Lahan Sempit, Muncul Gagasan Pemakaman Alternatif Manusia Jadi Kompos

4 weeks ago 7

Harianjogja.com, JOGJA—Metode alternatif pemakaman semakin berkembang seiring dengan peningkatan populasi dan terus berkurangnya lahan untuk pemakanan. Salah satu alternatif pemakaman berupa human composting atau menjadikan manusia menjadi pupuk. Metode yang dianggap bermanfaat bagi alam ini menuai pro-kontra dari sisi norma manusia.

Gagasan awal human composting berasal dari tesis pascasarjana Katrina Spade. Dia memulai gerakan pemakaman hijau dan berjuang untuk menormalkan serta menawarkan layanan ini kepada orang-orang yang memegang prinsip ramah lingkungan.

Secara umum, human composting terdiri dari beberapa tahap seperti penempatan jenazah, penguraian alami, pengadukan dan pemantauan, hasil akhir, dan pemanfaatan. Pada proses penempatan jenazah, tubuh manusia tersebut akan diletakkan dalam wadah khusus berbentuk tabung atau ruang tertutup. Jenazah akan diletakkan bersama bahan organik seperti serbuk kayu, jerami, atau alfalfa.

Sementara pada proses penguraian alami, mikroba, panas, dan oksigen bekerja sama menguraikan tubuh secara alami. Proses ini berlangsung sekitar 30–45 hari. Berlanjut pada pengadukan dan pemantauan. Selama periode ini, suhu, kelembaban, dan sirkulasi udara dikontrol agar penguraian optimal sekaligus memusnahkan patogen berbahaya.

Untuk hasil akhir, tubuh berubah menjadi tanah kompos steril dan aman digunakan. Biasanya setiap individu menghasilkan sekitar 0,7–1 meter kubik tanah subur. Kemudian pada fase pemanfaatan, tanah ini bisa diberikan kepada keluarga, dipakai untuk menanam pohon, atau disumbangkan untuk proyek penghijauan.

BACA JUGA: Jadwal KRL Jogja-Solo Rabu 20 Agustus 2025: Stasiun Tugu, Lempuyangan, Delanggu hingga Palur

Alternatif pemakaman baru ini mayoritas tidak diterima dengan baik oleh anggota keluarga dan teman dari orang yang meninggal. Kebanyakan mereka menganggap humas composting tidak menghormati kehidupan seseorang. Namun saat ini sudah banyak negara yang melegalkan, termasuk terdapat pula perusahaan yang menyediakan jasa tersebut. Pada prinsipnya, human composting perlu mendapat persetujuan dari pihak keluar jenazah.

Dalam penelitian berjudul From Death to New Life: The Ethics Behind Human Composting, David Alexis merangkum penelitian terdahulu yang membahas tentang human composting. Terdapat pembaharuan konsep kematian, perlu dianggap perlu dirumuskan kembali sebagai bentuk perayaan, bukan lagi murni sebuah duka.

Pengomposan manusia juga tidak dapat dilakukan tanpa persetujuan. "Kedua, ada alasan mengapa negara bagian Amerika Serikat mengizinkan metode pemakaman baru ini, melihat proses tersebut bermanfaat bagi generasi mendatang untuk hidup panjang dan sehat. Poin ketiga, pemakaman alami sudah dipraktikkan dalam agama dan budaya tertentu," tulis David pada penelitian yang rilis di jurnal UC Merced Undergraduate Research Journal pada tahun 2024.

Dari ketiga poin di atas, David menemukan bahwa persetujuan pihak keluarga untuk menerapkan human composting pada jenazah menjadi salah satu masalah etika terpenting. Perusahaan yang memberikan layanan human composting, beberapanya menawarkan pendaftaran "pra-kompos" bagi orang-orang untuk mengompos tubuh mereka.

Langkah-langkah ini diterapkan untuk memastikan orang memiliki hak untuk memilih metode human composting untuk pemakamannya. "[Regulasi dari pemerintah] dapat menjadi jaminan kebebasan seseorang untuk memilih apakah metode pemakaman ini sesuai untuk mereka," tulisnya.

Dengan niat untuk memulihkan masa depan, metode human composting merupakan pendekatan etis untuk memerangi perubahan iklim dan memberikan kehidupan baru pada tubuh. "Dengan populasi manusia yang terus bertambah, ada kekhawatiran tentang sumber daya dan kepadatan penduduk. Pemakaman tidak membantu masalah ini, karena memakan lahan berharga yang bisa digunakan orang untuk hidup nyaman," tulis David.

BACA JUGA: Jadwal KRL Solo-Jogja Rabu 20 Agustus 2025: Berangkat dari Stasiun Palur

Manfaat Jangka Panjang

Human composting atau metode pengomposan manusia untuk pemakaman dianggap bisa bermanfaat pada alam dalam jangka panjang. Beberapa penelitian merekomendasikan metode ini diperkenalkan mulai sekarang, dinormalisasi di masa depan, dan mendukung kepadatan penduduk di suatu daerah.

Masih dalam penelitian David Alexis, dia menuliskan bahwa human composting dianggap sebagai utilitaristik. Dalam pengertian umum, utilitarianisme merupakan teori yang menilai tindakan berdasarkan konsekuensinya, dengan tujuan memaksimalkan kebahagiaan atau kesejahteraan bagi sebanyak mungkin orang.

"Mengambil pendekatan ramah lingkungan terhadap kematian dapat menurunkan emisi karbon dan meningkatkan kesadaran akan krisis iklim sehingga generasi mendatang dapat hidup di lingkungan yang sehat," tulisnya.

Bantuan datang dari generasi muda saat ini yang merupakan generasi "positif kematian", yang tidak takut untuk berbicara tentang kehidupan setelah kematian dan bagaimana tetap berkelanjutan untuk manfaat jangka panjang mereka. Terkait hal ini, pendekatan utilitarianisme dapat terhubung dengan Laporan Belmont, seperangkat prinsip etika yang diikuti oleh para profesional.

Menggunakan human composting berarti manfaatnya lebih besar daripada risikonya. Satu-satunya "risiko" yang mungkin terjadi adalah seseorang yang tidak nyaman dengan konsep pengomposan manusia. Meskipun konsep pengomposan manusia baru saja mulai dibicarakan, pemakaman alami bukanlah hal baru bagi sebagian orang.

Budaya lain mempraktikkan ide tersebut atau memiliki versi konsep mereka sendiri. Umat Muslim, Yahudi, dan Taois dari budaya yang lebih tua, bahkan beberapa komunitas di Amerika, mempraktikkan pemakaman hijau, karena sebagian besar dari mereka percaya bahwa lebih baik untuk benar-benar kembali ke akar kita dan menjadi debu di dalam bumi.

Banyak komunitas menerima cara hidup baru setelah kematian. David menuliskan bahwa umat Katolik mungkin menentang gagasan itu karena ketidakpastian mereka, tetapi bahkan Alkitab percaya bahwa kita berasal dari bumi dan akan kembali ke sana lagi. "Meskipun demikian, diakui bahwa tidak semua orang religius atau menganut agama yang berbeda, sehingga pendapat mereka tentang kompos manusia dapat diserahkan kepada individu masing-masing," tulisnya.

"Namun, human comsposting tidak boleh dianggap tidak etis, karena itu hanyalah cara lain untuk menghargai mereka yang telah meninggal sambil juga merayakan hidup mereka."

Pemakaman Berpotensi Timbulkan Persoalan

Pada awal tahun 2025, Kantor Wilayah Kementerian Hukum (Kemenkum) DIY membahas penyusunan rancangan peraturan daerah (Raperda) tentang Penyelenggaraan Pemakaman di Kota Jogja. Kepala Kantor Wilayah Kemenkum DIY, Agung Rektono Seto, menyebut regulasi tersebut mendesak untuk mengatasi masalah keterbatasan lahan pemakaman di Kota Jogja yang semakin padat.

"Penyusunan regulasi terkait pemakaman ini sudah menjadi urgensi melihat kondisi di Kota Jogja," kata Agung, beberapa waktu lalu, dikutip dari Antara.

Menurutnya, kondisi geografis dan keterbatasan lahan di Kota Jogja membutuhkan pembaruan aturan yang dapat menjawab tantangan terkait pengelolaan tempat pemakaman umum. Agung berharap regulasi yang sedang dibahas mampu menciptakan pengelolaan pemakaman yang terstruktur dan berkeadilan bagi masyarakat.

BACA JUGA: Hasil Real Madrid vs Osasuna: Skor 1-0, Los Blancos Tertolong Penalti

"Kami berkomitmen melahirkan aturan yang tidak hanya menyelesaikan masalah lahan, tetapi juga memberikan perlindungan hukum dan keadilan bagi semua pihak," katanya.

Dalam pembahasan raperda ini, diatur tentang empat jenis pemakaman, yaitu tempat pemakaman umum yang dikelola oleh pemerintah untuk masyarakat umum, tempat pemakaman bukan umum yang dikelola oleh kelompok tertentu. Berikutnya, makam sosial yang disediakan untuk jenazah telantar atau tanpa identitas serta makam keluarga yang dimiliki oleh keluarga tertentu.

Selain itu, raperda tersebut juga mencakup pengaturan fasilitas seperti tempat penyimpanan abu jenazah, krematorium, dan pemakaman tumpang. Menurut Agung, pemakaman tumpang diperbolehkan untuk jenazah yang memiliki hubungan keluarga, namun juga dimungkinkan untuk jenazah tanpa hubungan keluarga dengan izin dari keluarga pemilik makam.
Dia memastikan tim perancang peraturan di Kanwil Kemenkum DIY bekerja secara profesional demi memastikan regulasi dapat diterapkan dengan baik dan diterima oleh masyarakat.

"Rancangan ini tidak hanya mengatur aspek teknis, tetapi juga memperhatikan aspek sosial dan kemanusiaan. Dengan demikian, regulasi yang dihasilkan nantinya benar-benar dapat diterima oleh masyarakat," kata Agung.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Read Entire Article
Ekonomi | Politic | Hukum | Kriminal | Literatur | SepakBola | Bulu Tangkis | Fashion | Hiburan |