Kelas Menengah Pangkas Gaya Hidup Demi Kebutuhan Pokok

9 hours ago 2

Kelas Menengah Pangkas Gaya Hidup Demi Kebutuhan Pokok Ilustrasi tas fashion. - freepik

Harianjogja.com, JOGJA—Lembaga Survei KedaiKOPI merilis survei bertajuk 'Survei Perilaku Konsumsi & Daya Beli Masyarakat Kelas Menengah' pada 28 Oktober 2025. Hasil survei mencatat pengeluaran rumah tangga kelas menengah meningkat dalam tiga bulan terakhir, karena kebutuhan bergeser untuk memenuhi kebutuhan pokok dan pendidikan.

Sementara belanja fesyen, makan di luar, serta rekreasi dipangkas atau ditunda. Survei ini dilakukan dengan metode online-CASI pada 14–19 Oktober 2025 terhadap 932 responden.

Peneliti Senior Lembaga Survei KedaiKOPI, Ashma Nur Afifah mengatakan perubahan paling mencolok dari konsumsi kelas menengah adalah fokus pada kebutuhan pokok. Menurutnya 3 dari 5 responden merasakan pengeluaran meningkat, sehingga memperlebar porsi kebutuhan pokok dan menyempitkan ruang belanja diskresioner di mayoritas rumah tangga kelas menengah.

"Harga pangan yang meningkat, terus transportasi ini berpengaruh ke perubahan perilaku sementara secara kapasitas bayarnya makin tidak stabil," ucapnya.

Menurutnya kebiasaan membandingkan harga pun semakin masif, di mana 94,5% responden mengaku membandingkan harga baik secara offline dan online. Khususnya untuk untuk fesyen dan kosmetik. Ia menyebut hal ini mendorong pergeseran transaksi ke e-commerce dan pasar tradisional.

Ia mengatakan meski mal tetap ramai 3 dari 5 responden mengaku hanya berkunjung untuk jalan-jalan saja, seperti fenomena yang belakangan ini ramai diperbincangkan yakni rombongan jarang beli (Rojali) dan rombongan hanya nanya (Rohana).

Ashma menjelaskan masyarakat mengurungkan niatnya untuk belanja setelah menilai harganya mahal dan diskonnya kurang menarik, sehingga akhirnya mal berubah fungsi dari tempat purchasing ke tempat untuk mencoba barang.

Lebih lanjut dia mengatakan dari sisi keuangan 1 dari 2 responden menggunakan pay later, sepertiga memiliki utang bank non-KPR, dan seperempat pernah mengakses pinjaman online. Dia mengatakan hal ini menunjukkan akses kredit konsumtif cukup tinggi di kelompok ini.

"Paylater banyak digunakan karena gampang, mudah secara persyaratan dibanding kartu kredit, nah resikonya kalau semuanya gagal bayar atau mayoritas gagal bayar," jelasnya.

Menurutnya terkait keberpihakan pemerintah sebanyak 58% responden menilai pemerintah masih berpihak pada kelas menengah, dengan rincian 10% sangat berpihak, 48% cukup berpihak, 37% menilai tidak berpihak, dan 5% tidak tahu.

"Kebijakan pendidikan dan kesehatan diperlukan juga sama kelas menengah, namun perlu diingat kebutuhan dasar seperti itu kurang relevan bagi masyarakat menengah," kata Ashma.

Ashma menyampaikan rekomendasi dari KedaiKOPI untuk menyikapi kondisi kelas menengah adalah dengan menstabilkan harga kebutuhan pokok melalui operasi pasar, perluasan bantuan berinsentif seperti cek kesehatan gratis, dan sekolah rakyat, optimalisasi komunikasi publik digital, serta mitigasi dampak pergeseran belanja online terhadap ritel fisik.

Ia mendorong agar disediakan pelatihan kerja formal yang memadai. Dan memastikan layanan dasar tercover, yakni pendidikan berkualitas dan kesehatan bermutu.

"Jika sektor formal sulit, ciptakan pekerjaan informal yang stabil melalui penyediaan modal, akses pembiayaan, atau pelatihan kewirausahaan," lanjutnya.

Cara BPS Mengukur Kemiskinan

Badan Pusat Statistik (BPS) dalam mengukur kemiskinan di Indonesia menggunakan pendekatan kebutuhan dasar atau Cost of Basic Needs (CBN). Jumlah rupiah minimum yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dasar ini dinyatakan dalam Garis Kemiskinan (GK).

GK dihitung berdasarkan pengeluaran minimum untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan non makanan. Komponen makanan didasarkan pada standar konsumsi minimal 2.100 kilo kalori per orang per hari, disusun dari komoditas umum seperti beras, telur, tahu, tempe, minyak goreng, dan sayur, sesuai pola konsumsi rumah tangga Indonesia.

"Komponen non-makanan mencakup kebutuhan minimum untuk tempat tinggal, pendidikan, kesehatan, pakaian, dan transportasi," tulis penjelasan BPS.

GK dihitung berdasarkan hasil pendataan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang memotret atau mengumpulkan data tentang pengeluaran serta pola konsumsi masyarakat. Susenas dilaksanakan 2 kali dalam setahun, pada 2024 Susenas digelar Maret cakupan 345.000 rumah tangga di seluruh Indonesia, kemudian  September dengan cakupan 76.310 rumah tangga.

BPS menyebut pengukuran dilakukan pada tingkat rumah tangga, bukan individu, karena pengeluaran dan konsumsi dalam kehidupan nyata umumnya terjadi secara kolektif. GK yang dihitung oleh BPS dapat mencerminkan kebutuhan riil masyarakat Indonesia.

Selanjutnya BPS menyebut penghitungan serta rilis angka garis kemiskinan dilakukan secara rinci berdasarkan wilayah, baik provinsi maupun kabupaten/kota, dengan membedakan antara perkotaan dan perdesaan. Pada September 2024 GK nasional per kapita tercatat Rp595.242 per bulan. BPS menekankan yang perlu diperhatikan adalah konsumsi terjadi dalam konteks rumah tangga, bukan per orang.

Rata-rata rumah tangga miskin terdiri dari 4,71 anggota rumah tangga, sehingga garis kemiskinan untuk satu rumah tangga secara rata-rata nasional adalah Rp2.803.590 per bulan. Disebutkan bahwa GK berbeda untuk setiap provinsi, sebab garis kemiskinan dan rata-rata anggota rumah tangga miskin untuk setiap provinsi berbeda.

"GK rumah tangga di DKI Jakarta mencapai Rp4.238.886, di Nusa Tenggara Timur (NTT) sebesar Rp3.102.215, dan di Lampung sebesar Rp2.821.375. Perbedaan ini mencerminkan perbedaan tingkat harga, standar hidup, dan pola konsumsi di setiap daerah," jelas BPS.

GK adalah angka rata-rata yang tidak memperhitungkan karakteristik individu seperti usia, jenis kelamin, atau jenis pekerjaan. Secara mikro, angka ini tidak bisa langsung diartikan sebagai batas pengeluaran orang per orang.

Misalnya di DKI Jakarta, garis kemiskinan per kapita pada September 2024 adalah Rp846.085 per bulan, apabila satu rumah tangga punya lima anggota terdiri dari ayah, ibu, dan tiga balita maka tidak tepat jika diasumsikan bahwa kebutuhan atau pengeluaran ayah sama dengan balita, sebab konsumsi terjadi dalam satu rumah tangga.

Pendekatan yang lebih tepat adalah melihat GK rumah tangga. Dalam kasus ini, garis kemiskinan rumah tangga tersebut adalah Rp4.230.425 per bulan, sehingga angka ini lebih representatif untuk memahami kondisi sosial ekonomi rumah tangga tersebut.

"Dengan memahami konsep GK yang benar, maka kemiskinan tidak dapat diterjemahkan sebagai pendapatan per orang, dan bahkan tidak bisa diartikan sebagai gaji Rp20.000 per hari bukan orang miskin."

Penduduk yang berada di atas GK belum tentu otomatis tergolong sejahtera atau kaya. Di atas kelompok miskin, terdapat kelompok rentan miskin (1,0-1,5 x GK), kelompok menuju kelas menengah (1,5-3,5 GK), kelas menengah (3,5-17 x GK), dan kelas atas (17 x GK).

Kondisi September 2024, persentase kelompok miskin adalah 8,57% atau 24,06 juta jiwa, kelompok rentan miskin adalah 24,42% atau 68,51 juta jiwa, kelompok menuju kelas menengah 49,29% atau 138,31 juta jiwa, kelas menengah 17,25% atau 48,41 juta jiwa, dan kelas atas 0,46% atau 1,29 juta jiwa.

Kelas Menengah Perlu Diperkuat

Ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM), Elan Satriawan memandang dalam membangun ekonomi yang inklusif diperlukan pembangunan berbasis data dan hasil riset. Menurutnya pertumbuhan ekonomi yang tidak inklusif berpotensi memperlebar kesenjangan sosial.

Dia menjelaskan bahwa statistik menunjukkan kelas menengah turun menuju kelas menengah dan rentan, meski belum jatuh sampai miskin tapi hal ini tidak bisa dibiarkan.

Menurutnya pertumbuhan ekonomi memang penting, namun jangan hanya berorientasi pada pertumbuhan saja, kesejahteraan masyarakat juga perlu diperhatikan. Pertumbuhan ekonomi harus dipastikan tidak hanya terjadi di tingkat makro, namun juga mikro dan menengah.

"Tidak hanya memberantas kemiskinan ekstrem, tetapi juga memastikan kelas menengah terus memiliki daya beli yang kuat," ucapnya.

Ia berpandangan untuk bisa menjadi negara maju, kebijakan ekonomi harus diarahkan untuk memperkuat kelas menengah. Elan mengatakan negara maju punya kelas menengah yang kuat dan berkontribusi terhadap ekonomi nasional.

Oleh karena itu, kata Elan, kebijakan ekonomi harus difokuskan pada penguatan kelas menengah melalui lapangan kerja yang berkualitas dan akses terhadap peluang ekonomi yang lebih besar. Dia mengatakan pekerjaan rumah selanjutnya adalah menolong kelas menengah yang masih bekerja di sektor informal, tetapi tidak mendapatkan bantuan dari negara sekaligus harus membayar pajak.

"Menurut saya kelas menengah ini seharusnya menjadi perhatian serius dari pemerintah," lanjutnya.

Elan menceritakan pengalamannya sebagai bagian dari Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) di era Presiden SBY dan Jokowi. Menurutnya TNP2K hadir untuk membuat analisis, kajian, dan riset yang menjadi landasan rekomendasi dan masukan yang diberikan ke pemerintah.

Menurutnya tim ini bertugas untuk menjembatani pemerintah selaku pemangku kebijakan dengan think-tank eksternal, baik universitas maupun lembaga penelitian, sebagai produser knowledge (ilmu pengetahuan) dan evidence (bukti). Elan menekankan pentingnya penyusunan kebijakan berbasis bukti.

"Kebijakan-kebijakan memang harus berdasar data, harus berdasarkan evidence, itu mungkin bisa turun kualitasnya kalau ini tidak dilakukan," tuturnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Read Entire Article
Ekonomi | Politic | Hukum | Kriminal | Literatur | SepakBola | Bulu Tangkis | Fashion | Hiburan |