PHRI Gerah, Akomodasi Ilegal Serap Hingga 30 Persen Pasar Hotel di DIY

2 hours ago 2

PHRI Gerah, Akomodasi Ilegal Serap Hingga 30 Persen Pasar Hotel di DIY Ilustrasi. - Freepik

Harianjogja.com, JOGJA— Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DIY meminta pemerintah menertibkan keberadaan akomodasi ilegal yang dinilai menyerap pangsa pasar hotel dan penginapan resmi cukup signifikan. PHRI DIY mencatat akomodasi tak berizin tersebut menggerus pasar anggotanya hingga 10 persen–30 persen.

Menanggapi hal itu, Kepala Dinas Pariwisata (Dispar) DIY Imam Pratanadi menyampaikan penertiban akomodasi ilegal membutuhkan kerja sama erat dengan pemerintah kabupaten/kota. Menurutnya, dalam konteks kewenangan, pendataan dan penindakan berada di ranah pemerintah kabupaten/kota.

Ia menjelaskan Dispar DIY terus mendorong pemerintah kabupaten/kota melakukan pendataan terhadap kegiatan usaha yang belum memiliki izin, termasuk perubahan fungsi bangunan dari hunian menjadi usaha akomodasi seperti vila, homestay, pondokan, dan kos eksklusif.

“Bekerja sama dengan Kementerian Pariwisata RI telah dilakukan pendataan kegiatan usaha akomodasi nonperizinan yang terdaftar di aplikasi OTA [online travel agents],” kata Imam.

Berdasarkan pendataan tersebut, lanjut Imam, Kementerian Pariwisata ke depan akan mewajibkan seluruh pelaku usaha penginapan atau akomodasi memiliki izin usaha yang terdaftar secara resmi.

Ia menambahkan, keberadaan akomodasi tidak berizin berpotensi menyebabkan kebocoran Pendapatan Asli Daerah (PAD), khususnya dari sektor pajak penginapan yang selama ini belum terserap secara optimal.

“Potensi PAD bagi pemerintah kabupaten/kota dari pajak penginapan yang belum berizin ini cukup besar. Namun secara pasti angkanya belum bisa dipastikan karena belum ada kajian khusus terkait hal tersebut,” jelasnya.

Sebelumnya, Ketua PHRI DIY Deddy Pranowo Eryono berharap pemerintah daerah dapat lebih serius memantau dan menertibkan akomodasi yang belum berizin maupun yang belum tergabung dalam PHRI. Ia menyoroti maraknya vila, homestay, hingga rumah tinggal dan kos harian yang disewakan tanpa izin resmi.

Menurut Deddy, akomodasi ilegal tersebut menyerap pangsa pasar hotel dan penginapan resmi cukup besar, yakni sekitar 10 persen hingga 30 persen. Selain itu, tarif yang ditawarkan cenderung lebih murah karena tidak dibebani kewajiban perizinan dan pajak.

“Kami belum melihat ada penertiban yang signifikan, selain yang dilakukan di Kota Jogja,” ujarnya. (**)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Read Entire Article
Ekonomi | Politic | Hukum | Kriminal | Literatur | SepakBola | Bulu Tangkis | Fashion | Hiburan |