Harianjogja.com, SLEMAN—Kantor Pertanahan Kabupaten Sleman atau Badan Pertanahan Nasional Sleman memberi penjelasan atas kasus tanah yang menjerat seorang guru honorer di sekolah swasta Sleman, Hedi Ludiman (49) yang berjuang selama 12 tahun untuk mendapatkan sertifikat tanah milik istrinya, Evi Fatimah (38).
Sertifikat tanah milik Evi yang sebelumnya diblokir bisa dilelang dan berbalik nama kembali. Perihal hal tersebut Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Sleman, Imam Nawawi mengatakan Kantor Pertanahan Sleman telah berkirim surat kepada Evi pada 28 Mei 2024 terkait dokumen blokir tersebut. Dalam surat tersebut diuraikan secara rinci status tanah milik Evi sejak 2011 lalu.
BACA JUGA: Honorer Guru Jadi Korban Mafia Tanah
Imam menjelaskan proses terbukanya blokir tanah milik Evi telah sesuai dengan regulasi yang berlaku. Pasalnya pasca 30 hari diblokir, maka status tanah otomatis terbuka kembali.
"Berdasarkan ketentuan, blokir kan hanya berlaku 30 hari, itu karena memang ketentuan," jelas Imam ditemui pada Rabu (14/5/2025) di Kantor Pertanahan Kabupaten Sleman.
Saat blokir terbuka, tanah milik Evi yang sebelumnya di balik nama atas nama SJ selanjutnya dilelang Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) atas permohonan salah satu BPR karena dimasukkan sebagai agunan. Diproses lelang ini lah tanah dibeli oleh pihak lain dan dibalik nama oleh pemenang lelang.
"Kemudian dilelang, saat lelang pun itu karena tadi sudah tidak ada tercatat blokir, Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) itu sudah terbit, kemudian lanjut itu, setelah lelang itu," jelasnya
"Kami sebagai lembaga pencatat administrasi, ini sepanjang administrasi terpenuhi, syarat formilnya terpenuhi, kita proses. Kalau ada peralihan jual beli, misalnya peralihan jual beli, berdasarkan akta jual beli," ungkapnya.
Saat dilelang, ada risalah lelang yang dibuat oleh KPKNL selaku pejabat lelang. Risalah ini dijadikan BPN sebagai dasar melakukan pencatatan lelang yang telah dibuat dari kutipan risalah lelang oleh pejabat kantor lelang dari KPKNL.
"Jadi administrasi sudah terpenuhi, sehingga pencatatan kami tidak ada alasan untuk menolak, untuk mencatat atas lelang tersebut," imbuhnya.
Sebelumnya permintaan pemblokiran dilakukan oleh Polres Sleman lewat surat pada 2 Juli 2012. Waktu itu proses penyelidikan kasus penipuan dan penggelapan yang diduga dilakukan SJ dan SH sedang dilangsungkan. Namun pemblokiran itu hanya berlaku 30 hari. Beda halnya kala sertifikat tanah tersebut disita yang mana nantinya tanah tersebut tak bisa dilepas sampai status sita dicabut.
"Berdasarkan ketentuan, itu hanya berlaku 30 hari, kecuali dulu dilakukan sita. Nah kalau dilakukan sita itu status quo sudah praktis, sampai diangkat sita baru bisa nanti lepas," jelasnya.
Selanjutnya dalam prosesnya SJ ditetapkan sebagai buron oleh kepolisian sementara SH divonis sembilan bulan karena ikut serta dalam tindakan penipuan penggelapan. Akan tetapi inkrahnya perkara tersebut tak serta merta membuat sertifikat kembali ke pemegang hak atas tanah.
"Sertifikat itu untuk kembali ke pemegang hak atas tanah, kami landaskan pada putusan pengadilan. Bisa nanti misalnya gugatan PTUN atau gugatan perdata," ungkapnya.
"Jadi nggak bisa serta-merta, harus ada proses," imbuhnya.
Evi kata Imam seharusnya mengajukan gugatan perdata yang dialaminya dengan dasar adanya kasus penipuan dan penggelapan tersebut. "Mestinya dulu mengajukan dari dasarkan pidana tadi, mengajukan gugatan perdata atau PTUN untuk membatalkan peralihan," jelas Imam.
Kini melihat jauh bergulirnya kasus Imam berharap ada solusi damai bagi Evi. Apabila tak menuai kesepakatan, tak ada jalan lain kecuali menempuh jalan hukum.
"Tentu mungkin lebih baik ini jalan damai. Jalan damai mengingat ada pihak ketiga. Pihak ketiga ini beli juga, termasuk yang dulu beli, bukan yang nipu," ungkapnya.
Tanah milik Evi terletak di Paten, Tridadi, Sleman 1.475 meter persegi dengan luas bangunan 8×16 meter. Diceritakan Hedi, kasus ini bermula pada 2011 lalu kala dua orang yakni SJ dan SH yang mengaku anak dan ibu hendak mengontrak rumah dengan maksud akan dijadikan tempat usaha konveksi. Disepakati, harga kontrak rumah senilai Rp5 per tahun. Dengan lama kontrak lima tahun maka uang yang harus dibayarkan keduanya sebanyak Rp25 juta. Rencananya kontrakan mau ditempati pada 2012.
"Mau dibayar dulu dengan cara dicicil tapi biar ada kesepakatan supaya tidak saling menipu atau tidak lari, sertifikat saya diminta," terang Hedi pada Senin (12/5/2025).
Istri Hedi selanjutnya diajak untuk pergi ke notaris. Di sana istri Hedi diminta menandatangani dokumen yang katanya merupakan surat perjanjian kontrak mengontrak rumah.
"Yang ditandatangani itu tidak tahu apa, katanya kan perjanjian kontrak mengontrak [rumah]," ungkapnya.
Setelah menandatangani itu, istri Hedi pun diminta pulang, tidak ada masalah yang terjadi. Namun pada 2012 bulan Mei, sebuah Bank Perkreditan Rakyat (BPR) mencari istri Hedi selaku pemilik tanah. Kata Hedi sertifikat tanah istrinya justru diagunkan dan juga dibalik nama atas nama SJ.
"Ketemu ini [istri], loh saya tidak pernah gadaikan di bank. Ternyata tahu dibalik nama itu yang bilang BPR, kalau sudah dibalik mama sudah diagunkan bank dan kreditnya macet," lanjut Hedi.
Hedi lantas melakukan kroscek ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) terkait status tanah milik istrinya. Saat dicek memang benar telah berganti nama, Hedi pun lantas melaporkan kasus ini ke Polresta Sleman. Setelah diproses, ditangkap lah SH sementara SJ disebut Hedi masuk dalam DPO. SH selanjutnya menjadi terpidana divonis sembilan bulan dalam kasus tersebut.
Dalam persidangan diketahui KTP Evi Fatimah, istri Hedi dilegalisir oleh notaris untuk balik nama. Padahal menurut Hedi, istrinya tak pernah menyerahkan KTP asli. Merujuk hal ini, Hedi melaporkan notaris tersebut ke Majelis Pengawas Daerah (MPD) Notaris. Hasilnya notaris kata Hedi diketok bersalah melanggar kode etik.
Dengan adanya putusan pidana dan putusan MPD mengajukan gugatan perdata. Namun putusan tersebut berbuah Niet Ontvankelijke Verklaard (NO).
Harapan Hedi
Sampai saat ini, Hedi belum bisa kembali mendapatkan sertifikat tanah milik istrinya. Berjuang lebih dari 12 tahun, Hedi berharap sertifikat tanah milik istrinya bisa dikembalikan. Hedi juga berharap bisa menemui Komisi III DPR RI untuk mengadukan persoalan ini.
"Kalau bisa saya ingin ke DPR Komisi III untuk mengadukan, karena saya sendiri. Saya bertarung sendiri melawan mafia. Sangat berat," ujarnya.
"Tidak ada yang bantu saya. Keinginan saya dihukum para mafia itu," imbuhnya.
Saat awal kasus ini bergulir gaji Hedi sebagai guru honorer hanya Rp300.000 per bulan. Kini, Hedi hanya digaji Rp150.000 per bulan. Untuk menghidupi dirinya, istri dan ketiga anaknya Hedi juga menyambi membuka bengkel mobil.
"Saya sampai tidak bisa membelikan susu karena melawan mafia sangat berat, terintimidasi secara pikiran dan batin," kata Hedi terisak.
"Saya minta tolong ke Komisi III RI untuk membantu saya pak. Saya tertindas pak, saya ini guru honorer gaji saya sebulan hanya Rp150.000, jadi saya tertindas sekali batin saya. Saya dibantu pak dengan kasus saya ini, tolong dikembalikan sertifikat istri saya sesuai keadaan semula atas nama istri saya, keinginan saya hanya seperti itu," tegasnya. (Catur Dwi Janati)