Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Johanis Tanak (depan, kanan) bersama Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu (depan, kiri) memperlihatkan ketiga tersangka kasus dugaan korupsi dalam bentuk pemerasan di lingkungan Pemerintah Provinsi Riau tahun anggaran 2025, yakni (kiri-kanan) Tenaga Ahli Gubernur Riau Dani M. Nursalam, Gubernur Riau Abdul Wahid, dan Kepala Dinas PUPRPKPP Riau M. Arief Setiawan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (5/11/2025). ANTARA - Rio Feisal.
Harianjogja.com, RIAU—Kasus ini dimulai dari keluhan masyarakat yang masuk ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), berkembang menjadi serangkaian penelusuran lapangan, pertemuan tertutup, hingga akhirnya operasi senyap yang menangkap sejumlah pejabat dan kepala daerah dalam satu malam.
Laporan pengaduan dari masyarakat menjadi titik awal penelusuran mendalam yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap dugaan praktik korupsi yang melibatkan Abdul Wahid sebagai Gubernur Riau periode 2024–2029.
Dari penyelidikan itu, KPK kemudian menemukan adanya istilah kode internal yakni "tujuh batang" serta arahan untuk tunduk pada satu "matahari" yang merujuk kepada Abdul saat mengumumkan status tersangka dalam dugaan pemerasan pada lingkup Pemerintah Provinsi Riau tahun anggaran 2025.
Rangkaian kejadian mulai dari pengaduan hingga penangkapan dibeberkan oleh Wakil Ketua KPK Johanis Tanak dan Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu pada 5 November.
Semua bermula ketika KPK menerima laporan masyarakat, lalu melakukan penguatan informasi lapangan dan pengumpulan keterangan tambahan.
Salah satu temuan penting ialah adanya pertemuan di sebuah kafe di Kota Pekanbaru, Riau, pada Mei 2025.
Dalam pertemuan itu, Sekretaris Dinas PUPRPKPP Riau Ferry Yunanda bersama enam Kepala UPT Jalan dan Jembatan Wilayah I-VI membahas rencana pemberian dana komitmen sebesar 2,5 persen kepada Abdul, seiring adanya peningkatan anggaran tahun 2025.
Sebelumnya, anggaran bagi enam UPT itu hanya Rp71,6 miliar, namun meningkat signifikan menjadi Rp177,4 miliar, atau terjadi penambahan Rp106 miliar.
Setelah pertemuan tersebut, Ferry melaporkan hasilnya kepada Kepala Dinas PUPRPKPP Riau M Arief Setiawan.
Namun Arief meminta persentase setoran dinaikkan dari 2,5 persen menjadi 5 persen.
Bagi pejabat yang tidak patuh, ancaman pencopotan atau mutasi menjadi konsekuensi. Di lingkungan dinas, permintaan tersebut bahkan disebut sebagai "jatah preman".
Seusai dilantik Presiden Prabowo Subianto pada 20 Februari 2025, Abdul mengumpulkan seluruh SKPD dan menyampaikan bahwa arah kebijakan hanya berpedoman kepada satu "matahari", yakni dirinya.
Maksudnya, setiap instruksi kepala dinas adalah representasi perintah langsung gubernur, dan ketidakpatuhan akan dievaluasi—yang dimaknai sebagai mutasi jabatan.
Pertemuan berikutnya antara Ferry dan enam Kepala UPT menghasilkan kesepakatan bahwa jumlah biaya yang harus dikumpulkan menjadi 5 persen dari Rp106 miliar, lalu dibulatkan menjadi Rp7 miliar.
Ferry kemudian melaporkan hasil kesepakatan menggunakan kode "tujuh batang". Setelah itu terjadi tiga kali setoran dana pada Juni, Agustus, dan November 2025.
Pada Juni 2025, Ferry berhasil mengumpulkan Rp1,6 miliar dari para Kepala UPT. Arief memerintahkan agar Rp1 miliar diberikan kepada Abdul melalui Tenaga Ahli Gubernur Riau Dani M Nursalam, sementara Rp600 juta diberikan kepada kerabatnya.
Pada Agustus 2025, atas perintah Dani yang bertindak sebagai representasi Abdul, Ferry kembali mengumpulkan dana Rp1,2 miliar. Dana tersebut kemudian dialokasikan sesuai arahan Arief, termasuk Rp300 juta kepada sopirnya dan Rp375 juta untuk proposal kegiatan perangkat daerah, sementara Rp300 juta disimpan Ferry.
Namun KPK masih mendalami distribusi sisa Rp225 juta karena belum seluruhnya terverifikasi.
Pada November 2025, Kepala UPT Wilayah III menjadi pengumpul dana dengan total Rp1,25 miliar. Dana itu kemudian diserahkan Rp450 juta melalui Arief dan Rp800 juta langsung kepada Abdul.
Secara keseluruhan, selama Juni–November 2025 terkumpul Rp4,05 miliar dari target Rp7 miliar.
Para Kepala UPT mengaku menggunakan uang pribadi, pinjaman bank, dan sumber lainnya, namun KPK masih melakukan pendalaman terkait kebenaran pengakuan tersebut.
Abdul diduga menerima total Rp2,25 miliar dan menggunakan sebagian dana tersebut untuk perjalanan luar negeri ke Inggris dan Brasil.
Namun pada penyerahan dana ketiga, tepat 3 November 2025, KPK melakukan operasi tangkap tangan terhadap Arief, Ferry, dan lima Kepala UPT, serta menyita Rp800 juta.
Setelah itu, KPK mencari keberadaan Abdul yang diduga menghindar setelah mengetahui adanya penangkapan para bawahannya.
Abdul akhirnya ditangkap di sebuah kafe di Pekanbaru, bersama orang kepercayaannya, Tata Maulana.
Pada waktu yang hampir bersamaan, KPK menggeledah rumah Abdul di Jakarta Selatan dan menemukan 9.000 pound sterling serta 3.000 dolar AS yang setara Rp800 juta. Total uang yang disita dalam OTT menjadi Rp1,6 miliar.
Kesembilan orang yang ditangkap diterbangkan ke Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, dalam dua kloter pada 4 November 2025.
KPK kemudian menetapkan Abdul, Arief, dan Dani sebagai tersangka dengan sangkaan Pasal 12e dan/atau Pasal 12f dan/atau Pasal 12B UU 31/1999 jo. UU 20/2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Ketiganya ditahan selama 20 hari pertama sejak 4 hingga 23 November 2025. Abdul ditahan di Rutan Gedung ACLC, sementara Arief dan Dani di Rutan Gedung Merah Putih KPK.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : Antara


















































