Buruh Jogja Beri Rapor Merah Setahun Kinerja Prabowo-Gibran

3 hours ago 1

Buruh Jogja Beri Rapor Merah Setahun Kinerja Prabowo-Gibran Arsip-Presiden Prabowo Subianto menyampaikan pidato dalam Sidang Tahunan MPR RI dan Sidang Bersama DPR-DPD RI Tahun 2025 di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (15/8/2025). - Antara - Rivan Awal Lingga\\r\\n

Harianjogja.com, JOGJA — Satu tahun pemerintahan Prabowo Subianto–Gibran Rakabuming Raka dinilai belum membawa perubahan berarti bagi nasib pekerja di Indonesia. Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) DIY memberikan rapor merah terhadap kinerja pemerintah di bidang ketenagakerjaan.

Koordinator MPBI DIY, Irsad Ade Irawan, menjelaskan bahwa berbagai janji terkait kerja layak, perlindungan sosial, dan keadilan ekonomi belum terlihat dalam kebijakan nyata.

“Persoalan pertama dan paling mendasar adalah upah layak,” ujarnya, Senin (20/10/2025).

Berdasarkan survei Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang dilakukan MPBI pada Oktober 2025, kebutuhan rata-rata pekerja di DIY berkisar antara Rp3,6 juta hingga Rp4,45 juta per bulan. Namun, upah minimum kabupaten/kota masih jauh di bawah angka tersebut, mencerminkan ketimpangan yang semakin lebar antara biaya hidup dan penghasilan pekerja.

“Kebijakan pengupahan dinilai tidak sejalan dengan prinsip keadilan sosial dan belum mampu menjamin kesejahteraan buruh,” katanya.

Masalah lain yang juga belum terselesaikan adalah sistem kerja kontrak (PKWT) dan outsourcing. MPBI DIY mencatat, praktik hubungan kerja tidak tetap terus meluas di berbagai sektor, termasuk industri, perdagangan, pendidikan, hingga layanan publik.

Sistem tersebut membuat pekerja hidup dalam ketidakpastian, tanpa jaminan kerja maupun penghasilan berkelanjutan.

“Pemerintah belum menunjukkan komitmen untuk menghapus atau memperketat aturan outsourcing dan kontrak jangka pendek, padahal hal ini menjadi sumber utama kerentanan buruh di Indonesia,” ungkapnya.

Kebijakan ketenagakerjaan juga dinilai belum inklusif dan berperspektif gender. Perlindungan terhadap pekerja perempuan, penyandang disabilitas, dan pekerja sektor informal masih lemah. Salah satu indikator yang jelas adalah belum disahkannya RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) yang telah tertahan bertahun-tahun tanpa kepastian politik.

“Padahal, pekerja rumah tangga merupakan kelompok kerja domestik yang paling rentan terhadap kekerasan, eksploitasi, dan pelanggaran hak,” ujarnya.

Selain itu, pekerja seni, kreatif, dan digital—termasuk mereka yang bekerja di sektor aplikasi dan platform daring—belum sepenuhnya diakui dalam sistem perlindungan ketenagakerjaan. Mereka bekerja tanpa jaminan sosial, kontrak formal, maupun kepastian upah.

“Pemerintah belum menunjukkan kebijakan konkret untuk melindungi pekerja berbasis platform maupun pekerja lepas yang jumlahnya terus meningkat di DIY dan kota-kota besar lainnya,” tuturnya.

Sepanjang tahun pertama pemerintahan ini, gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) juga masih terjadi di berbagai sektor. Pengawasan ketenagakerjaan dinilai lemah, sementara mekanisme penyelesaian sengketa industrial berjalan lambat dan kerap tidak berpihak pada pekerja.

Irsad menegaskan, satu tahun pemerintahan seharusnya menjadi momentum untuk menunjukkan komitmen terhadap keadilan bagi buruh. Namun, kenyataan di lapangan justru menunjukkan arah sebaliknya: buruh masih hidup dengan upah yang tidak mencukupi, status kerja tidak pasti, dan perlindungan hukum yang minim.

“MPBI DIY menegaskan bahwa perbaikan hanya akan terjadi jika pemerintah menempatkan kepentingan pekerja sebagai pusat dari kebijakan ekonomi dan pembangunan nasional,” tegasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Read Entire Article
Ekonomi | Politic | Hukum | Kriminal | Literatur | SepakBola | Bulu Tangkis | Fashion | Hiburan |