisa jadi senjata ampuh. Bayangkan jika rasa “takut ketinggalan” bukan karena gosip viral, melainkan karena teman-teman sudah ikut komunitas lari, makan makanan sehat, atau ikut kelas yoga. FOMO yang diarahkan ke arah positif akan membuat Gen Z terdorong untuk ikut bergerak.
Media sosial dapat menjadi pintu masuknya. Video singkat tentang olahraga ringan, tantangan minum air putih, atau vlog gaya hidup sehat bisa menular cepat. Semakin sering konten seperti ini muncul di linimasa, semakin besar pula dorongan bagi anak muda untuk mencoba. Di berbagai kota, kita mulai melihat tren ini: muncul komunitas lari pagi, pesepeda, hingga pendaki gunung muda. Mereka menjadikan wellness bukan kewajiban, tapi gaya hidup baru yang keren.
Peran Lingkungan Sosial
Perubahan perilaku Gen Z tidak bisa dilepaskan dari dukungan lingkungan sosial. Orang tua, keluarga, dan teman sebaya berperan besar menanamkan kebiasaan wellness fisik. Semua bisa dimulai dari hal sederhana—makan bergizi, beraktivitas fisik, dan menjaga kebersihan diri.
Orang tua bisa menjadi teladan. Ajak anak bangun pagi bersama, olahraga ringan, lalu sarapan sehat tanpa gawai di meja makan. Akhir pekan, isi dengan kegiatan luar ruang: bersepeda, jalan kaki, atau sekadar membersihkan taman. Aktivitas ini tidak hanya menyehatkan tubuh, tapi juga memperkuat hubungan emosional. Ketika interaksi meningkat, Gen Z akan merasakan kehangatan keluarga yang selama ini sering digantikan layar.
Kebiasaan sederhana ini lama-lama bisa menciptakan budaya baru. Ketika menjaga tubuh menjadi rutinitas yang menyenangkan, Gen Z tak perlu dipaksa untuk sehat. Mereka akan merasa “takut ketinggalan” jika tidak ikut tren hidup sehat. Inilah bentuk FOMO yang positif—dorongan alami untuk meniru hal baik.
Dari Tren Jadi Kebiasaan
Kebiasaan wellness fisik tidak lahir dalam semalam. Ia tumbuh dari kesadaran, keteladanan, dan konsistensi. Tapi begitu terasa manfaatnya—tidur lebih nyenyak, pikiran lebih jernih, dan energi meningkat—kebiasaan itu akan melekat. Tubuh yang bugar mendorong pikiran positif, meningkatkan hormon endorfin, dan menumbuhkan rasa bahagia.
Di era serba digital ini, kebahagiaan sering disalahartikan sebagai jumlah “like” atau “view”. Padahal, bahagia sesungguhnya datang dari keseimbangan tubuh dan pikiran. Wellness fisik menjadi pintu ke arah itu.
Kuncinya ada pada pilihan. Gen Z bisa memilih untuk terus terjebak di dunia maya, atau menyalakan kehidupan nyata dengan kebiasaan sehat. Lingkungan yang mendukung dan memberi contoh akan mempercepat perubahan ini. Saat FOMO terhadap hal positif mulai tumbuh, Gen Z tidak lagi takut tertinggal tren—mereka justru berlomba menjadi generasi yang lebih kuat, bugar, dan bahagia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News