Penggiat budaya, Marsha Widodo memaparkan pandangan generasi muda terkait dengan eksistensi batik dalam Seminar Batik, Penghubung Cerita dan Nilai Antar Generasi pada Jumat (31/10/2025). - Harian Jogja/Stefani Yulindriani.
Harianjogja.com, JOGJA—Di tengah derasnya arus budaya digital, batik tetap menemukan ruang hidupnya di hati generasi muda. Saat ini semakin banyak anak muda yang tak sekadar mengenakan batik di momen formal, tapi juga berusaha memahami nilai, filosofi, dan sejarah yang terkandung di balik setiap goresan malam.
Salah satunya penggiat budaya, Marsha Widodo menilai generasinya memegang peran penting dalam menjaga eksistensi batik sebagai identitas bangsa. Menurutnya ada jutaan anak muda berusia 15-27 tahun atau yang merupakan generasi z yang menjadi penentu arah keberlanjutan batik di masa depan.
“Generasi kami adalah jembatan antara masa lalu dan masa depan. Kalau kita tidak paham maknanya, batik bisa tinggal nama,” katanya dalam Seminar Batik, Penghubung Cerita dan Nilai Antar Generasi pada Jumat (31/10/2025).
Menurutnya, menjaga eksistensi batik bukan hanya soal melestarikan bentuk fisiknya, tetapi juga menumbuhkan kesadaran budaya di kalangan anak muda.
“Pelestarian batik tidak cukup hanya dengan mengenakannya. Kita perlu tahu siapa yang membuatnya, apa kisah di balik motifnya, dan bagaimana prosesnya berlangsung,” katanya. .
Marsha yang tumbuh di keluarga Tionghoa selama ini akrab dengan batik bermotif hewan dan bunga. Dari keluarganya, dia memahami makna setiap motif yang ada.
“Setiap warna, garis, dan bentuk punya cerita asal-usul. Dari situ saya sadar, batik bukan sekadar kain indah, tetapi cermin perjalanan sejarah dan pertemuan budaya,” ucapnya.
Pemahamannya muncul bahwa batik merupakan warisan pengetahuan, bukan sekadar komoditas. Pengakuan batik sebagai warisan budaya tak benda dunia dari UNESCO pada 2009 menjadi pengingat bahwa batik merupakan warisan budaya yang memperlukan proses panjang dalam penciptaan.
“Dari proses mencanting hingga pewarnaan, batik mengajarkan kesabaran, fokus, dan kerendahan hati yang merupakan nilai-nilai yang relevan untuk generasi muda,” ujarnya.
Pengurus PBBI Sekar Jagad, Karina Rima, menambahkan di balik upaya pelestarian batik yang dilakukan selama ini, industri tersebut menghadapi tantangan besar dalam terkait limbah batik. Dia menuturkan fenomena yang terjadi di Pekalongan menggambarkan paradoks antara ekonomi dan ekologi.
“Ada ungkapan kalau sungainya hitam, berarti batiknya laku. Artinya, pencemaran dianggap tanda kemakmuran. Ini harus diubah,” katanya.
Sebagai solusi atas permasalahan tersebut, pihaknya membangun instalasi pengolahan air limbah mini. “Langkah kecil ini membuktikan bahwa batik bisa berkelanjutan tanpa harus merusak lingkungan,” katanya.
Sementara itu, Ketua II PBBI Sekar Jagad, Afif Syakur, menilai batik memiliki dimensi spiritual yang tak bisa dilepaskan dari jati diri masyarakat Jawa. Menurutnya, setiap motif batik merekam perjalanan hidup manusia dari lahir hingga meninggal..
Afif menyesalkan maraknya batik printing yang mengaburkan nilai asli batik tulis. “Itu bukan batik. Tidak ada tangan pembatik, tidak ada malam panas, tidak ada doa di setiap goresannya. Kalau batik hanya dilihat sebagai komoditas, maknanya hilang,” katanya.
Budayawan Gregorius Budi Subanar SJ menambahkan batik harus dipahami sebagai simbol yang dinamis. “Batik bukan benda mati, tetapi hidup, berkembang, dan bisa diolah sesuai konteks zaman,” ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

















































