Harianjogja.com, JOGJA—Pakar pangan dan gizi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Sri Raharjo menyebut kesalahan dalam pengolahan makanan bisa menyebabkan keracunan makanan, seperti yang terjadi di Desa Karangturi, Klaten, Jawa Tengah.
"Pertama terkait dengan kondisi mutu dan keamanan bahan pangan segar yang diolah. Kedua terkait dengan cara mengolah, peralatan dan cara pemakaiannya, kondisi lingkungan, serta waktu pengolahan dan konsumsinya," ujar Sri Raharjo yang juga menjabat Kepala Pusat Studi Pangan dan Gizi (PSPG) UGM, Kamis (17/4/2025).
Sri Raharjo menilai kasus serupa kerap terjadi dalam berbagai acara hajatan, namun hanya sebagian kecil yang dilaporkan atau dipublikasikan oleh media.
Dalam kasus di Klaten, sajian makanan dilaporkan terdiri dari nasi, rendang daging sapi, krecek, acar, kerupuk, dan snack.
Dari seluruh menu tersebut, ia menilai rendang dan krecek memiliki potensi risiko kontaminasi paling tinggi.
"Dipertanyakan, apakah kondisi daging sapi segar yang diolah terjaga kebersihannya, dingin atau beku. Jika tidak, dimungkinkan berpotensi memiliki tingkat cemaran bakteri atau toksin cukup tinggi di atas batas normalnya yang dianggap aman," kata dia.
Dia memperkirakan, apabila hajatan tersebut menyediakan 200 sampai 300 kotak makanan dengan 50 gram daging per kotak, maka diperlukan sekitar 10 hingga 15 kilogram daging segar.
Menurut dia, daging sebanyak itu kemungkinan dimasak dalam beberapa tahap dengan peralatan skala rumah tangga.
"Kemungkinannya dimasak 3 sampai 5 kali. Artinya, ada masakan yang dibuat sejak pagi, sekitar pukul 07.00, atau bahkan sehari sebelumnya. Ini tentu berisiko karena ada jeda waktu lebih dari 10 jam sebelum makanan dikonsumsi," kata dia.
Sri Raharjo juga menyoroti potensi ketidakteraturan panas saat memasak dalam jumlah besar.
BACA JUGA: Makanan Fementasi Sangat Bermanfaat untuk Kesehatan, Simak Jenisnya
Menurut dia, meski alat masak besar digunakan, tidak menjamin panas bisa tersebar merata ke seluruh bagian daging. Hal ini dapat menyebabkan bakteri atau toksin tetap aktif pada bagian yang tidak matang sempurna.
Setelah dimasak, lanjut dia, makanan dalam kotak kemungkinan baru dikonsumsi warga pada malam hari, sekitar pukul 19.00-20.00 WIB saat acara pentas wayang kulit berlangsung.
Jeda waktu selama 12 jam itu, menurutnya, memberi cukup ruang bagi bakteri berkembang biak dalam jumlah yang membahayakan.
"Tentu dimakan di malam hari karena hajatan wayangan. Jika proses memasak dalam jumlah besar, dimungkinkan panasnya tidak tuntas mematangkan masakan, dan berisiko masih menyisakan sedikit bakteri atau toksin penyebab sakit," ujar dia.
Menurut dia, tidak menutup kemungkinan peristiwa semacam itu kembali menimpa masyarakat di waktu yang akan datang di tempat yang berbeda.
Agar makanan di acara hajatan yang disiapkan secara gotong royong oleh warga aman dikonsumsi, ia menyarankan diperlukan pemahaman yang benar terkait cara mengolah makanan dalam jumlah besar.
Selain itu, perlu diperhatikan peralatan pengolahan dan cara pemakaiannya secara tepat, serta kewaspadaan jika masakan yang sudah siap saji baru dikonsumsi lebih dari 10 jam.
"Hal-hal semacam ini penting untuk diperhatikan, dan dilakukan. Para warga pun diharapkan untuk selalu menjaga kondisi kesehatannya. Secara bersama kita terus upayakan meminimalkan risiko kemungkinan terjadinya keracunan makanan," kata dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : Antara