Pesilat sedang mengikuti pawai di Malioboro, Minggu (14/9/2025). - Istimewa.
Harianjogja.com, JOGJA—Pencak silat merupakan salah satu warisan budaya bangsa Indonesia yang hingga kini terus dijaga kelestariannya. Untuk mendukung kelestarian budaya tersebut, Pemerintah Daerah (Pemda) DIY menggelar Pencak Malioboro Festival (PMF) tahun 2025.
Sare itu, ribuan pasang mata terarah pada satu titik di jantung Kota Jogja, tepatnya di sisi barat Gerbang Kepatihan. Di sana, ada sebuah panggung menampilkan kelompok pencak silat yang menunjukkan kebolehannya.
Salah satu kelompok pencak silat yang tampil kala itu adalah Paguyuban Silat Madura yang membawakan kisah Sakera dengan pertunjukan bertajuk “Sakera Berani Melawan Antek-antek Penjajah Belanda”. Sakera merupakan tokoh asal Pasuruan, Jawa Timur, yang membela nasib bangsa Indonesia ketika dihadapkan pada situasi ketidakadilan yang dilakukan pemerintah Belanda kala itu.
Penampilan kelompok pencak silat asal Madura tersebut diawali dengan lampu latar yang sempat dimatikan, lalu perlahan berganti dengan lampu latar berwarna merah yang menyeruak perlahan-lahan. Setelah itu, tiga orang pendekar pencak silat yang mengenakan pakaian khas Madura yang disebut pula dengan baju pesa’an atau baju sakera, dengan setelan baju dan celana hitam, ditambah kaos putih, serta ikat kepala menunjukan diri. Ketika pendekar pencak silat tersebut menampilkan beberapa jurus pencak silat sebagai pembuka pertunjukan tersebut.
BACA JUGA: Ini Progres Kasus Mafia Tanah Kas Desa untuk Uruk Tol Jogja-Solo
Tak berapa lama kemudian, seorang perempuan dengan mengenakan kebaya rancongan khas Madura yang memiliki potongan kain pas pada tubuh dan mengenakan kain batik Khas Madura sebagai bawahannya. Perempuan itu hadir dengan menampilkan kebolehannya memainkan clurit, senjata tradisional khas Madura. Clurit itu diputar-putarkan bersamaan dengan beberapa gerakan pencak silat yang ditampilkan.
Dalam pertunjukan tersebut, Sakera diperkenalkan sebagai orang Madura yang memiliki dua istri. Sosok Sakera sendiri dibawakan oleh seorang pemuda dengan mengenakan baju pesa’an. Dia hadir dengan menampilkan kemampuannya memainkan clurit di tangan kanan dan kirinya. Dia melakukan beberapa gerakan pencak silat dengan diiringi musik khas Madura.
Dalam kisah tersebut, diceritakan kehidupan masyarakat Bangel yang hidup di lingkungan yang subur dan kehidupan masyarakatnya makmur. Namun, tiba-tiba, Markus, tokoh yang merupakan penjelajah dari Belanda, diceritakan membuat keributan di sana.
Sementara saat itu, Sakera tengah menikmati kehidupannya bersama kedua istrinya. Saat itu, Sakera pun mendapatkan laporan dari beberapa warga terkait dengan keributan yang terjadi antara masyarakat Bangel dengan Markus.
Sakera pun merasa tidak dihargai dengan kejadian tersebut. Dia marah dan tidak terima atas kejadian tersebut. Kemudian, Sakera bersama masyarakat Bangel menghampiri Markus dan antek-antek Belanda lainnya. Perlawanan di antara mereka pun terjadi.
Sakera pun melawan antek-antek Belanda tersebut dengan menggunakan clurit. Senjata tradisional tersebut pun berhasil mengalahkan antek-antek Belanda tersebut.
Pertunjukan tersebut ditutup dengan tepuk tangan ribuan orang yang memadati kawasan Malioboro. Ribuan orang tersebut terkesima dengan gerakan pencak silat yang dipadukan dan kisah pejuang dari Madura tersebut. Tak hanya kisah perjuangan yang dilontarkan, namun juga pakaian dan senjata tradisional yang selama ini membesarkan daerah itu pun ditampilkan. Sungguh pertunjukan epik yang sarat dengan makna.
BACA JUGA: Menag Nasaruddin Umar Resmikan Perubahan IAIN Jadi UIN Ponorogo
Salah satu penonton yang merupakan warga Jogja, Argo mengaku menikmati penampilan tersebut. “Bagus ceritanya, gerakannya juga bagus,” katanya.
Di akhir pekan ini, kawasan Malioboro tampak berubah seketika. Sebelumnya, kawasan tersebut menampilkan pertunjukan tarian, musik atau menampilkan kebudayaan khas Nusantara dengan alunan musik yang tenang, namun kali ini, gerakan-gerakan laga nampak menghiasi kawasan tersebut. Ribuan pesilat nampak menunjukkan kebolehannya, berbagai jurus pencak silat dari berbagai perguruan ditampilkan. Penampilan itu seakan mengubah kawasan Malioboro sebagai padepokan terbuka.
Guyub Rukun
Penjabat Sementara Sekda DIY, Arya Nugrahadi menuturkan pencak silat telah ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda oleh UNESCO pada Desember 2019. Penetapan tersebut menunjukan bahwa pencak silat sebagai olahraga dan seni bela diri yang memiliki aspek budaya dan spiritual. Arya mengaku pihaknya mendukung penyebarluasan nilai-nilai luhur yang ada dalam pencak silat sehingga semakin banyak masyarakat yang memahami nilai-nilai dalam pencak silat.
“Festival ini hadir sebagai salah satu tindak lanjut dalam pemeliharaan dan pengembangan pencak silat dalam program kegiatan kreatif dan inovatif melalui Disbud DIY,” katanya.
Paniradya Pati Paniradya Kaistimewan DIY Aris Eko Nugroho menilai pencak silat bukan hanya budaya bangsa yang harus dilestarikan, melainkan produk kearifan lokal yang memiliki kearifan lokal yang harus dipertahankan terus-menerus. Ia mengapresiasi peran serta dari praktisi, pemerhati dan pencinta pencak silat dari berbagai daerah di Indonesia, serta sebagian dari luar negeri yang turut melestarikan budaya bangsa tersebut.
"PMF ini paseduluran antar pesilat benar-benar terjaga sehingga ini menjadi gambaran bahwa pencak silat itu yang ditonjolkan adalah kebersamaan. PMF 2025 ini berbeda tahun sebelumnya untuk saat ini ada pawainya, karena sejak Covid-19 tidak ada pawai dan baru dimulai tahun ini," katanya.
Menurutnya kehadiran ribuan silat ini sekaligus menjadi bukti bahwa Jogja aman dan damai. "Bukti bahwa Jogja bisa dikunjungi dengan aman, Jogja bersahabat dengan siapa pun, termasuk wisatawan luar negeri, karena ada pesilat dari luar negeri," ucapnya.
Kepala Disbud DIY, Dian Lakshmi menyampaikan pencak silat merupakan warisan budaya bangsa Indonesia yang perlu dijaga kelestariannya. Dalam pencak silat tersebut ada proses untuk mengolah raga, karsa dan rasa. Proses tersebut menurutnya penting dilalui untuk membentuk wartak bangsa yang unggul.
“Pencak silat adalah warisan adiluhung yang membentuk watak unggul sekaligus keindonesiaan. Di Jogja, nilai itu berpadu dengan filosofi Hamemayu Hayuning Bawono,” katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News